Thursday, November 1, 2012

Kenapa Saya Belajar?

Kenapa saya belajar?
Karena saya ingin menjadi mahasiswa ITB tahun depan.

Kenapa saya belajar?
Karena saya ingin membanggakan orang tua.

Kenapa saya belajar?
Karena saya malu menjadi orang bodoh.

Kenapa saya belajar?
Karena saya ingin mengejar mimpi saya.

Kenapa saya belajar?
Karena saya ingin melanjutkan studi ke luar negeri suatu saat nanti.

Kenapa saya belajar?
Karena saya ingin punya pekerjaan yang sukses dan membahagiakan.

Kenapa saya belajar?
Karena saya ingin hidup saya bermanfaat untuk orang lain.

Kenapa saya belajar?
Karena saya berkesempatan untuk belajar, dan itu berarti saya mewakili jutaan orang di dunia yang tak berkesempatan.

Kenapa saya belajar?
Karena setiap saya memejamkan mata, saya yakin semua mimpi itu bisa diraih.


Dan puluhan jawaban yang lain.
Tapi ada satu jawaban paling dasar yang belum bisa saya rasakan meskipun sudah lebih dari 12 tahun saya menuntut ilmu.

Karena saya ingin tahu. 

Wednesday, October 3, 2012

Who's Growing Up with @SheilaOn7 ?

Jika ditanya soal musisi favorit, saya tak akan bisa menjawab. Terlalu banyak dan tidak bisa diruntut. Tetapi jika ditanya dengan musik apa saya tumbuh, atau lebih tepatnya musik siapa yang menemani saya dari lahir hingga saat ini? Yes, I'm 17 and my answer is Sheila On 7.

Why?

Sebenarnya banyak musisi yang menemani saya sejak kecil, I mean benar-benar kecil, dari lahir mungkin. Orang tua yang mencekoki. Mulai dari dalam negeri, ada Sheila On 7, Padi, Dewa 19, Tasya, Sherina, Koes Plus, Chrisye, Iwan Fals, dll. Dari luar negeri ada Queen, The Beatles, Scorpion, Westlife, MLTR, Phill Collins, dan lagu-lagu evergreen lainnya.

But the truly everlasting........

Mulai sejak album pertama, Anton dan Sakti masih ada

So innocent
then

Lalu Anton keluar


Dan akhirnya Sakti keluar, ditambah Brian, formasi utuh yang sekarang


Setelah saya pikir-pikir, saya baru menyadari akhir-akhir ini bahwa Sheila on 7 adalah satu-satunya musisi yang masih saya gandrungi sejak dulu sampai saat ini, tak pernah hilang. Sejak zaman masih kecil, mendengarkan lagu mereka lewat kaset di mobil dan radio, sampai detik ini saya ikuti konser mereka kemana-mana. Sejak mereka masih anak-anak, hingga mereka sudah punya anak. Sejak saya seumuran anak mereka sekarang, hingga saya berumur seperti ketika mereka mulai terjun di musik. Sejak "Perhatikan, Rani!" sampai "Bait Pertama". Oke. Stop.

Mungkin faktor Sheila On 7 berdomisili sama dengan saya juga kali ya. Soalnya, mereka lebih sering manggung di Jogja dibanding band lain. Dan mungkin faktor kakak juga, yang sejak kecil bersama saya tumbuh dengan musik Sheila On 7. Dan yang sekarang masih sama gilanya kalo ada konser Sheila On 7. 

Bukan berarti teman-teman masa kecil yang lain saya kesampingkan, tetapi seperti Padi, Dewa 19, Tasya, Sherina, rasa-rasanya sudah berbeda, tak seaktif dulu, dan bahkan beberapa tak pernah muncul lagi. Sedangkan band-band dari luar negeri, innalillahi mayoritas sudah meninggal dunia/mundur, jadi tidak ada lagu-lagu barunya ._.

Meskipun secara tidak sadar, kalau dilogika, musik Sheila On 7 sedikit banyak membentuk pribadi saya. Menemani saya tumbuh dewasa. Being my inspiration, billion people inspiration. Semoga mereka tak berhenti berkarya hingga tangan Eross, Adam dan Brian tak bisa digerakkan, dan suara Duta tak lagi merdu. Hingga saya tua, dan punya anak. Hingga anak-anak itu tumbuh bersama mereka.


And who's growing up with Sheila On 7?

Me. And million others.

Thursday, September 13, 2012

Pemimpin Yang Baik Itu...

Beberapa hari yang lalu, timeline saya kebanjiran hestek #PadmanaMemilih. Yup, Padmanaba emang baru saja menyelenggarakan Pemilu Padmanaba, guna regenerasi Ketua OSIS. Dan saya jadi tergelitik untuk bikin beberapa tweet random tentang seorang pemimpin yang baik dimata saya.



Yah setidaknya itu analogi paling mudah dimataku, karena mereka-mereka adalah sebagian dari yang kukagumi.

Hidup Padmanaba!

Tuesday, September 4, 2012

Their Stuffs

I just found these pictures on @coldplay's tumblr. They had a big concert in France, and these are the band’s wardrobes in the dressing room...
Guy's (bassist)

Jonny's (guitarist)
Will's (drummer)

Chris's (vocalist)

Look at those Chris's shoes!

Friday, August 17, 2012

Watching Them Singing is Like Taking a Deep Breath

When I was in junior high school, I had a dream. Dream that never leave my mind even for a second:
Someday, somehow, I'll be in a music concert, in the stage, playing music with Chris Martin and Coldplay.

When I went to senior high school, I had another dream. Dream that never leave my mind even for a second:
Someday, somehow, I'll be watching Jason Mraz singing his song in front of my face.

And those dreams still stuck on my mind.

Saya pasti sangat bahagia ketika mimpi itu terkabul. And it's something worth fighting for, I guess. Coldplay dan Jason Mraz adalah dua musisi yang komplit menurut saya. I love their music, I love their characters, and I love the way they treat their fans. Dulu sekali, ketika pertama kali saya dengar suara Chris Martin, vokalis Coldplay, saya langsung tersihir. Dan semakin hari saya semakin tau, semakin suka dengan Coldplay. Begitu juga Jason Mraz.

