
Friday, April 22, 2011
Jubah Macan

Thursday, April 21, 2011
The Mad Hatter


Wednesday, April 20, 2011
8 September 2010
RED AND WHITE & BLOOD OF EAGLES



3 Januari 2011
Yang satu ini, saya tulis di blog saya yang w*rdpress juga, tanggal 3 Januari 2011.
--------------------
Si Suara Besar
Sejak kecil saya begitu terobsesi dengan alat musik yang satu ini:
Bass.
Dalam konteks tulisan kali ini, tentu saja yang saya maksud adalah permainan bass yang kompleks, bukan yang standar.
Setiap nonton live show musik apapun, bahkan pengamen, yang saya perhatikan pasti permainan bassnya. Entah kenapa suara bass terutama dalam musik Jazz, begitu memikat saya.
Menurut saya, alat musik inilah jiwanya lagu. Apalagi saya suka musik Jazz/Pop Jazz yang sangat menonjol di permainan bass. Dan bass, yang menurut pengamatan saya dipandang sebelah mata oleh orang awam, benar benar membuat musik menarik untuk didengar.
Oke, saya menyerah. Saya sudah mengetik dan mendelete belasan kalimat untuk menjelaskan sejelas-jelasnya betapa bass menarik perhatian saya. Tapi karena musik hal yang abstrak dan sulit dijelaskan secara verbal, sepertinya percuma jika saya menulis panjang lebar untuk menceritakan betapa saya terkesan pada bass.
Dan entah kenapa juga, saya merasakan kharisma yang berbeda dari seorang bassist, khususnya lagu nge-beat. Setiap saya nonton live show musik jazz atau lagu-lagu dengan tempo cepat, saya selalu terpaku pada bassist dan permainannya tentu saja. Malah kadang saya nggak peduli sama vokalisnya, ha mbok mau seganteng apa deh.
Lucunya, setiap saya denger lagu, terutama tempo cepat, saya selalu langsung merasakan suara bassnya dan reflek gerakan saya pun meniru bassist. Padahal sejak kecil saya hanya terbiasa bermain gitar, keyboard, harmonika dan perkusi. Orang tua tak pernah mengenalkan bass, sampai akhirnya saya duduk di bangku SMP dan mengenal band.
Saya berminat banget pengen belajar main bass. Kalo cuma standar-standar untuk lagu pop sih dari pertama juga langsung bisa karena pada dasarnya sama kayak gitar. Untuk tingkat lagu-lagu jazz, sungguh saya pengen banget gak ketulungan. Tapi saya memang nggak, eh, belum punya fasilitas sih untuk bass.
Oya, saya juga kagum sampai salto jungkir balik sama seorang bassist yang sekaligus menjadi vokalis. Oke, mungkin agak lebay, tapi sungguh, menurut saya bermain bass sambil menyanyi itu hal yang sangat di luar kepala saya. Para bassist sekaligus vokalis ini bisa bikin saya nggak kedip kalo lagi ngeliat mereka. Sebut saja Rafli The Banery dan Bondan Prakoso. Jujur saja, saya sudah sering bermain gitar, keyboard dan drum sambil menyanyi. Tapi untuk bass? Susaaaaaaaaaah!
Intinya, para bassist dan permainan bassnya tidak pernah mau berhenti memikat hati saya :3
2 Januari 2011
Postingan ini aku buat tanggal 2 Januari 2011 di blogku yang w*rdpress
-------------
Dayan
Sebenarnya judul di atas agak nggak nyambung. Dayan adalah tokoh dalam film trilogi Merah Putih yang entah kenapa terasa begitu nyata dan seakan-akan dia memang ada. Karakter/sifatnya, sangat membakar semangat saya untuk melakukan apapun untuk bangsa ini.
Suatu hari Om saya bertanya,
“Kenapa sih kok kamu suka banget sama Soekarno (Ir. Soekarno)?”
Awalnya saya kaget, kenapa beliau bisa tau. Tapi beberapa detik kemudian saya sadar kalau hal itu sangat terlihat dari akun twitter dan facebook saya, juga poster yang ada di kamar saya.
Jujur, saya sendiri sebenernya nggak bisa jawab pertanyaan itu.
Yang jelas, saya sangat ingat peristiwa yang satu ini:
Waktu SMP, saat itu sedang pelajaran Sejarah oleh Pak Arif. Pak Arif memang hobi sekali cerita, dan kebetulan saat itu beliau sedang bercerita tentang peristiwa Rengas Dengklok.
Pak Arif bercerita: Saat itu, tanggal 16 Agustus 1945 di Rengas Dengklok, terjadi perdebatan sengit antara kaum tua dan pemuda. Mereka berdebat tentang kapan proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan. Pemuda menginginkan proklamasi dilaksanakan saat itu juga, sedangkan kaum tua tidak ingin tergesa-gesa. Akhirnya, seorang pemuda pun tidak tahan dan setengah membentak Bung Karno, bersikeras ingin memproklamasikan kemerdekaan saat itu juga. Bung Karno pun berkata dengan tegas (mohon koreksi jika salah) “Jika anda menginginkan proklamasi sekarang, bunuh saya saat ini juga!”
Dan sejak saat itu, entah kenapa saya terpikat oleh kharisma Bung Karno.
Mungkin kata-kata itu memang biasa saja. Tapi entah kenapa begitu mengesankan di mata saya. Kalaupun cerita di atas tidak sepenuhnya benar (yah, kita tau sendiri bahwa cerita secara lisan tidak bisa diperkirakan keakuratannya), saya tidak peduli. Satu-satunya yang saya pikirkan saat itu adalah, bagaimana jika tidak ada Bung Karno? Betapa beruntungnya Indonesia. Di masa-masa seperti itu mereka memiliki sosok pemimpin yang bijaksana dalam mengambil keputusan.
Banyak yang berkata bahwa kepemimpinan Bung Karno setelah merdeka tidak sesuai dengan yang diinginkan rakyat. Apalagi sejak beliau memiliki perbedaan pandangan politik dengan Bung Hatta dan akhirnya mereka berpisah. Tapi saya memang tidak terlalu tertarik dengan dunia politik Bung Karno. Cara pandang saya dalam mengapresiasikan jasa Bung Karno, sebatas pengorbanannya memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.
Sekarang setiap melihat peristiwa peristiwa negatif yang terjadi pada bangsa ini, seketika saya selalu penasaran. Apa yang akan Bung Karno katakan ya, jika beliau melihat kondisi Bangsa Indonesia saat ini? Apa respon para pejuang jika mereka hidup kembali dan melihat keadaan bangsa ini?
Terkadang saya tak habis pikir terhadap para oknum yang melakukan tindakan bodoh seperti tawuran, demo berujung kerusuhan, dll. Kalo saya pribadi, jika saya akan atau ada niatan untuk melakukan hal hal tersebut, pasti saya akan teringat perjuangan zaman dulu. Apa mereka nggak sadar, membuat negeri ini damai dan ibu mereka bisa melahirkan mereka dengan selamat itu tidak gampang. Dengan darah. Nyawa. Nah, sekarang? Mereka “menghambur-hamburkan” nyawa untuk hal yang tidak penting.
Lain cerita,
Pernah suatu saat, seorang teman mendengar ringtone HP saya yang berjudul Indonesia Pusaka yang dinyanyikan oleh Jamaica Cafe. Ia pun dengan heran berkata, “Bangga banget to kowe karo Indonesia. Opo meneh Bung Karno.” (banggat banget sih kamu dengan Indonesia, apalagi dengan Bung Karno)
Saya hanya tersenyum.