Wednesday, November 21, 2018

Mungkin

Ingin menulis tentangmu, berulang kali buntu.

Mungkin karena halaman belakangmu penuh dengan alasan kenapa banyak sekali jam pelajaran yang dilewatkan untuk tertawa di Ruang Progresif.

Mungkin karena buku tulismu merekam setiap kayuhan di hari rabu pagi dan sore, bahkan terkadang malam.

Mungkin karena kantong celanamu berisi puluhan ketukan jari tanganmu di pintu rumah yang tercipta searah.

Mungkin karena sepatumu terjejak di setiap ruang dan ingatan akan rumah; ayah, ibu, sahabat, kota kelahiran, kebodohan anak muda, sampai cangkir-cangkir kopi di entah berapa atap.

Perjalanan yang panjang.

Mungkin terlalu banyak kemungkinan,
Hingga aku sering menyelimuti keputusan penting dengan tawa dan gelengan kepala tak percaya.


Mungkin,
Kamu kemungkinan yang terakhir.

Sunday, October 28, 2018

Mas Bumi

Mas Bumi,

Akhir-akhir ini aku diberi tahu oleh alam semesta,
Kalau Tuhan itu suka melucu.
Akhir-akhir ini tak henti ku tertawa dalam hati.
Tak menyangka cerita hidupku dibuatNya selucu ini.

Mas Bumi,
Rasanya ingin bercerita tentang bintang-bintang yang berkelip jauh di lubuk hati sana,
Atau tentang kelinci-kelinci hutan yang berlarian di atas kepala,
Semuanya.
Tapi kata telah kehilangan kemampuannya.
Lebih baik ku simpan dalam diam saja.
Lain kali.
Mungkin lain kali saat ku rasa diriku telah benar-benar aman dari serbuan masa depan.
Aman.
Kita akan berjumpa dan ku ceritakan semuanya, bintang, kelinci, dan kawan-kawannya.

Dan ku pastikan saat itu aku akan baik-baik saja.

Mas Bumi,
Terakhir,
Kamu pernah jatuh cinta?

Saturday, September 15, 2018

Aku dan Newsies

Disney's Newsies Broadway Musical adalah musikal Broadway pertama yang membuatku terobsesi.

I watched a lot of Broadway short-scene performances in Tony Awards (since it's the only way to get to know Broadway show).
And I fall in love with Newsies Broadway Musical since I watched the 66th Tony Awards in 2012.

Aku yang masih SMA dan aktif di klub teater saat itu, seketika jatuh cinta pada cerita, lagu, setting, dan koreografi Newsies yang tampil 1 scene di acara Tony Awards (and they won the awards for best choreography and best original score!).


Sejak saat itu aku menggali banyak tentang Newsies, mulai dari aktor-aktrisnya, sutradara, koreografer, music director, dan video-video tentang Newsies yang bisa aku tonton di youtube (cause watching the full show on Broadway seems impossible).
Watching a musical show is always an emotional experience for me.
It was a good feeling just to watch some backstage videos, or some little parts of the show.
Until their very last day on Broadway, I clearly never got the chance to watch their show. But that video on youtube is enough to make me obsessed with them. And I never try to find out how the story goes. It simply because there's still hope inside me that one day I could see this show, the full show.

Until one day, years after I saw that Tony Awards, I found this movie version of Newsies Broadway Musical live show.

Deg-degan.
Cuma mau nonton kayak gini di layar laptop aja aku deg-degan.
Aku tutup pintu dan jendela kamar, mematikan handphone, memasang speaker, dan mulai menyaksikan filmnya.

Newsies was my first Broadway show........ on screen (still looking forward to my first off-screen show 😁).
And it was beautiful and amazing.

Sebagai anak yang sedikit banyak tau bagaimana proses menciptakan sebuah pertunjukan teater, dan sebagai anak yang sedikit banyak tau bagaimana emosionalnya memainkan peran di atas panggung, it was a great feeling.