Setelah Coldplay meluncurkan single kedua dari album Mylo Xyloto, Paradise, saya jadi semakin tergila-gila pada mereka. Mereka selalu punya nyawa dalam lagunya, their songs could take my soul. Karena sangat tidak mungkin ke Eropa untuk nonton langsung konsernya, saya akhirnya browsing di youtube, dan menemukan satu konser Coldplay di Spanyol, kurang lebih 1 setengah jam.




Langsung saya download, 640 MB. Setelah itu, saya tonton di laptop dengan headset sendirian. Saya merasa benar-benar ada di tengah-tengah orang-orang itu. Saya merasa benar-benar ada disana menonton konsernya secara langsung. Di depan laptop, saya lakukan apa yang biasa saya lakukan saat menonton konser. Ketika Chris Martin bernyanyi, saya bernyanyi. Ketika Chris Martin menyuruh penonton meneriakkan sesuatu, saya berteriak. Ketika musiknya mengalun, saya ikut lonjak-lonjak. It feels so close...

Call me crazy, tapi saya benar-benar menikmatinya. Mungkin saat ini mimpi saya belum bisa diwujudkan, tapi menghadirkan secuil impian merupakan kebahagiaan bagi saya.

And I hope someday I'll have some stories about a dream that comes true, to be written on this blog!

Will, Johnny, Guy, Chris

Friday, July 27, 2012

Tak Mau Berusaha Untuk Mampu Berpisah


Tadi sehabis tarawih bersama teman-teman, aku menyaksikan mereka bermain bola dengan begitu gembira di lapangan. Malam ini dingin sekali. Aku berdiri, memandang dari lantai atas, terpaku. Gelak tawa mereka saat itu membuatku tersenyum. Tersenyum ketakutan.

Melihat raut mereka yang begitu bahagia... Entah kenapa aku jadi benar-benar sadar. Bahwa kami sudah dewasa sekarang. Bahwa kami sudah kelas tiga SMA. Bahwa kami bukan lagi bocah ingusan yang bingung menentukan arah. Bahwa Padmanaba telah membesarkan kami hingga titik ini. Tuhan...... waktu benar-benar telah memanipulasi perasaan kita! Lihat wajah-wajah itu, wajah dewasa teman-temanku. Lihat pola pikir mereka, pikiran instan telah berganti menjadi penuh perhitungan meski masih kental dengan euphoria anak muda. Teman-temanku telah beranjak besar bersamaku.

Padmanaba dapurnya, kami persiapkan semua bersama, kami matangkan diri kami bersama, agar kelak semua tersaji dengan baik di meja kehidupan liar. Selama ini kami berpegangan, tak pernah lepas, beranjak bersama menuju kedewasaan. Tangan kami saling berkaitan, serempak kami tumbuh bersama, meski kami tak menyadarinya. Dengan semua kejadian itu, aku ingin bertanya, bagaimana bisa perasaan kami tidak satu?

Aku menyayangi kami tak semata-mata karena kebaikan. Aku menyayangi kami karena ada hinaan di dalam pujian. Aku menyayangi kami karena ada kesalahan di dalam kesempurnaan. Aku menyayangi kami karena ada tidak menyukai di dalam sangat mencintai. Aku menyayangi kami karena kami semua berbeda, dan perbedaan mengajarkan banyak hal.

Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana esok hari kita harus menghadapi kenyataan yang pasti adanya. Kenyataan bahwa kami harus mengambil jalan kami masing-masing, menuju mimpi kami. Sedetik pun aku tak mau berusaha untuk mampu berpisah.

Namun, apa yang bisa kulakukan agar perasaan ini kekal? Kekal, meski kelak tanah dan langit kami telah berbeda. Kami pernah merasakannya ketika meninggalkan bangku SMP dulu. Kami tau kemanusiawian perlahan akan menghapus memori emosional kami. Rasanya tak akan pernah sama, meski kami terikat.

Saat ini, kami disibukkan dengan persiapan masa depan. Masa depan yang memaksa kami meninggalkan zona nyaman. Kami jelas tak bisa berkilah dari yang satu ini, kan? Jadi, satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah berdoa.

Tuhan, aku tau saat itu akan datang. Saat dimana kami dipaksa berpisah oleh diri kami sendiri. Aku percaya Kau sutradara terbaik, skenarioMu yang terindah. Perpisahan selalu ada di setiap pertemuan. Kami tidak berhak menyalahi aturanMu. Maka, ajari kami tentang merelakan. Ajari kami tentang mengikhlaskan. Ajari kami untuk bersyukur. Sehingga ketika perpisahan itu hadir, yang kami punya adalah rasa syukur yang begitu besar karena telah dipertemukan olehMu. Rasa syukur karena telah diberi kesempatan hebat untuk bersatu. Dan semua akan terobati dengan sebuah kerelaan: air mata keikhlasan.

Tuesday, July 17, 2012

Jono Oh Jono

Sebelumnya maaf kalo judul diatas agak mirip sama Jinny Oh Jinny #krik

Sebenarnya, Jono adalah seekor angsa. Kenapa harus saya tulis di blog ini? Karena saya tertarik dengan kisah hidupnya yang complicated. Kenapa namanya Jono? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.

Before

Jadi, semua bermula ketika Om saya membeli sepasang angsa untuk dipelihara di rumah. Hal ini disambut baik oleh kedua anaknya, Yasmin (kelas 4 SD) dan Seruni (kelas 1 SD). Kedua anak ini lah yang kemudian bertugas memberi nama semua angsa yang mereka punya. Pasangan pertama angsa ini diberi nama Baba dan Nyaknyak (jangan tanya kenapa). Lalu, karena hubungan dua angsa ini sepertinya tidak harmonis alias gagal bertelur, si Om beli lagi sepasang angsa yang kemudian dinamai Bobo dan Bibi.

Singkat cerita, Bobo dan Bibi mesra sekali sehingga menetaslah 3 ekor angsa unyu hasil perkawinan mereka.  Dua jantan dan satu betina. Jantan pertama diberi nama Joyo, jantan kedua diberi nama Jono, betina satu-satunya diberi nama Nabila............................... #kemudianhening -_-

Sayangnya, nasib naas kemudian menimpa keluarga bahagia ini.

