Tuesday, April 17, 2012

What I've Learnt from Jubah Macan

Tadi pagi saya sempat merenung sendiri. Secara tidak sengaja, tiba-tiba mata saya menangkap jemari tangan saya. Kukunya panjang. Dan hal kecil ini langsung mengingatkan saya pada Jubah Macan.

Kuku jari tangan saya hampir tidak pernah panjang. Tapi ada hal yang membuat kuku saya panjang. Seperti halnya tahun lalu, kuku jari tangan saya selalu panjang ketika proses Pentas Besar Teater Jubah Macan mulai latihan setiap hari sampai malam. Apa hubungannya?

------

Basket, bermain gitar, menulis sesuatu (mengetik).

Tiga hal yang sudah menjadi rutinitasku. Hampir tidak pernah kutinggalkan. Tahu kesamaannya?
Ya. Sama-sama tidak bisa dilakukan jika kuku kalian panjang. Maka saat kuku jari tanganku mulai panjang, itu pertanda aku tidak pernah bermain basket, bermain gitar dan menulis lagi. Padahal kegiatan-kegiatan itu adalah kegiatan yang sangat sederhana, tidak memerlukan banyak waktu, dan bisa dilakukan sembari lewat.


Karena Jubah Macan. Gara-gara Jubah Macan. Empat belas jam sehari, diluar rumah. Waktu saya tersita. Untuk melakukan hal favorit yang sederhana pun tak sempat. Maka saya harus meninggalkan bola basket kesayangan saya. Meninggalkan gitar motif batik kesayangan saya. Meninggalkan blog kesayangan saya.

Menderita? Tersiksa?
Pikiran saya tidak sesempit itu. Justru disitulah kenapa Jubah Macan terus ada dan bersuara.

Pengorbanan.

That's what I learned from being Jubah Macan.


"Dimana Rumahmu, Nak?"

Disebuah handbook sederhana produksi siswa internal, saya membaca sebuah tulisan.


Dimana Rumahmu Nak?

Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu Nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil Ibu yang lugu.
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu kembali mematut diri menjadi seorang ibu aktivis. Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu Nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia Nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu berpikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku, kita memang berada di satu atap Nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah rumahmu Nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk Ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi Ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk Ibu. Atau jangankan untuk tersentum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu Nak, Ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang Ibu yakin engkau pasti lebih tau. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau Nak, tapi bukankah aku ini ibumu? Yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku...
Anakku, Ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk Nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, Ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati Ibu mulai bertanya Nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini Nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menyakan keadaan adik-adikmu Nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu?
Anakku, Ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat enkau merasa sangat tidak produktif harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang Nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan, Tapi bukankan keluargamu ini adalah tugasmu juga Nak? Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga Nak?
Anakku, Ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu pada Nak, ada rapat di sana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada Nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal Nak, andai engkau tahu sejak kau ada di rahum ibu, tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku...
Kalau boleh Ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh Ibu bertanya Nak, dimana profesimu untuk Ibu? Dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat?
Ah, waktumu terlalu mahal Nak. Smapai-sampai Ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama Ibu...
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak, dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.
Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari ridhamu atas segala aktivitas yang kita lakukan. Karena tanpa ridhamu, mustahil kuperoleh ridha-Nya...



Dan kelopak mata pun tak kuasa membendung linang air mata.


(Sumber: Handbook panitia Kajian Islam Intensif Padmanaba 2012, KIIP Believing)

Tuesday, April 3, 2012

Tak Pernah Berhenti Bertanya

Menyaksikan rapat para anggota DPR beberapa hari yang lalu membuatku ingin membuat tulisan ini.

Banyak kejadian ganjil dan di luar kepala yang terjadi di negeri ini. Bahkan terlalu banyak untuk diceritakan. Terlalu semrawut untuk menjadi bahasan. Sampai-sampai terlalu klise untuk dibicarakan.

Jujur saja, saya masih sangat peduli dengan negeri ini. Sedikit banyak saya mulai memikirkan masa depan bangsa, meskipun dengan kapasitas seorang pelajar SMA. Namun terkadang, dengan terus bergulirnya hal-hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi tetapi justru terus diulangi, lama-lama terasa sedikit jengah juga. Jengah karena gemas. Gemas karena selalu saja hal bodoh yang terjadi.

Dan sejak dulu, setiap melihat fenomena manusia di Indonesia, pertanyaan ini yang selalu muncul:

Apa yang ada dalam benak Bung Karno dan para pejuang jika saat ini mereka bangkit dan melihat keadaan bangsanya yang sekarang?




Saya tak pernah berhenti bertanya, karena saya tak pernah tahu jawabannya.

Sunday, April 1, 2012

Seorang Teman dan Sebuah Lagu

Sebelumya saya mau minta maaf.
Maaf, karena nama-namanya saya samarkan, karena takut tidak diizinkan oleh pelaku sebenarnya hehe.
Maaf, karena postingan ini berbau metafora dan hiperbola hehe.
Maaf, sepertinya ini akan menjadi postingan egois, karena kali ini saya mau posting demi kepuasan diri sendiri hehehe I want to share something that looks unimportant for you guys.

