Monday, April 28, 2014

Mendengar Radiohead

Aku ingin belajar menangis tanpa air mata, perasan perasaan-perasaan yang lembap. aku percaya ada perihal semacam itu; peri yang memperindah hal-hal perih, batu yang bertahan di alir air sungai, atau badai yang lembut. Aku tahu ketelanjangan tempat bersembunyi bunyi yang lebih nyaring daripada sunyi.

Dan dalam setiap yang pecah ada keindahan, hal-hal yang berhak dicahayai senyuman; porselin mahal yang membentur lantai ruang tamu, lampu taman yang mati, daun-daun dan daun jendela yang jatuh, hati yang patah dan perpisahan, atau rindu dan bayi-bayi yatim piatu.

Aku lahir dari ucapan-ucapan ibu yang lebih banyak ia kecupkan dengan diam: berlari adalah kesunyian, berjalan adalah kebalikannya. Aku bertahan bertahun-tahun berlari dalam kesunyian menuju kau. Aku mau menemukanmu, agar mampu berjalan menggandeng tanganmu mengelilingi pagi yang hangat. Atau mengantarmu pulang, menyusuri gelap, dan dengan sepenuh ketulusan aku ingin menjaga dirimu dari diriku.

Ketulusan, panjang dan susah dinikmati sepenuhnya, seperti musim. Kejujuran, singkat dan tidak mudah diduga, seperti cuaca. Namun jika kau menginginkan jarak, aku akan menjadi ketiadaan yang lengang. Sebab ingatanmu sedekat-dekatnya keadaan aku. Lebih dekap dari pelukan sepasang lengan.

Kesalahanku padang rumput yang hijau. Seperti ternak, aku ingin makan dan menjadi gemuk. Menjadi potongan-potongan daging yang membuatmu enggan tersenyum seusai makan. Menjadi lemak yang kau keluhkan dan menghabiskan uangmu. Sementara kebenaran semata museum yang tidak kita sadari. Jika ada waktu, kau akan mengunjunginya. Namun kau terlalu sibuk melupakanku.

Masing-masing kita adalah kumparan diri sendiri, orang lain, dan bayangan yang setia. Tidak ada kemurnian. Dalam pengingkaranmu akan aku, ada cinta yang akan membuatmu bersedih suatu kelak.

Sementara aku, aku tahu cara mengisi kekosongan adalah menunggu. Dunia ini dipenuhi keseimbangan-keseimbangan. Tepat ketika seorang melihat matahari sore menutup mata, di tempat lain ada seorang menatap matahari pagi bangun. Ketika matamu tiba-tiba berair, dari jarak yang tidak kau ketahui aku tersenyum menghangatkan kesedihanmu.


------------------------------------------


Adalah karya Aan Mansyur atau mungkin khalayak twitter lebih akrab dengan akunnya: @hurufkecil

Saya suka sekali membaca sajak diatas berulang-ulang. Indah.

Monday, April 21, 2014

Gigih

Hari ini saya mengalami hari yang buruk.
Tugas dan kewajiban menumpuk, basah kuyup kehujanan keliling jogja, ditambah kehilangan ini dan itu.
Untungnya pukul 23.00 saya masih bisa letakkan tubuh dan menulis ini.
Gila. Hampir gila saya hari ini. Sampai sudah malas sendiri bercerita ke teman terdekat.


Tapi kejadian hari ini membuat saya banyak berpikir.


Sampai detik ini saya masih mampu menopang semua beban, meski sedikit terseok-seok. Padahal selama ini ketika batas kelelahan ini belum saya capai, saya sering menyerah duluan. Saat itu saya pikir saya tidak mampu melanjutkan lebih jauh lagi. Bodoh. Buktinya sekarang saya masih kuat berlari. Bodoh. Saya terlalu cepat menyerah saat itu.

Saya jadi ingat kata-kata Bapak Ashar: "Di tengah teknologi yang begitu banyak ditawarkan saat ini, kalian itu harus gigih. Lebih gigih dari kami dulu, karena kemudahan adalah lawan kalian."

Ya. Benar kata Pak Ashar.
Semua serba canggih sekarang. Mau ini dan itu sudah tersedia.
Tapi kemudahan ini malah memangsa kegigihan.
Ahh... memang, kemudahan perlahan memperdaya kita.
Bukannya memahami kegigihan, kita lebih sering memamerkan "kegigihan".

PR saya, PR kita semua saat ini memang berat. Tapi berat bukan berarti tidak mungkin.
Paling tidak dengan kejadian hari ini saya seperti diberikan waktu untuk mengevaluasi diri.

AYO LEBIH GIGIH!