Nabila, anak paling ayu, harus mati mengenaskan karena kepalanya yang terluka sampai berdarah-darah. Kalo kata Om dan Ibu, Nabila mati karena namanya terlalu berat, kabotan jeneng -_-

Meskipun sedih ditinggal sodara, Jono tetap melanjutkan hidupnya dengan normal. Namun, suatu hari, terjadi sesuatu yang menggemparkan. Seorang kerabat mengatakan bahwa kelamin Jono adalah perempuan! Ternyata Jono telah salah teridentifikasi! Kedua adik sepupuku tadi tidak tinggal diam. Merasa nama Jono kurang tepat, mereka akhirnya mengganti nama Jono dengan nama perempuan yang lebih keren: Jennifer, atau panggilannya, Jean.

Lagi-lagi, jangan tanya kenapa -_-

Setelah kejadian itu, Jono Jennifer tetep melanjutkan hidupnya dengan normal lagi. Namun, suatu hari, Joyo juga harus berakhir menyedihkan karena ikut mati. Mulai dari sinilah Jono Jennifer mulai nakal. Hidupnya nggak tenang, suka mengganggu angsa-angsa lainnya. Om yang sudah kewalahan akhirnya membuat sebuah keputusan yang nggak kalah besar sama dekrit presiden: Jono Jennifer berakhir di pemanggang

Processing

After

Mengheningkan cipta, mulai...
*semua menangis*

Yak. Itulah wajah cantik terakhir Jono opo Jennifer terserahlah. Dan ini foto dua makhluk pembunuh pemberi nama angsa yang cukup handal

Seruni - Yasmin

Wednesday, June 27, 2012

Pasar Kangen Jogja!

Kemaren Rabu tanggal 20 Juni 2012, tepat seminggu yang lalu, saya pergi ke Pasar Kangen Jogja. Sebenernya acara ini sangat tidak direncanakan. Tadinya saya ke tempat Dhea balikin piring tempat kue ulang tahun saya, terus kita berdua ke tempat bimbel gitu, nemenin saya daftar. Ternyata diluar dugaan, daftarnya sebentar banget dan ketika keluar gedung bimbel, hening banget, perjalanan hari itu seperti anti-klimaks sekali. Akhirnya kita bikin-bikin acara, dan singkat cerita kita langsung cus ke Pasar Kangen.

Pasar Kangen Jogja 2012 adalah acara tahunannya Taman Budaya Yogyakarta. Kebetulan tahun ini diselenggarakan tanggal 19-24 Juni. Buat yang belum tau, konsepnya seperti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Buat yang masih belum tau, disana dijual berbagai macam kerajinan, perabotan antik, barang-barang kuno, makanan-makanan tradisional dan lukisan juga. Selain itu, ada pameran kreatifitasnya juga. Oiya, ditambah ada panggung keseniannya. Intinya, tujuan dari acara ini adalah untuk mengobati kangennya masyarakat Jogja akan hal-hal yang berbau tempo dulu. Tempatnya di kompleks Taman Budaya Yogyakarta, ada yang di luar, di teras, ada juga yang di dalam ruangan.

Berikut beberapa fotonya:

Buku-buku, prangko, dll semuanya lawas 

Dhea dengan gaya sok Shinta

ember yang di pojok kanan itu bagian dari pameran lho

ini zona Kampung Nyutran dengan kerajinan layang-layang dan lukisnya

Gambar lucu di tas itu murni handcraft lho, pake semacam rafia warna warni gitu

Lukisannya super besar, panjang aslinya kurang lebih 3 kali yang ada difoto itu

zona Kampung Kricak dengan lukisan yang sama besarnya juga
 
Dhea bersama kerajinan-kerajinan unik dari koran dan kawat

Enaknya jadi orang Jogja. Kalo mulai masuk musim libur gini, bakal ada banyaaaak sekali event seni digelar dimana-mana. Hidup seniman Jogja!

Some Pictures from My Instagram

Mercusuar di daerah Kwaru. Selepas kegiatan Kajian Islam Intensif Padmanaba

Setelah sampe dipucuk mercusuar. Delapan lantai dengan tangga yang curam, lumayan menguras keringat

Tiresias versi gambaran saya

Di atas bukit di daerah Candi Boko. Ini naiknya lumayan menguras keringat juga

Seorang teman, sebut saja Ardita. Entah apa yang dia lakukan

gift from Richard. Kebetulan sempat bertemu dan meminta tanda tangan

Richard in action saat Shaggy Dog tampil di Pawitikra Revolution #3

Tuesday, June 26, 2012

Top Gear Cause Damage to Your Brain

Sejak berlangganan TV kabel Indov*sion, kurang lebih sudah setahunan ini, saya jadi penggila sebuah TV series di channel BBC Knowledge.

275px-TopGearLogo.jpg
Yes, the show is about cars
Top Gear adalah acara tv yang sangat populer di dunia, dan bertahan sudah belasan tahun. Nggak heran eksistensinya bisa begitu kuat. Kualitas acaranya memang patut diacungi jempol

Mungkin buat yang belum tau acara ini, terutama cewek, first impression-nya bakalan "Oh, acara otomotif, ga menarik." Then it means you miss such a wonderful moment in this world.
This show is killing me. Yes, it affected my brain and cause a serious damage.
Klarifikasi dulu, Top Gear yang saya gilai adalah Top Gear versi Britis. Bukan versi australia, amerika, maupun zimbabwe (emange ono).

Kenapa saya bisa begitu jatuh cinta sama Top Gear? Pertama, they have British accent (hahaha maaf kalo mainstream, but it's true). Tidak dapat dipungkiri, kekuatan pria beraksen British bisa melumpuhkan semua cewek di dunia ini. Meskipun wajah-wajah tua Jeremy Clarkson, Richard Hammond dan James May sangat tidak menggugah selera, tapi mereka punya modal nomor satu diatas tampang: British accent!

