Pertengahan Februari lalu saya berkunjung ke ibu kota bersama beberapa teman baru.
Kami kebetulan baru saling berkomunikasi dan mengenal satu sama lain selama kurang lebih beberapa minggu saja.
Singkat cerita, malam itu saya dan dua orang teman "terjebak" dalam sebuah percakapan setelah makan malam di sebuah mall di Bogor. Dan malam itu, setelah beberapa topik bahasan yang cukup ringan bahkan terkadang tidak relevan, kami mulai beranjak ke sebuah topik yang cukup lucu:
"Menurutmu, apa yang salah dengan Indonesia saat ini?"
Wah, sekelompok mahasiswa ingusan semester 6 berusaha memecahkan permasalahan fundamental bangsa.
Lucu kan?
Dengan background pendidikan kami yang amat sangat berbeda, ditambah pengamatan masing-masing, kami mengutarakan pendapat dan berdiskusi. Like, literally, diskusi untuk berbenah secara realistis dan apa yang akan kita lakukan nanti ketika kerja untuk memulai semua itu.
Hahahahaha
Aku kangen punya temen yang bisa diajak berbicara bahasan-bahasan sampah, namun juga concern di topik-topik masif dan krusial. Yang asik diajak bercanda, tapi juga seru diajak berpikir kritis dan membincangkan sesuatu yang mungkin banyak orang menganggap kaku atau terlampau serius.
Menurutku, that kind of conversation lumayan menyehatkan, bergizi, dan terkadang menjadi pengingat diri sendiri untuk terus bergerak maju.
Dulu di SMA pernah punya teman-teman yang seperti itu.
Semoga lain waktu bisa "terjebak" lagi dengan orang dan topik yang sama serunya.
Tuesday, March 15, 2016
Wednesday, March 2, 2016
Watching Indonesian League & Febri really help me though.
Aku sedang suntuk dan ingin menulis.
Ini tentang aku dan basket.
Aku memang bukan pemain yang handal, yang menggantungkan hidupku pada olahraga ini. Namun aku tidak pernah bisa lepas darinya.
Aku mengenal bola basket sejak kecil. Bahkan sejak bangku sekolah dasar aku beberapa kali mengikuti pertandingan dan memenangkannya. Di bangku SMP, aku terus bermain. Aku mulai bergabung di klub, beberapa kali bertanding untuk kelompok umur di atasku, dan terlibat seleksi wilayah.
Di bangku SMA, hal itu terjadi.
Aku sudah lupa bagaimana sakitnya. Yang jelas, ketika tubuhku dihantam lawan dan jatuh tersungkur, rasa sakitnya sampai membuatku berteriak hingga supporter sekolahku yang memenuhi tribun seketika terdiam dan memandang ke arahku. Aku ingat betul hari dan tanggal dimana ACL lutut kananku putus.
Sayangnya, saat itu aku tidak menangani cedera itu dengan baik.
Setelah pengobatan sederhana dan merasa bisa beraktivitas, aku kembali bermain basket meski tau ada sesuatu yang salah dengan lutut kananku sejak hari itu. Aku tetap bermain, meski tak lagi bisa seagresif dulu. Saat itu, permainanku yang terbatasi oleh lutut yang rawan kambuh sedikit membuatku terpukul.
Sejak meninggalkan klub saat SMP, aku belum pernah berlatih bersama tim dengan porsi latihan yang cukup berat dan kemampuan rata-rata di atasku. Di bangku kuliah, setelah beberapa kali penjajakan, aku menemukan sebuah lingkungan latihan yang pas. Saat bergabung dengan tim ini, aku merasa sangat bersemangat untuk kembali bermain dengan total, karena lingkungannya sangat menuntutku untuk berkembang. Sayangnya, tim ini hanya aktif satu tahun sekali menjelang sebuat turnamen antar fakultas. Setelah satu kali melakoni turnamen, aku merasa berkembang dan sangat bahagia menjalani prosesnya. Aku sangat menantikan bermain bersama tim ini untuk kedua kalinya. Namun akhirnya aku gagal bergabung karena sebuah musibah.
Hari itu, beberapa bulan yang lalu, ACL lutut kiriku putus.
Aku terpukul luar biasa.
Kali ini aku menyadari cedera ini terjadi karena kesalahanku. Sebelum pertandingan itu aku tak punya cukup persiapan dan latihan padahal beberapa bulan aku tidak olahraga serius. Kondisi tubuhku overweight, dengan lutut kiri yang harus bekerja lebih keras karena lutut kananku sudah tidak bekerja dengan normal.
Aku baru tau, rasanya divonis dokter putus ligamen itu jauh lebih sakit dibanding putus pacar versi mana pun.
Jika hidup ini mempunyai beberapa turning point, hari dimana aku divonis dokter sebagai manusia tanpa ACL adalah salah satu turning point yang membawa hidupku terjun ke bawah. Sangat dalam.
Kini aku memang bisa beraktivitas layaknya manusia biasa. Namun, dengan dua lutut tanpa ligament, dokter jelas tidak menyarankan aku untuk berolahraga selain bersepeda dan berenang.
Untuk bisa kembali menyentuh bola basket, aku harus melakoni operasi dengan masa penyembuhan 8 bulan dan biaya yang tidak sedikit. Dua kali, kanan dan kiri. Dan aku bukan lah pemain profesional yang bisa dengan mudahnya berkata "minggu depan operasi di Filipina" macam Pringgo atau Wisnu karena itu memang prioritas utama mereka.
Sekali lagi, biayanya tidak sedikit. Aku tak mau buru-buru menuntut orang tuaku untuk hal yang bukan prioritas dalam hidupku, meski aku mencintai basket. God I love basketball so much I literally cry every time I talk about this thing..
Aku sadar aku masih harus menyelesaikan studi. Dan aku punya kegiatan perkuliahan yang harus kuatur jadwalnya sedemikian rupa sehingga kalau pun nanti memutuskan untuk operasi, masa penyembuhannya tak mengganggu studiku. Aku sadar, hal yang aku cintai ini bukan prioritas utama dalam hidupku.
Tapi aku rindu.
Aku rindu tertawa bersama rekan satu tim, terengah-engah lelah memegangi perut, bunyi decitan sepatuku dengan lapangan, tatapan membara pelatih saat time out ketika musuh memimpin, teriakan cacian hinaan pelatih saat turn overku bertambah, usapan tangan pelatih di kepalaku ketika mereka bangga padaku, uluran tangan rekan satu tim saat aku memberinya assist, dan hal-hal lain yang tak bisa kudapatkan lagi sekarang.
Aku rindu.
Basket membesarkanku. Basket memberiku banyak hal. Terlalu banyak. Teman, keluarga, tawa, tangis, sakit, semangat, malu, bangga, dan banyak hal lain.
Mungkin ini saatnya aku berhenti meminta.
Mungkin ini saatnya aku duduk, beristirahat, dan mencari.
Menikmati permainan sebagai seorang penonton, memahami makna dari sudut pandang orang ketiga.
Tapi, ketika tiba-tiba aku sedih dan menangis lagi,
Jangan paksa aku untuk berhenti rindu.
Subscribe to:
Posts (Atom)