Siang itu aku bertemu dengan orang-orang baru. Beberapa rekan
kerja yang seiring bergulirnya waktu teranggap sebagai keluarga. Empat orang, dua
pasang suami istri.
Dari sepasang yang baru saja menikah, sangat bisa kutangkap menit-menit
kehidupan yang mereka rayakan dari sorot matanya. Layaknya manusia yang baru
saja mengalami peristiwa bahagia yang luar biasa, semua terasa mudah dan
menyenangkan.
Adalah seorang wanita dan suaminya yang membuat pikiranku sedikit terbata. Hanya dengan menghabiskan beberapa jam bersama, aku bisa menyebutkan begitu banyak kehangatan. Sifat-sifat menjadi orang tua sepertinya lebih lekat dengannya dibandingkan aku. Kesimpulanku semakin bulat saat mengetahui begitu banyak kehilangan yang ia alami, termasuk kesempatan-kesempatan untuk menjadi seorang ibu. Namun dari semua kehilangan itu, satu hal yang aku tahu, harapan tidak masuk di dalamnya.
***
Lain hari hidupku bersilangan dengan seorang teman lama yang
bermulti peran menjadi seorang ibu dari anak istimewa. Sebuah peran yang
mengungkap identitasnya sebagai manusia dengan kesabaran seluas samudra dan
kekuatan melebihi dewa-dewa dalam mitologi negara Eropa tenggara. Hidupnya adalah medan peperangan; ia melawan hantaman ketakutan yang terus berusaha
menaklukan sisa-sisa harapan. Dan sejauh ini, ia menang.
***
Bayangan dari cermin milikku kini sedang bekerja. Menilai diri sendiri dan orang di sekitarnya. Setiap wanita adalah ibu terbaik bagi anak-anaknya. Namun rasa-rasanya, beberapa dari kami memang telah dipilih dengan sengaja.
Sepertinya Tuhan telah dan sedang meninggikan derajat mereka,
sebuah kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih mulia. Jika percaya keabadian
setelah kematian, sungguh kurasa perjuangan mereka adalah sebaik-sebaiknya bekal untuk melampaui
fana.
Terakhir,
Hormat kusematkan setinggi-tingginya kepada wanita; manusia yang ribuan tahun hidup dalam stereotip kerapuhan, justru karena kekuatannya tidak pernah menuntut pengakuan.
No comments:
Post a Comment