Richard Hammond, James May, Jeremy Clarkson sukses sekali membawakan acara dengan kelakar-kelakar mereka
Kedua, konsep acara yang sangat-sangat total. A big WOW.
Kalo menurut saya, mereka membagi acara ini dalam dua part. Part pertama adalah the cars time. Membahas masalah mobil keluaran terbaru, mengundang bintang tamu untuk hadir dan membahas masalah mobil, atau hal-hal lain sejenisnya. Tapi tetep dikemas menarik, jadi saya yang notabene nggak ngerti otomotif ini tetep bisa menikmati. Part kedua adalah the idiots time. Nah, part ini memang membahas tentang mobil atau other motor vehicles juga, cuma cenderung lebih ke stupidity test kalo menurut saya. Ini yang disebut Top Gear Challenge, challenge yang dibuat oleh kru atau satu sama lain, dan harus mereka laksanakan. Mereka bertiga akan melakukan ujicoba yang tidak lazim. Yang wah. Yang bakal bikin kalian cuma punya dua pilihan pas nonton: ketawa atau menganga.
Daftar stupid challenges-nya bisa diliat di sini
Kalo nggak percaya dan nggak langganan TV kabel, silahkan lihat-lihat videonya di channel youtube Top Gear.
Oh man, this stupidity...
Melintasi Vietnam dengan sepeda motor + beberapa ujian dari kru
Jeremy dengan "mobil" kebanggaannya ketika mereka bertiga ditantang untuk membuat mobil amphibi
Selain itu, ada juga tambahan-tambahan menarik kayak The Stig yang selalu mereka agung-agungkan. Lalu test drive para artis dengan mobil harga layak, dan masih banyak hal lain yang super lucu sangat tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

The Stig

I think now you guys already know why it cause damage to my brain. For this TV series, I'm totally lost for words. 

Sunday, June 10, 2012

Musikal Laskar Pelangi goes to Jogja!

Hellooooooooo readers! Gila, it's been a looooong time. Lama nggak buka blog, harus bersih-bersih sana sini, nyapu, ngepel, nyusun mebel baru, intinya sudah kangen nulis. Yah meskipun nggak yakin juga blog ini ada readersnya hah!

Kali ini saya mau sedikit nge-review tentang that goddamn Musikal Laskar Pelangi yang totally makes my tongue freezing. Sebelumnya mohon ampun kalo penilaian saya kurang sesuai, maklum, ini cuma review-an anak berkapasitas layaknya pelajar SMA yang cuma tau acting dari ekskul teater.


Yak. Hari Minggu 27 Mei 2012 jam 7 malem di Jogja Expo Center. Meskipun cuma kebagian (baca: mampu beli) tiket SILVER yang notabene kelas paling belakang, berkat niat dan kerja keras berlari, berebut kursi pake rusuh sama ibu-ibu, akhirnya saya bersama seorang teman berhasil mendapat seat silver yang depan sendiri. Dan menurut saya itu justru best view ke arah stagenya karena kursi silver pake level sendiri. Bahkan operator & crew, kayak Riri Riza, Mira Lesmana, Erwin Gutawa, Jay Subiyakto, dll juga duduk beberapa meter dari saya, di daerah silver seat. Oiya, sempet liat Mathias Muchus juga (halah).
Ini nih crewnya:

Erwin, Mirles, Toto Arto, Jay, Riri, Andrea Hirata. Kurang Hartati sang koreografer nih....

Oke, musikal yang satu ini emang gila. Disaat saya yang hobi nonton pertunjukan teater ini sering misuh-misuh tiap keluar dari gedung pertunjukkan karena harga tiket yang terlalu mahal dibandingkan kualitas pertunjukkannya, MLP di scene pertamanya sudah membuat saya misuhi diri saya sendiri karena nggak mampu beli tiket yang lebih mahal. Oh man, pertunjukkan seperti ini hanya dengan 100ribu rupiah? Ini murah banget!

Mungkin ini pertunjukan terbaik yang pernah saya tonton. Bahkan Song of the Sea di Sentosa Island, Singapore saja menurut saya kalah, meskipun dalam hal teknis mereka jauh lebih mulus. Tapi totalitas dari pertunjukkan ini yang nggak bisa dicuekin gitu aja. Sebuah mobil yang benar-benar masuk ke dalam panggung, air yang benar-benar mengguyur panggung ketika adegan hujan, permainan animasi yang luar biasa, setting yang luar biasa indah (no one can do better than Jay!), dan musik. Ini definisi dari totalitas. 

Beberapa gambar MLP dari beberapa web:




Bukan berarti pentas ini tanpa cacat. Menurut saya, lightingnya kurang maksimal. Selain itu, kesalahan teknis seperti sound dari clip on yang sempat terganggu, dan pergantian setting yang sempat sedikit kasar juga terjadi di panggung ini.

Nah, saya akan mencoba nge-review per bidang yang biasa saya gunakan ketika saya pentas dulu, karena kebetulan konsep pentas saya dulu sama persis kayak MLP, hanya bedanya yang satu ini lebih pro. Sekali lagi, ini hanya review dari kacamata seorang pelajar SMA.

Keaktoran:
The first thing that impressed me was the kids. I don't have any idea how Riri and Hartati controlled the kids. It seems like they're 10 or something, and for me, I thought it's impossible to keep them on the track. I mean, mereka bener-bener berakting dan menari dengan baik. The best part was the way they sang. Mereka menyanyi dengan sangat indah. Oh God, keaktorannya patut diacungi jempol. Blokingnya oke banget, bahkan di scene yang sangat crowded. Vokal, nggak perlu dikomentari.

Menari, menyanyi, berakting dalam satu waktu itu nggak gampang

Setting:
This one, one of my favorite part of the show. Bener-bener realis banget dan nggak setengah-setengah. Setting pasar adalah favorit saya. Selain pemainnya, setting ini bener-bener bikin scene hidup. Super realis! (istilah opo iki). Trus ada juga setting yang perspektif, kayak ruang kelasnya. Itu keren banget karena saya baru pertama kali lihat yang begituan. Dan semua setting pake roda, jadinya transisi antar scene-nya cenderung halus, tidak tergesa-gesa, dan terkadang malah jadi bagian dari pertunjukan.

