Tadi sehabis tarawih bersama teman-teman, aku menyaksikan mereka bermain bola dengan begitu gembira di lapangan. Malam ini dingin sekali. Aku berdiri, memandang dari lantai atas, terpaku. Gelak tawa mereka saat itu membuatku tersenyum. Tersenyum ketakutan.
Melihat raut mereka yang begitu bahagia... Entah kenapa aku jadi benar-benar sadar. Bahwa kami sudah dewasa sekarang. Bahwa kami sudah kelas tiga SMA. Bahwa kami bukan lagi bocah ingusan yang bingung menentukan arah. Bahwa Padmanaba telah membesarkan kami hingga titik ini. Tuhan...... waktu benar-benar telah memanipulasi perasaan kita! Lihat wajah-wajah itu, wajah dewasa teman-temanku. Lihat pola pikir mereka, pikiran instan telah berganti menjadi penuh perhitungan meski masih kental dengan euphoria anak muda. Teman-temanku telah beranjak besar bersamaku.
Padmanaba dapurnya, kami persiapkan semua bersama, kami matangkan diri kami bersama, agar kelak semua tersaji dengan baik di meja kehidupan liar. Selama ini kami berpegangan, tak pernah lepas, beranjak bersama menuju kedewasaan. Tangan kami saling berkaitan, serempak kami tumbuh bersama, meski kami tak menyadarinya. Dengan semua kejadian itu, aku ingin bertanya, bagaimana bisa perasaan kami tidak satu?
Aku menyayangi kami tak semata-mata karena kebaikan. Aku menyayangi kami karena ada hinaan di dalam pujian. Aku menyayangi kami karena ada kesalahan di dalam kesempurnaan. Aku menyayangi kami karena ada tidak menyukai di dalam sangat mencintai. Aku menyayangi kami karena kami semua berbeda, dan perbedaan mengajarkan banyak hal.
Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana esok hari kita harus menghadapi kenyataan yang pasti adanya. Kenyataan bahwa kami harus mengambil jalan kami masing-masing, menuju mimpi kami. Sedetik pun aku tak mau berusaha untuk mampu berpisah.
Namun, apa yang bisa kulakukan agar perasaan ini kekal? Kekal, meski kelak tanah dan langit kami telah berbeda. Kami pernah merasakannya ketika meninggalkan bangku SMP dulu. Kami tau kemanusiawian perlahan akan menghapus memori emosional kami. Rasanya tak akan pernah sama, meski kami terikat.
Saat ini, kami disibukkan dengan persiapan masa depan. Masa depan yang memaksa kami meninggalkan zona nyaman. Kami jelas tak bisa berkilah dari yang satu ini, kan? Jadi, satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah berdoa.
Tuhan, aku tau saat itu akan datang. Saat dimana kami dipaksa berpisah oleh diri kami sendiri. Aku percaya Kau sutradara terbaik, skenarioMu yang terindah. Perpisahan selalu ada di setiap pertemuan. Kami tidak berhak menyalahi aturanMu. Maka, ajari kami tentang merelakan. Ajari kami tentang mengikhlaskan. Ajari kami untuk bersyukur. Sehingga ketika perpisahan itu hadir, yang kami punya adalah rasa syukur yang begitu besar karena telah dipertemukan olehMu. Rasa syukur karena telah diberi kesempatan hebat untuk bersatu. Dan semua akan terobati dengan sebuah kerelaan: air mata keikhlasan.