Like I said before, watching a musical show is always an emotional experience for me.
Aku tercengang,
Sesekali ikut bernyanyi,
Beberapa kali tertawa,
Dan menangis.
Bukan karena cerita yang sedih. Bukan.
Aku menangis saat emosi yang tergurat di wajah para pemain itu sampai padaku, tau rasanya dada yang penuh sesak oleh emosi di atas panggung.
Aku menangis saat pertunjukan begitu indah dan sempurna, aku menangis karena terlalu emosional, bahkan hanya dari layar laptop saja.

Aku ikut bertepuk tangan saat semua audience beranjak dari kursinya dan memberikan tepuk tangan mereka yang paling meriah, like I was one of them right there.

It was another great experience of watching musical, even if it's on screen.

Thank you Newsies,
After a long time of not feeling it,
You remind me to that famous quote of life,
That the things I'm doing right now is necessary to sustain life,
But love, beauty, music, things that fill my heart, things that I feel when I saw the show, these are what we stay alive for.

Thank you Newsies,
You bring the spirit and the happiness in me.

Friday, August 10, 2018

Mas Bumi

Orang dewasa itu kasihan ya.
Aku ingin menjadi bocah selamanya.

Mas Bumi,
Ternyata belajar yang paling susah itu bukan di ruang kelas.
Bukan juga di Indomaret Jalan Monjali menjelang UAS.

Belajar paling paripurna adalah ketika aku tau,
Hal yang terlihat sederhana ternyata rumit,
Hal yang terlihat mudah ternyata susah,
Hal yang sudah pasti terjadi ternyata belum terdefinisi,

Mas Bumi,
Si dua puluh tiga tahun mengajariku bahwa ternyata menjadi dewasa itu sulit.

Oh,

Dan cinta itu rumit.

Wednesday, August 8, 2018

Dua Detik Padamu

Katanya aku sang kuat.
Nyatanya aku si lemah.

Katanya aku sang supel.
Nyatanya aku si penyendiri.

Katanya aku sang pemberani.
Nyatanya aku si penakut.

Katanya aku sang percaya diri.
Nyatanya aku si minder.

Jangan percaya katanya, ya?
Percaya saja pada nyataku, yang tak banyak orang tau.

Dua detik lagi,
Atau barangkali dua purnama berjanji,

Akan ku ceritakan padamu,
Dan pada pemburu waktu.

Saturday, August 4, 2018

Aku dan Puisi Pak Sapardi

Aku tau Marsinah, tapi tak pernah mengenalnya.
Aku tau Pak Sapardi, tapi tak pernah benar-benar memahaminya.

Sampai akhirnya kedua orang itu datang bersamaan melalui puisi.


Aku seorang penulis untuk diriku sendiri; aku membaca dan menulis puisi.
Tapi aku tak pernah menyadari kekuatan dari serangkaian kata bisa begitu besar, sampai akhirnya ku dengar Pak Sapardi dan Dongeng Marsinah-nya.

Pak Sapardi dan Marsinah bersama-sama mengantarku ke sebuah tangis yang dalam, tangis yang berasal dari berbagai macam rasa; sesal, miris, kecewa, marah, dan menyerah.

Mereka mengantarku kepada kisah pilu Marsinah. Lebih lagi, kepada perkataan dan perbuatan yang telah lahir dari diri. Lebih lagi, kepada keberadaan saat ini di tengah lautan pilihan hidup yang sangat luas. Lebih lagi, kepada tujuanku yang tentu akan selalu abu namun tetap harus diburu.

Dalam dan luas.

Mungkin ini kekuatan yang dihasilkan dari tiga tahun menyusun kata.

Terima kasih.

Sehat selalu, Pak Sapardi.

Friday, July 6, 2018

Mas Bumi

Kalau Mas Bumi tau,

Mungkin tangannya akan mengepal keras.
Mungkin kedua rahangnya akan sekuat tenaga ia katupkan hingga garis kaku terlihat di pipinya.
Mungkin matanya akan menatap tajam seakan-akan hendak menguliti jalan pikiran dan jiwaku yang entah kenapa menjadi begitu lemah.