Lighting:
Sebenarnya lighting cukup aman. Bahkan ada yang sangat kuat. Sebagai contoh scene Menanti Ayah, Menanti Lintang. Atmosfernya kebangun banget. Tapi ada juga yang menurut saya lumayan fatal kesalahannya. Sebagai contoh, scene saat Bu Muslimah memanggil anak-anak yang sedang bermain perosotan di sisi panggung yang lain. Anak-anak ini sama sekali nggak keliatan. Yang paling fatal dan sangat terlihat menurut saya adalah scene Bu Muslimah menyanyi solo saat kehilangan Pak Harfan. Padahal scene ini kalo di tangga dramatik bakal megang banget buat jatuhnya, udah musiknya emosional, Bu Muslimah (Eka Deli/Lea Simanjuntak saya lupa) suaranya sangat sangat powerful, sayangnya lighting aduh mamaaa merusak deh. Bener-bener nanggung. Bahkan saat klimaks, Bu Muslimah justru tepat berada di garis tanggung lighting. Sayang sekali.

Menanti Ayah, Menanti Lintang

Kostum:
Mungkin karena sudah ada filmnya, jadi kostum tidak mengalami kesulitan kali ya. Udah ada gambaran. Fine fine aja kok.

Make-up:
Ini juga mungkin karena ini pertunjukan realis, jadi tidak menemukan kendala.

Koreo:
Two thumbs up! Terutama scene kuli Kampung Gantong. Koreonya sangat variatif, blokingnya bagus banget, dan dancernya juga powerful. 

Kuli Kampung Gantong

Multimedia:
Sebenernya menurut saya peran multimedia disini lebih ke inovasinya. Memang animasi membantu scene membangun setting dan emosi scene tersebut. Tapi saya lebih tertarik sama inovasi-inovasi seperti menggabungkan animasi dengan siluet, mengeluarkan giant screen dan animasi di scene Cerdas Cermat sebagai simbol kejeniusan Lintang, dan yang sedikit lebih menarik perhatian saya adalah animasi pohon yang bergerak kemudian dipadukan dengan bentuk-bentuk artistik dari beberapa orang. Brilliant innovation!

Sound:
Sound-nya balance banget. Yah namanya juga professional. Tapi sempat terjadi kesalah teknis juga, mendengungnya sound system sempet terjadi selama sekitar 3 detik.

Musik:
I'm absolutely lost for words. The heart of the show. Alunan musik hasil karya Erwin Gutawa ini kuat banget. Selain itu, lagu-lagunya juga tidak ringan, namun juga tidak complicated, sehingga dengan lirik yang mudah diterima, semua lagu bisa dicerna penonton dengan baik. Apalagi, lagi-lagi saya akan memuji kemampuan vokal para pemainnya. Sangat merata dan emosional. Musik yang memegang emosi penonton. Musik mengambil peran besar dalam membuat semua penonton merasakan emosi yang sama sesuai dengan tangga dramatik yang diinginkan sutradara. Guhhrrreat!



Overall, gila! Saya bangga Indonesia punya pertunjukan sekelas ini! Dan saya pribadi, saya merasa telah dipecundangi oleh that curly director hahaha. Saya kira MLP tidak akan semegah ini. Paling tidak sebelum saya tau Jay Subiyakto terlibat. Okay, I was wrong. I WAS WRONG! Thank you for making this happen, and thank you for bring this to Jogja. You guys are such a genius team!


P.S.: Jay, no matter Riri Riza, Mira Lesmana and Andrea Hirata say, keep it straight. Keep it straight.

Tuesday, May 15, 2012

Seorang Revolusioner

Kemarin malam saya membuka buku saya. Sebuah buku tulis dengan puisi karya Walt Whitman di halaman pertama. Saya memang menulisnya sendiri beberapa waktu yang lalu. "O Captain! My Captain!" jelas sudah saya tuliskan beberapa kali, dalam buku dan beberapa jejaring sosial. Namun sepertinya saya belum mendapatkan jiwa puisi ini.

Kemudian saya mulai membaca dan menyerap kata demi kata dari puisi tersebut.
Air mata saya nyaris lolos.
Sosok seseorang terlintas. Seorang guru. Seorang Revolusioner bagi saya.

Keesokan harinya, saya menunjukkan puisi dari tahun 1800-an itu kepada seorang sahabat.
Lalu dari mulut terlontar begitu saja semua cerita dan kenangan tentang beliau. Sahabat saya ini tidak mengenal sekolah saya dulu, apalagi mengenal beliau.
Dengan bangga saya bercerita tentang beliau, candanya yang terkadang terlalu di luar logika, sikapnya yang unik dan nyentrik, kehebatannya dalam membuka pikiran murid-muridnya. Beliau benar-benar seperti Mr. John Keating dalam film Dead Poet's Society.

Dan ya. Saya kembali membuka semua memori itu. Bagaimana dengan ketidak-mainstream-annya beliau mengajar. Bagaimana dengan ide-ide diluar kepala beliau menyampaikan. Sudut pandangnya dalam menghadapi hidup sangat berbeda dengan sudut pandang orang-orang awam. Selalu mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain, karena menilai dari sudut pandang yang sangat unik. Beliau mengajak kami menilik segala hal dan kasus tak hanya dengan otak kiri, namun juga otak kanan. Mengajak kami untuk tidak dengan mudah menuduh hitam atau putih, namun dengan kebijaksanaan. Kami yang saat itu masih duduk di kelas 1 SMP, secara tidak sadar telah menerima pelajaran yang tak ternilai harganya. Tak bisa diukur dengan nilai dalam rapot, namun bisa dibawa sebagai bekal hingga kelak kami meninggal. Otak-otak polos kami sudah diisi dengan berbagai macam imajinasi, prinsip kehidupan, dan pengelolaan keegoisan tanpa kami sadari.

Tulisan diatas tidak mengandung hiperbola dan metafora. Begitulah yang sebenarnya terjadi di kelas kami dulu. Begitulah fakta yang kami rasakan dulu. Ketika beliau masih bisa tersenyum dan tertawa.

Saya memang tidak mempunyai kedekatan khusus dengan beliau. Padahal saya cenderung bisa mengakrabkan diri pada semua guru. Hampir semua guru hafal dengan saya. Namun tidak yang satu ini. Saya hampir tak pernah berani berinteraksi dengan beliau diluar kelas. Saya enggan, karena saya takut. Takut berkomunikasi karena kehebatan beliau. Saya terlalu terpesona dengan matanya. Bagaimana ia memandang dunia, bagaimana ia menjalani hidup dengan cara yang begitu nikmat dan berbeda.