--

Seorang teman dan sebuah lagu.

Saya punya teman baik, seorang lelaki, sebut saja sebagai Ardita (bukan nama asli). Saat ini kami duduk di kelas 11, dan satu kelas. Kami berteman sejak kelas 1 SMP, dulu satu kelas juga. Sejak dulu, saya dan dia paling sering share tentang musik dan film. Saya share musik dan film ala saya ke dia, begitu juga sebaliknya. Karena kami memang relatif bisa menerima segala jenis musik dan film.

Cerita dimulai ketika kami SMP. Saya lupa tepatnya kelas berapa. Tapi suatu hari dia menyanyikan suatu lagu yang sangat asing di telinga saya, dan saya yakin lagu ini pasti hanya ada di kalangan tertentu, karena sedikit "nyentrik".
Ardita baru satu kali mendengar lagu ini dan hanya ingat bagian reff-nya yang menurut saya the most weird part of the song. Dia berusaha mengingat-ingat dengan terus menyanyikannya sembari menanyakan pada saya. Jujur, sedikit annoyed dan sayangnya saya sama sekali nggak tau asal usul lagu nyentrik itu. And it seems like Ardita wants the song so bad.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba dia menghampiri saya, mengeluarkan hapenya dan.......... mengalunlah full version of that weird song.
Ardita bahagia.
Saya melongo.
Saya gak habis pikir dari mana dia dapet lagu itu. Dia nggak tau judulnya, dia nggak tau penyanyinya, dan dia cuma tau satu kata dari lirik lagu itu.
Ternyata begini perjuangan Ardita kalo sudah jatuh hati pada sebuah lagu. Dan jenis lagunya begituan. No offense hehehe.

Maklum anak SMP, kami masih labil. Semenjak itu Ardita jadi sering ndengerin lagu itu. Saya juga jadi familiar dan mulai ikut-ikutan nyanyi kayak Ardita. Gila. Bahkan waktu kelas kami lagi kebagian di lab bahasa, dia maju ke depan, ambil mikrofon, dan nyetel lagu itu dari hapenya lewat mikrofon. Kurang ganteng apa sih sahabat saya yang satu ini? Parahnya, saya ikut-ikutan nyanyi dengan joget alien khas Ardita juga. Teman-teman sekelas seketika keracunan. Oralah.

Singkat cerita, bertahun-tahun setelah itu saya tidak pernah menanyakan tentang lagu itu lagi ke Ardita. Sampai akhirnya saya dan Ardita masuk SMA.

Di suatu acara intern SMA 3, ada sebuah band intern yang lumayan punya nama di kalangan SMA 3. Dan tiba-tiba band itu menyanyikan lagu yang sangat tidak asing di telinga saya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ini dia pujaan hatinya Ardita.
Setelah itu saya langsung mendatangi Ardita dan minta lagunya. Tapi saya tidak menyinggung apapun soal kejadian beberapa waktu silam.

Nah, beberapa minggu yang lalu, saya ngobrol-ngobrol gak jelas dengan Ardita. Rutinitas yang selalu kami lakukan. Dan entah kenapa saya teringat kejadian lagu itu. Lalu saya singgung lagi, saya masih penasaran dari mana dia dengar dan dapatkan lagu itu. Ceritalah si Ardita ini. Ternyata dia denger waktu dia dateng ke acara Open House-nya Padmanaba pas kami masih SMP. Ada sebuah band yang bawain lagu ini. Terus, karena sudah kepincut, si Ardita yang menurut saya gak punya malu ini, mencari-cari info tentang si empunya lagu. Browsing sana-sini, akhirnya dapet deh nomer hape pengarangnya, sebut saja X. Ardita sama sekali gak tau dan gak kenal X, tapi dengan sangat polosnya dia langsung sms dan minta lagunya. Mereka beberapa kali saling kirim sms, dan akhirnya Ardita berhasil dapet link untuk download. The end of the story.

Eeeeeeh tapi lucunya lagi, Ardita dan X ini di SMA ternyata dipertemukan oleh Allah SWT dalam sebuah komunitas. Otomatis mereka pasti kenal satu sama lain.
Saya nanya sama Ardita: X tau enggak sih kalo Ardita yang dulu dengan gigihnya nyari lagunya X itu adalah Ardita kamu?
Ardita hanya menjawab dengan mengangkat bahu, sepertinya tau, tapi mereka tidak pernah menyinggung itu.

Dan ya. Begitulah cerita tanpa tangga dramatik ini berakhir.

Kesimpulannya, skenario Tuhan itu menarik. Sebuah lagu ternyata berhasil menjadi perantara takdir bertemunya dua insan petualang yang ganteng-ganteng dan macho-macho itu.
Akhir kata, salam satu jiwa! *edisi aremania*