Atau mungkin ia akan menahan tawa kecil dengan simpul di ujung bibirnya,
Lalu berkata bahwa waktu adalah hal paling ajaib.
Mungkin ia akan menaruh telapak tangannya di pinggang, mengingatkan seberapa tinggi badanku dulu sembari bertanya apakah adil jika waktu mengubah sosokku namun tak mengubah kehidupanku.


Mas Bumi,
Kamu benar. Kamu selalu sepenuhnya benar.
Namun kau tentu tau, menunggu bukan pekerjaan favoritku.

Thursday, May 17, 2018

Jauh

102 days and tonight is the 4th time.

Banyak algoritma, atau barangkali perasaan, yang tak kunjung ku pahami. Jangankan mengantisipasi, membuat definisi saja aku tak mampu.

Terakhir. Aku harap.
Semoga tak ada yang kelima.
102 hari dan masih terus mencari definisi.

Sunday, April 15, 2018

Konser Mahal Pertama

Breakeven!
Breakeven!
Breakeven!

Selesai. Panggung sudah gelap. Tak ada lagi suara. Namun suara kompak ribuan manusia yang berdesakan pada malam itu, membuatku bersemangat untuk meneriakkan kata yang sama.

............

"As you wish!"


***

Selasa 10 April 2018,
Setelah perebutan tiket yang sangat heroik, lari-lari ke atm karena deadline cuma 5 menit, saldo nggak cukup karena gagal dapet harga presale,
Setelah membuat orang sekantor mengira aku tunangan akibat mengajukan cuti dua hari tanpa memberi alasan yang jelas,
Setelah drama deadline pekerjaan dibarengi dengan mengejar kereta pukul 19.30 di Stasiun Bandung,
Setelah menanti empat bulan lamanya,
Akhirnya bocah ingusan ini berhasil menyaksikan gigs band luar negeri pertamanya tanpa meminta sepeser pun uang dari orang tua.

Meskipun agak kaget karena ternyata orang-orang di sini punya cara yang berbeda dalam menikmati konser, aku tetap bahagia!

Dan saat kata-kata "As you wish!" keluar dari mulut Danny, aku meloncat-loncat setinggi-tingginya sambil berteriak.
Entah kenapa,
Meski selama konser aku tak henti-hentinya merinding bahagia,
Intro lagu ini selalu membuat bulu kudukku merinding, dada sesak, dan mata berkaca-kaca.
Tuhan maha baik.

Satu hari yang penuh emosi.

Satu lagi hari bahagia.


Monday, March 12, 2018

Aku, Bung Karno, dan Bandung

“Who is this?” tanya host sister-ku suatu hari, menerjemahkan pertanyaan host dad-ku yang tak bisa berbahasa Inggris. Mereka berdua memandang sebuah foto hitam putih yang ada di dompetku.

“Is that your grandpa?”

“He’s my first president.”

Dan raut wajah Pa – panggilan akrab ­host dad-ku – seketika berubah.

“Then why do you put his photo inside your wallet?”

Tak pernah sekali pun aku mengungkap alasan kenapa aku mengagumi Bung Karno kepada orang lain. Rasanya terlalu naif.

“I just love him,” jawabku singkat.


***


Sudah jalan dua bulan tinggal di Bandung, setiap akhir minggu aku masih bingung harus melakukan apa. Setelah sedikit melakukan riset melalui sosial media, aku menemukan akun sebuah komunitas sejarah yang mengadakan tour wisata.

Di situ tertulis “Ngabandros Jejak Sukarno di Bandung”.

Sepertinya ini akan menjadi jawaban manis untuk akhir mingguku yang tanpa arah.


***


Singkat cerita, aku yang sebatang kara di Bandung ini, bergabung dengan sekelompok orang yang punya tujuan sama hari itu: menelusuri jejak Sukarno di Bandung.



Tempat pertama yang kami kunjungi adalah LP Sukamiskin.

Bung Karno dan tiga temannya yang tergabung dalam Partai Nasional Indonesia ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap mengancam kekuasaan pemerintah saat itu. Beliau dijebloskan ke Penjara Banceuy sambil menunggu proses persidangan, kemudian dipindahkan ke Sukamiskin setelah membacakan pledoinya yang berjudul “Indonesia Menggugat” saat persidangan.


