Thursday, September 22, 2016

Secuil Cerita dari Foto

Bapaku seorang ketua jemaat gereja. Juga seorang tokoh masyarakat yang paling dihormati. Mamaku seorang perempuan yang terkenal akan kepandaiannya memasak. Setiap hari selalu ada kue di meja kami. Kaka Sola, Intan, Novi, dan Ayu adalah teman menonton film-film dari kaset bajakan yang mereka beli di kota. Maikel, ia temanku bercerita di rumah, juga teman bermain di pantai belakang rumah.



Albert, si anak SD yang jago main bola. Ia gemar menggandeng tanganku. Nahum, bocah kecil tak banyak bicara yang sering minta diajarkan pelajaran sekolah. Fiktor, si tukang bolos dan pemalas ini berubah menjadi rajin membantuku perihal memasak dan memotong kayu.



Anak-anak adalah kehidupanku. Terlalu banyak anak-anak yang tak bisa kusebutkan satu per satu, yang tak bisa kudapatkan fotonya satu-persatu. Mereka alasanku untuk bangun pagi, untuk turun ke jalan, untuk lari ke pantai, untuk naik ke pohon, untuk tersenyum setiap hari, dan sekarang untuk segera kembali kesana lagi. Aku menyayangi mereka semua seperti seorang kakak yang menyayangi adik-adiknya.



Bima. Sahabatku, musuh kecilku, penjagaku, pelindungku, penghiburku, pengawalku.
Bima dan aku, kami menangis dalam pelukan pertama dan terakhir kami.

Wednesday, September 21, 2016

Premis Kasih Sayang

Sore itu, aku menerima telfon dari seorang perempuan. Ia adalah mama dari Bima.

Sore itu, aku menyadari sebuah keanehan.
Aku bahagia mendengar suara seseorang yang bahkan tak pernah ku tahu wujudnya, tak pernah ku kenal pribadinya.

Ternyata kasih sayang bisa muncul di tempat-tempat dan waktu-waktu yang tak terduga.
Menembus batas-batas yang dibuat-buat oleh manusia: suku, agama, ras, dan banyak lainnya.
Bahkan menembus hal yang dijunjung tinggi oleh manusa: logika.

Aku, adalah satu korban kecarut-marutan kasih sayang.



Tuhan memang suka melucu.


Tapi aku suka lelucon-Mu.

Mendengar Suara Bima

Akhirnya, setelah sekian lama aku membayangkan kehadirannya di sekitarku, mengingat-ingat suaranya, setelah sekian lama aku merindukan Bima, siang itu adik kecilku menelfon lewat telfon genggam bapanya.

"Halo Kaka Lia."

Spontan aku meloncat dari kursi dan lari keluar rumah. Semata-mata karena senang bukan main dan tak mau teriakanku mengganggu orang di rumah.
Sungguh, hati ini rasanya mau meledak-ledak. Senang bukan main.

Namun, lagi-lagi namanya juga Bima. Hubungan "adik-kakak" kami tak pernah sentimentil. Aku dengan lihai menyembunyikan perasaanku yang emosional ini dan tetap berlagak tenang menghadapinya. Hahahaha.
Selama telfon kurang lebih 30 menit, kami menyombongkan diri, mencela, dan tertawa bersama. Sesekali aku menanyakan sekolah dan kelanjutan seleksi sepak bolanya. Hanya itu hal serius yang bisa kami bicarakan.

"Kaka Arma ada tangkap teteruga."
"Ko ada janji bikin gelang teteruga untuk kaka to. Mari sini kasi kaka."
"Kaka datang ke kampung boleh, sebentar sa bikin untuk kaka."
"Iyo sebentar kaka lari ke Warbor."
"Hahaha.."
"Hahaha.."

Ah, betapa aku berharap kalimat itu bukanlah candaan.

Terima kasih, Bima. Bima bikin kaka bahagia sekali.
Nama Bima, akan selalu ada di setiap doa kaka.

Friday, September 16, 2016

Aku Akan Pulang

The fact that I still often cry over Bima and everything...

And all I can do is praying.