Monday, March 12, 2018

Aku, Bung Karno, dan Bandung

“Who is this?” tanya host sister-ku suatu hari, menerjemahkan pertanyaan host dad-ku yang tak bisa berbahasa Inggris. Mereka berdua memandang sebuah foto hitam putih yang ada di dompetku.

“Is that your grandpa?”

“He’s my first president.”

Dan raut wajah Pa – panggilan akrab ­host dad-ku – seketika berubah.

“Then why do you put his photo inside your wallet?”

Tak pernah sekali pun aku mengungkap alasan kenapa aku mengagumi Bung Karno kepada orang lain. Rasanya terlalu naif.

“I just love him,” jawabku singkat.


***


Sudah jalan dua bulan tinggal di Bandung, setiap akhir minggu aku masih bingung harus melakukan apa. Setelah sedikit melakukan riset melalui sosial media, aku menemukan akun sebuah komunitas sejarah yang mengadakan tour wisata.

Di situ tertulis “Ngabandros Jejak Sukarno di Bandung”.

Sepertinya ini akan menjadi jawaban manis untuk akhir mingguku yang tanpa arah.


***


Singkat cerita, aku yang sebatang kara di Bandung ini, bergabung dengan sekelompok orang yang punya tujuan sama hari itu: menelusuri jejak Sukarno di Bandung.



Tempat pertama yang kami kunjungi adalah LP Sukamiskin.

Bung Karno dan tiga temannya yang tergabung dalam Partai Nasional Indonesia ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap mengancam kekuasaan pemerintah saat itu. Beliau dijebloskan ke Penjara Banceuy sambil menunggu proses persidangan, kemudian dipindahkan ke Sukamiskin setelah membacakan pledoinya yang berjudul “Indonesia Menggugat” saat persidangan.


Saat masuk kawasan lapas, kami tidak diperbolehkan membawa HP dan kamera. Foto ini diambil oleh petugas yang mengantar kami sampai ke dalam sel.

Oh. Tentang penjara.

Ini adalah kali pertama aku masuk ke sebuah lapas. Selain bekas sel Bung Karno, hal detail seperti bentuk bangunan, cara petugas berkomunikasi, aktivitas para tahanan, suasana lorong dan pintu-pintu sel yang begitu dingin, setiap elemen di dalam sini membuatku banyak terdiam dan berpikir.

Tempat ini terasa begitu asing. Di pikiranku ia nyata dalam bentuk skenario, karena sungguh, semua pengetahuanku tentang kehidupan penjara berasal dari film. Satu adegan menghampiriku saat berjalan menuju pintu keluar. Beberapa anak yang membawa bingkisan berlari menghampiri dan memeluk seseorang yang kuasumsikan adalah ayahnya, disusul seorang ibu di belakangnya dengan senyum bahagia. Sungguh aku benar-benar merasa menjadi cameo tanpa dialog dalam sebuah adegan film.

Dari LP Sukamiskin, kami berkeliling ke tempat-tempat selanjutnya menggunakan bus Bandros.



Tempat kedua: Museum Preanger di Hotel Grand Preanger.
Tempat ini adalah salah satu gedung yang dirancang oleh Bung Karno yang saat itu menjadi asisten arsitek utamanya, Schoemaker.




Tempat ketiga: Penjara Banceuy.
Penjara ini tempat Bung Karno ditahan sebelum proses persidangan dilaksanakan. Di sel yang sangat kecil tanpa ventilasi ini, di atas tempat kencingnya beliau menulis Indonesia Menggugat, sebuah pledoi yang mengutip 66 tokoh dunia dan menyertakan berbagai macam data, dalam waktu 40 hari.



Di tempat ini juga kami banyak berdiskusi tentang biografi Bung Karno dari berbagai sudut pandang.




Tempat keempat: Gedung Indonesia Menggugat.
Di gedung ini Bung Karno membacakan pledoinya saat persidangan kolonial. Konon katanya, masyarakat ramai berkumpul di depan gedung saat proses persidangan ini berlangsung.



Tempat terakhir: ITB (THS)
Bung Karno adalah satu dari sebelas orang pribumi yang sekolah di THS, perguruan tinggi yang disebut sebagai cabang dari TU Delft pada saat itu. Hampir DO, beliau akhirnya lulus dan ikut merancang beberapa bangunan di ITB.



Setelah satu hari menelusuri jejak Bung Karno, di tempat ini perjalanan kami berakhir. Banyak sekali pengetahuan yang tak kusangka akan kudapatkan dari perjalanan ini. Sungguh Bung Karno dan Bandung adalah dua hal yang saling melekat.


***


Tujuh tahun yang lalu saat Pa menanyakan alasan foto Bung Karno ada di dompetku, aku memilih untuk tidak menjawab.

Kemarin, untuk pertama kalinya aku mengutarakan alasan naif kenapa aku mengagumi Bung Karno.
Menahan suara yang sedikit bergetar karena gugup, di depan orang-orang yang baru ku kenal selama beberapa jam itu aku bercerita tentang sosok Bung Karno di mataku, bagaimana aku mengenal dan tidak mengenalnya, dan bagaimana aku memutuskan untuk mengikuti perjalanan ini.

Bagiku, perjalanan kemarin adalah salah satu perjalanan yang emosional dan keputusan terbaik yang kubuat selama di Bandung.

Satu hal yang pasti,

Perjalanan ini tidak semata-mata menunjukkan kehebatan Bung Karno. Namun lebih penting dari itu, perjalanan ini memperlihatkan sisi “manusia” beliau dengan segala kekurangannya.

Sehingga aku tidak lagi mengagumi Bung Karno sebagai seorang tokoh besar,
Melainkan mengenal, memahami, dan menyayangi beliau sebagai seorang manusia.


***


Terima kasih Komunitas Aleut dan Mooi Bandung.



Foto: Komunitas Aleut dan koleksi pribadi.