Kemudian saya mulai membaca dan menyerap kata demi kata dari puisi tersebut.
Air mata saya nyaris lolos.
Sosok seseorang terlintas. Seorang guru. Seorang Revolusioner bagi saya.
Keesokan harinya, saya menunjukkan puisi dari tahun 1800-an itu kepada seorang sahabat.
Lalu dari mulut terlontar begitu saja semua cerita dan kenangan tentang beliau. Sahabat saya ini tidak mengenal sekolah saya dulu, apalagi mengenal beliau.
Dengan bangga saya bercerita tentang beliau, candanya yang terkadang terlalu di luar logika, sikapnya yang unik dan nyentrik, kehebatannya dalam membuka pikiran murid-muridnya. Beliau benar-benar seperti Mr. John Keating dalam film Dead Poet's Society.
Dan ya. Saya kembali membuka semua memori itu. Bagaimana dengan ketidak-mainstream-annya beliau mengajar. Bagaimana dengan ide-ide diluar kepala beliau menyampaikan. Sudut pandangnya dalam menghadapi hidup sangat berbeda dengan sudut pandang orang-orang awam. Selalu mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain, karena menilai dari sudut pandang yang sangat unik. Beliau mengajak kami menilik segala hal dan kasus tak hanya dengan otak kiri, namun juga otak kanan. Mengajak kami untuk tidak dengan mudah menuduh hitam atau putih, namun dengan kebijaksanaan. Kami yang saat itu masih duduk di kelas 1 SMP, secara tidak sadar telah menerima pelajaran yang tak ternilai harganya. Tak bisa diukur dengan nilai dalam rapot, namun bisa dibawa sebagai bekal hingga kelak kami meninggal. Otak-otak polos kami sudah diisi dengan berbagai macam imajinasi, prinsip kehidupan, dan pengelolaan keegoisan tanpa kami sadari.
Tulisan diatas tidak mengandung hiperbola dan metafora. Begitulah yang sebenarnya terjadi di kelas kami dulu. Begitulah fakta yang kami rasakan dulu. Ketika beliau masih bisa tersenyum dan tertawa.
Saya memang tidak mempunyai kedekatan khusus dengan beliau. Padahal saya cenderung bisa mengakrabkan diri pada semua guru. Hampir semua guru hafal dengan saya. Namun tidak yang satu ini. Saya hampir tak pernah berani berinteraksi dengan beliau diluar kelas. Saya enggan, karena saya takut. Takut berkomunikasi karena kehebatan beliau. Saya terlalu terpesona dengan matanya. Bagaimana ia memandang dunia, bagaimana ia menjalani hidup dengan cara yang begitu nikmat dan berbeda.
Bagi saya, mata pelajaran yang ia tanamkan bukan hanya Bahasa Indonesia. Lebih tepat disebut pelajaran kehidupan. Karena meski tak mengenal dengan dekat, semua ilmu itu telah mengalir bersama darah saya. Hanya sedikit mempengaruhi, namun yang dipengaruhi adalah prinsip hidup saya. Sehingga ketika saya menggapai kesuksesan nanti, meski beliau sudah tak kasat mata, beliau selalu ada bersama saya.
But O heart! heart! heart!
O the bleeding drops of red,
Where on the deck my Captain lies,
Fallen cold and dead.
Kepada Bapak Edi Purnomo Hudoyo.
Bapak bagaikan alien bagi saya saat itu. Bapak melontarkan semua ilmu yang sama sekali tidak saya mengerti. Namun kemudian hari saya menyadari. Saya mulai tau apa yang bapak tanamkan dalam diri saya, diri teman-teman. Dan ketika itu kami sudah tak sempat berterima kasih.
Sungguh pintar Bapak mempermainkan kami hahaha
Saya yakin, Tuhan mempunyai skenario yang indah, melebihi apa pun. Dan saya yakin, Tuhan sudah menyiapkan naskah indah untuk Bapak, seorang revolusioner yang sudah membuat hidup entah berapa ribu jiwa menjadi lebih terang.
Semoga Bapak diberi tempat indah, damai dan tenang. Sementara jiwa-jiwa yang Bapak didik dulu akan terus mengejar mimpi.