Bagi saya, mata pelajaran yang ia tanamkan bukan hanya Bahasa Indonesia. Lebih tepat disebut pelajaran kehidupan. Karena meski tak mengenal dengan dekat, semua ilmu itu telah mengalir bersama darah saya. Hanya sedikit mempengaruhi, namun yang dipengaruhi adalah prinsip hidup saya. Sehingga ketika saya menggapai kesuksesan nanti, meski beliau sudah tak kasat mata, beliau selalu ada bersama saya.





But O heart! heart! heart!
O the bleeding drops of red,
Where on the deck my Captain lies,
Fallen cold and dead.





Kepada Bapak Edi Purnomo Hudoyo.
Bapak bagaikan alien bagi saya saat itu. Bapak melontarkan semua ilmu yang sama sekali tidak saya mengerti. Namun kemudian hari saya menyadari. Saya mulai tau apa yang bapak tanamkan dalam diri saya, diri teman-teman. Dan ketika itu kami sudah tak sempat berterima kasih.
Sungguh pintar Bapak mempermainkan kami hahaha
Saya yakin, Tuhan mempunyai skenario yang indah, melebihi apa pun. Dan saya yakin, Tuhan sudah menyiapkan naskah indah untuk Bapak, seorang revolusioner yang sudah membuat hidup entah berapa ribu jiwa menjadi lebih terang.
Semoga Bapak diberi tempat indah, damai dan tenang. Sementara jiwa-jiwa yang Bapak didik dulu akan terus mengejar mimpi.



Monday, May 14, 2012

Something weird to write

"Seseorang akan menjadi hebat ketika ia berpikiran bahwa dirinya hebat, tidak lebih tidak kurang. Jangan lupa berdoa sama Allah, minta diberi kelancaran dan kemudahan. Semangat. " - Farih S R

"Tidak berarti orang tuamu nggak peduli, justru berarti orang tuamu udah percaya sama kamu, udah percaya kalo kamu memang udah gede Li." - Mas Seta

"Jangan minder. Kamu tau nggak, ada motor yang harus di slah berkali-kali baru nyala, kadang malah tetep nggak nyala. Tapi ada motor yang cukup distarter sekali langsung nyala." - Mas Qori

"Your voice is good. You play guitar very well. I believe one day you'll become a great musician. Trust me." - Mi, seorang guru Thailand.



Tuhan, terima kasih atas karunia-Mu.
Kehidupanku, jiwaku, ragaku.
Keluarga yang sangat bahagia, sahabat-sahabat penuh kasih, serta manusia-manusia asing yang mempengaruhi hidupku.

Aku menerima.
Aku belajar.

Janji.
Aku akan menggantung cita-citaku sampai ke luar angkasa. Aku akan memperjuangkan mimpiku hingga nafasku sirna. Aku akan menunjukkan pada dunia bahwa aku mampu, dan aku layak mendapat karunia-Mu. Bahwa aku tidak main-main. Bahwa semua impianku, musik, gambar, basket, eropa, adalah kenyataan di depan mata yang hanya perlu ku gapai dengan keringat dan doa.

Carpe diem!

Impianku tak main-main.

Tuesday, April 17, 2012

What I've Learnt from Jubah Macan

Tadi pagi saya sempat merenung sendiri. Secara tidak sengaja, tiba-tiba mata saya menangkap jemari tangan saya. Kukunya panjang. Dan hal kecil ini langsung mengingatkan saya pada Jubah Macan.

Kuku jari tangan saya hampir tidak pernah panjang. Tapi ada hal yang membuat kuku saya panjang. Seperti halnya tahun lalu, kuku jari tangan saya selalu panjang ketika proses Pentas Besar Teater Jubah Macan mulai latihan setiap hari sampai malam. Apa hubungannya?

------

Basket, bermain gitar, menulis sesuatu (mengetik).

Tiga hal yang sudah menjadi rutinitasku. Hampir tidak pernah kutinggalkan. Tahu kesamaannya?
Ya. Sama-sama tidak bisa dilakukan jika kuku kalian panjang. Maka saat kuku jari tanganku mulai panjang, itu pertanda aku tidak pernah bermain basket, bermain gitar dan menulis lagi. Padahal kegiatan-kegiatan itu adalah kegiatan yang sangat sederhana, tidak memerlukan banyak waktu, dan bisa dilakukan sembari lewat.


Karena Jubah Macan. Gara-gara Jubah Macan. Empat belas jam sehari, diluar rumah. Waktu saya tersita. Untuk melakukan hal favorit yang sederhana pun tak sempat. Maka saya harus meninggalkan bola basket kesayangan saya. Meninggalkan gitar motif batik kesayangan saya. Meninggalkan blog kesayangan saya.

Menderita? Tersiksa?
Pikiran saya tidak sesempit itu. Justru disitulah kenapa Jubah Macan terus ada dan bersuara.

Pengorbanan.

That's what I learned from being Jubah Macan.


"Dimana Rumahmu, Nak?"

Disebuah handbook sederhana produksi siswa internal, saya membaca sebuah tulisan.


Dimana Rumahmu Nak?

Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor di kampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu Nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil Ibu yang lugu.
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis, ibu kembali mematut diri menjadi seorang ibu aktivis. Dengan segala kesibukanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu Nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia Nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak, tanpa pernah ibu berpikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku, kita memang berada di satu atap Nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah rumahmu Nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu di rumah dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk Ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi Ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk Ibu. Atau jangankan untuk tersentum, sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu Nak, Ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja, memberi sedikit nasehat yang Ibu yakin engkau pasti lebih tau. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau Nak, tapi bukankah aku ini ibumu? Yang 9 bulan waktumu engkau habiskan di dalam rahimku...
Anakku, Ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk Nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, Ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati Ibu mulai bertanya Nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini Nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menyakan keadaan adik-adikmu Nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu?
Anakku, Ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat enkau merasa sangat tidak produktif harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang Nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan, Tapi bukankan keluargamu ini adalah tugasmu juga Nak? Bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga Nak?
Anakku, Ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu pada Nak, ada rapat di sana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada Nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal Nak, andai engkau tahu sejak kau ada di rahum ibu, tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu, putra kecilku...
Kalau boleh Ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh Ibu bertanya Nak, dimana profesimu untuk Ibu? Dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat?
Ah, waktumu terlalu mahal Nak. Smapai-sampai Ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama Ibu...
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak, dan adik. Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.
Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari ridhamu atas segala aktivitas yang kita lakukan. Karena tanpa ridhamu, mustahil kuperoleh ridha-Nya...



