Lalu saat beranjak dewasa, sesuatu terjadi padanya. Sesuatu yang tak tampak di mata orang awam, namun menghancurkan hidupnya. Ia tak lagi bisa bermain pallacanestro layaknya orang normal.
Kemampuannya kini dibatasi. Ia tak lagi seterampil dulu.
Hidupnya seperti direnggut. Hal yang sangat ia cintai, kini tak bisa lagi ia nikmati.
Air mata sudah banyak ia habiskan untuk menangisi hal ini, meski kawannya tak pernah menyadari. Ya, ia tidak mau terlihat lemah di depan teman-temannya.
Begitulah.
Kini, ia sudah mulai bisa menerima keadaan. Perlahan, ia tak lagi marah kepada keadaan. Meski tak lagi sering bermain pallacanestro, namun ia tetap mencintainya.