Saat masuk kawasan lapas, kami tidak diperbolehkan membawa HP dan kamera. Foto ini diambil oleh petugas yang mengantar kami sampai ke dalam sel.

Oh. Tentang penjara.

Ini adalah kali pertama aku masuk ke sebuah lapas. Selain bekas sel Bung Karno, hal detail seperti bentuk bangunan, cara petugas berkomunikasi, aktivitas para tahanan, suasana lorong dan pintu-pintu sel yang begitu dingin, setiap elemen di dalam sini membuatku banyak terdiam dan berpikir.

Tempat ini terasa begitu asing. Di pikiranku ia nyata dalam bentuk skenario, karena sungguh, semua pengetahuanku tentang kehidupan penjara berasal dari film. Satu adegan menghampiriku saat berjalan menuju pintu keluar. Beberapa anak yang membawa bingkisan berlari menghampiri dan memeluk seseorang yang kuasumsikan adalah ayahnya, disusul seorang ibu di belakangnya dengan senyum bahagia. Sungguh aku benar-benar merasa menjadi cameo tanpa dialog dalam sebuah adegan film.

Dari LP Sukamiskin, kami berkeliling ke tempat-tempat selanjutnya menggunakan bus Bandros.



Tempat kedua: Museum Preanger di Hotel Grand Preanger.
Tempat ini adalah salah satu gedung yang dirancang oleh Bung Karno yang saat itu menjadi asisten arsitek utamanya, Schoemaker.




Tempat ketiga: Penjara Banceuy.
Penjara ini tempat Bung Karno ditahan sebelum proses persidangan dilaksanakan. Di sel yang sangat kecil tanpa ventilasi ini, di atas tempat kencingnya beliau menulis Indonesia Menggugat, sebuah pledoi yang mengutip 66 tokoh dunia dan menyertakan berbagai macam data, dalam waktu 40 hari.



Di tempat ini juga kami banyak berdiskusi tentang biografi Bung Karno dari berbagai sudut pandang.




Tempat keempat: Gedung Indonesia Menggugat.
Di gedung ini Bung Karno membacakan pledoinya saat persidangan kolonial. Konon katanya, masyarakat ramai berkumpul di depan gedung saat proses persidangan ini berlangsung.



Tempat terakhir: ITB (THS)
Bung Karno adalah satu dari sebelas orang pribumi yang sekolah di THS, perguruan tinggi yang disebut sebagai cabang dari TU Delft pada saat itu. Hampir DO, beliau akhirnya lulus dan ikut merancang beberapa bangunan di ITB.



Setelah satu hari menelusuri jejak Bung Karno, di tempat ini perjalanan kami berakhir. Banyak sekali pengetahuan yang tak kusangka akan kudapatkan dari perjalanan ini. Sungguh Bung Karno dan Bandung adalah dua hal yang saling melekat.


***


Tujuh tahun yang lalu saat Pa menanyakan alasan foto Bung Karno ada di dompetku, aku memilih untuk tidak menjawab.

Kemarin, untuk pertama kalinya aku mengutarakan alasan naif kenapa aku mengagumi Bung Karno.
Menahan suara yang sedikit bergetar karena gugup, di depan orang-orang yang baru ku kenal selama beberapa jam itu aku bercerita tentang sosok Bung Karno di mataku, bagaimana aku mengenal dan tidak mengenalnya, dan bagaimana aku memutuskan untuk mengikuti perjalanan ini.

Bagiku, perjalanan kemarin adalah salah satu perjalanan yang emosional dan keputusan terbaik yang kubuat selama di Bandung.

Satu hal yang pasti,

Perjalanan ini tidak semata-mata menunjukkan kehebatan Bung Karno. Namun lebih penting dari itu, perjalanan ini memperlihatkan sisi “manusia” beliau dengan segala kekurangannya.

Sehingga aku tidak lagi mengagumi Bung Karno sebagai seorang tokoh besar,
Melainkan mengenal, memahami, dan menyayangi beliau sebagai seorang manusia.


***


Terima kasih Komunitas Aleut dan Mooi Bandung.



Foto: Komunitas Aleut dan koleksi pribadi.