Dan kelopak mata pun tak kuasa membendung linang air mata.


(Sumber: Handbook panitia Kajian Islam Intensif Padmanaba 2012, KIIP Believing)

Tuesday, April 3, 2012

Tak Pernah Berhenti Bertanya

Menyaksikan rapat para anggota DPR beberapa hari yang lalu membuatku ingin membuat tulisan ini.

Banyak kejadian ganjil dan di luar kepala yang terjadi di negeri ini. Bahkan terlalu banyak untuk diceritakan. Terlalu semrawut untuk menjadi bahasan. Sampai-sampai terlalu klise untuk dibicarakan.

Jujur saja, saya masih sangat peduli dengan negeri ini. Sedikit banyak saya mulai memikirkan masa depan bangsa, meskipun dengan kapasitas seorang pelajar SMA. Namun terkadang, dengan terus bergulirnya hal-hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi tetapi justru terus diulangi, lama-lama terasa sedikit jengah juga. Jengah karena gemas. Gemas karena selalu saja hal bodoh yang terjadi.

Dan sejak dulu, setiap melihat fenomena manusia di Indonesia, pertanyaan ini yang selalu muncul:

Apa yang ada dalam benak Bung Karno dan para pejuang jika saat ini mereka bangkit dan melihat keadaan bangsanya yang sekarang?




Saya tak pernah berhenti bertanya, karena saya tak pernah tahu jawabannya.

Sunday, April 1, 2012

Seorang Teman dan Sebuah Lagu

Sebelumya saya mau minta maaf.
Maaf, karena nama-namanya saya samarkan, karena takut tidak diizinkan oleh pelaku sebenarnya hehe.
Maaf, karena postingan ini berbau metafora dan hiperbola hehe.
Maaf, sepertinya ini akan menjadi postingan egois, karena kali ini saya mau posting demi kepuasan diri sendiri hehehe I want to share something that looks unimportant for you guys.

--

Seorang teman dan sebuah lagu.

Saya punya teman baik, seorang lelaki, sebut saja sebagai Ardita (bukan nama asli). Saat ini kami duduk di kelas 11, dan satu kelas. Kami berteman sejak kelas 1 SMP, dulu satu kelas juga. Sejak dulu, saya dan dia paling sering share tentang musik dan film. Saya share musik dan film ala saya ke dia, begitu juga sebaliknya. Karena kami memang relatif bisa menerima segala jenis musik dan film.

Cerita dimulai ketika kami SMP. Saya lupa tepatnya kelas berapa. Tapi suatu hari dia menyanyikan suatu lagu yang sangat asing di telinga saya, dan saya yakin lagu ini pasti hanya ada di kalangan tertentu, karena sedikit "nyentrik".
Ardita baru satu kali mendengar lagu ini dan hanya ingat bagian reff-nya yang menurut saya the most weird part of the song. Dia berusaha mengingat-ingat dengan terus menyanyikannya sembari menanyakan pada saya. Jujur, sedikit annoyed dan sayangnya saya sama sekali nggak tau asal usul lagu nyentrik itu. And it seems like Ardita wants the song so bad.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba dia menghampiri saya, mengeluarkan hapenya dan.......... mengalunlah full version of that weird song.
Ardita bahagia.
Saya melongo.
Saya gak habis pikir dari mana dia dapet lagu itu. Dia nggak tau judulnya, dia nggak tau penyanyinya, dan dia cuma tau satu kata dari lirik lagu itu.
Ternyata begini perjuangan Ardita kalo sudah jatuh hati pada sebuah lagu. Dan jenis lagunya begituan. No offense hehehe.

Maklum anak SMP, kami masih labil. Semenjak itu Ardita jadi sering ndengerin lagu itu. Saya juga jadi familiar dan mulai ikut-ikutan nyanyi kayak Ardita. Gila. Bahkan waktu kelas kami lagi kebagian di lab bahasa, dia maju ke depan, ambil mikrofon, dan nyetel lagu itu dari hapenya lewat mikrofon. Kurang ganteng apa sih sahabat saya yang satu ini? Parahnya, saya ikut-ikutan nyanyi dengan joget alien khas Ardita juga. Teman-teman sekelas seketika keracunan. Oralah.

Singkat cerita, bertahun-tahun setelah itu saya tidak pernah menanyakan tentang lagu itu lagi ke Ardita. Sampai akhirnya saya dan Ardita masuk SMA.

Di suatu acara intern SMA 3, ada sebuah band intern yang lumayan punya nama di kalangan SMA 3. Dan tiba-tiba band itu menyanyikan lagu yang sangat tidak asing di telinga saya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ini dia pujaan hatinya Ardita.
Setelah itu saya langsung mendatangi Ardita dan minta lagunya. Tapi saya tidak menyinggung apapun soal kejadian beberapa waktu silam.

Nah, beberapa minggu yang lalu, saya ngobrol-ngobrol gak jelas dengan Ardita. Rutinitas yang selalu kami lakukan. Dan entah kenapa saya teringat kejadian lagu itu. Lalu saya singgung lagi, saya masih penasaran dari mana dia dengar dan dapatkan lagu itu. Ceritalah si Ardita ini. Ternyata dia denger waktu dia dateng ke acara Open House-nya Padmanaba pas kami masih SMP. Ada sebuah band yang bawain lagu ini. Terus, karena sudah kepincut, si Ardita yang menurut saya gak punya malu ini, mencari-cari info tentang si empunya lagu. Browsing sana-sini, akhirnya dapet deh nomer hape pengarangnya, sebut saja X. Ardita sama sekali gak tau dan gak kenal X, tapi dengan sangat polosnya dia langsung sms dan minta lagunya. Mereka beberapa kali saling kirim sms, dan akhirnya Ardita berhasil dapet link untuk download. The end of the story.

Eeeeeeh tapi lucunya lagi, Ardita dan X ini di SMA ternyata dipertemukan oleh Allah SWT dalam sebuah komunitas. Otomatis mereka pasti kenal satu sama lain.
Saya nanya sama Ardita: X tau enggak sih kalo Ardita yang dulu dengan gigihnya nyari lagunya X itu adalah Ardita kamu?
Ardita hanya menjawab dengan mengangkat bahu, sepertinya tau, tapi mereka tidak pernah menyinggung itu.

Dan ya. Begitulah cerita tanpa tangga dramatik ini berakhir.

Kesimpulannya, skenario Tuhan itu menarik. Sebuah lagu ternyata berhasil menjadi perantara takdir bertemunya dua insan petualang yang ganteng-ganteng dan macho-macho itu.
Akhir kata, salam satu jiwa! *edisi aremania*

Wednesday, March 28, 2012

Trip to Thailand (part 3)-end

Lucu memang. Meneruskan postingan ini di saat partnerku dari Thailand justru sudah selesai studi banding ke sini. Tapi mau gimana lagi, beginilah kelakukan seorang penulis yang sangat diatur oleh suasana hati. Mari kita lanjutkan...


Day 4
Kami ke Candi Ayutthaya. Tempat inilah yang kena banjir lumayan parah. Pas disana masih kelihatan banget bekas banjirnya. Setinggi kurang lebih 2 meter.


Itu garis batas airnya. Muka ku gausah diliat ya -..-






Setelah puas lihat candi dan lunch, kami ke sebuah tempat yang aku lupa namanya hehe. Pokoknya katanya tempat itu dulu tempat tinggalnya raja. Kawasan itu punya beberapa bangunan dengan berbagai macam arsitektur dari seluruh dunia plus taman yang bagus banget.
Habis itu malemnya aku makan malem di semacam food park yang luas banget, sama dad, mom & Palm. Dan disitu, nggak cuma main food aja, aku juga makan buanyaaaaak banget dessert Thailand. Kekenyangan.





Yaaaaah itu baru sebagian kecil dari makanan yang ku makan.
Sedihnya, itu malam terakhirku sama host family. Sediiiiiih.

Day 5
Hari kelima di sekolahan, say goodbye to my partner, Palm, and  my host family.



Setelah dadah dadah plus nangis-nangis sama keluarga dan teman-teman dari Thailand, kami langsung meluncur ke Mini Siam. Sebuah objek wisata yang punya banyaaaaak sekali miniatur bangunan-bangunan populer di seluruh dunia.


Sebenarnya ada banyak foto oke saat aku foto sama eiffel, sphinx, liberty, dan lain lain. Tapi kami sepakat menyimpan fotonya untuk di publikasikan beberapa bulan lagi. Biar kayak abis keliling dunia beneran -_-
Oiya, yang bikin aku agak kecewa adalah: dari puluhan miniatur yang bagus-bagus itu TIDAK ADA miniatur candi Borobudur maupun bangunan lain dari Indonesia T---T

Lanjut, kita ke pasar apung yang aku juga lupa namanya ehehe. Tapi pasar yang satu ini disebut pasar apung bukan karena penjualnya jualan dari atas perahu, tapi bangunan kios-kiosnya di konsep berada di atas air. Kalo di Indonesia, arsitekturnya semacam restoran-restoran pemancingan gitu. Dan barang-barangnya oke punya. Harganya standard sih, cuma ga bisa di tawar.
Daaaaaaan, aku beli es krim turki!!!! Rasanya emang ga seenak yang kubayangin sih. Tapi ini kepuasan batin. Makan es krim turki adalah salah satu resolusi hidupku. Selama bertahun-tahun aku cuma bisa liat di TV gimana penjual es krim turki mempermainkan pembelinya, dan sekarang, aku makan! Hari bahagia.....

 
maaf bentuknya agak aneh. Sudah terlanjur ku makan.
Selanjutnya, kami dinner di Pattaya Tower! Kita makan di lantai 56 saat sunset. Dan itu restoran buffet. Ditambah kaca yang gede, pemandangan langsung ke kota dan pantai. Oiya, satu lagi. Restoran ini muter. Muter dalam arti denotasi. Jadi kursi-kursi dan meja kami berputar, sedangkan makanan dan kacanya tidak. Alhasil kami bisa melihat pemandang kota dan pantai secara bergantian :333 *ndeso mode: JEBOL*






Lanjut, kami akhirnya menuju tempat bermalam. And you know what? Isu yang beredar semula adalah kita akan nginep di hotel. Tapi ternyata, di perjalanan kami denger kalo kitabakal nginep di mess tentara angkatan laut Thailand! Spontan aja kami langsung ber-sarkasme-ria berhubung gurunya sono kagak ngerti bahasa Jawa. Kita udah ga terima gitu. Dan ketika sampe sana...... jeng jeng jeng jeng! Ternyata messnya buat VVIP. Tidak seperti yang kubayangkan, mess ini berbentuk pondok kayu 2 lantai ala pesisir, satu pondok dihuni kurang lebih 10 orang dengan fasilitas 1 kamar mandi, 3 kamar tidur, 1 ruang keluarga, 1 kulkas, TV, AC, dan jendela-jendela besar yang langsung menghadap ke pantai! Gileeeee tentara disana manja abis yak.

Day 6
halaman mess tentara
Dari mess tentara kita langsung cusss ke pantai Pattaya.Kita jalan-jalan sebentar sekalian shopping dikit-dikit.


Selanjutnyaaaa ke sebuah tropical garden. Nong Nooch Tropical Garden. Safari taman, kebun binatang, tempat pertunjukan, penelitian edukatif, restoran, resort, dll lengkap jadi satu. Dan tamannya, patut diacungi 5 jempol.











Dan ya. Dengan manisnya, guru pendamping dari Thailand berkata bahwa hari itu kita bermalam di sana, di resort. Dan kita akan dinner dengan kepala sekolah, pejabat, direktur hotel, di sana juga, di restorannya. Semacam farewell party. Bahkan mereka menyiapkan pertunjukan-pertunjukan khas Thailand. Kami juga nyanyi-nyanyi bareng di panggungnya. Cool!

Day 7-end
Biar bagaimanapun, udara kampung halaman selalu menjadi tersejuk untuk dihirup. Setelah sarapan di restoran yang sama, kami akhirnya meninggalkan Nong Nooch Tropical Garden, meninggalkan Pattaya, meninggalkan Thailand, kembali ke Tanah Air.








(Terima kasih untuk Icha atas foto-foto indah dari tangannya)