Aku telah lama menyadari bahwa diri ini memiliki ego yang setinggi gedung-gedung pencakar langit di kota-kota metropolitan. Lalu ego-ego itu tumbuh semakin subur sejak aku menjadi ibu.
Entah kemampuan ikhlas level apa yang dimiliki para ibu di masa lampau.
Saat suamiku tidak ada disampingku selama proses melahirkan, sungguh aku tak menyesalkan ketidakhadirannya. Bagaikan primata yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan anaknya sendiri, sedari awal aku tau konsekuensi untuk tidak bisa selalu bersama suamiku. Namun saat masalah hidup mencuat setelahnya, aku bisa begitu berharap ia ada di sampingku hari itu, hanya untuk melihat betapa luar biasanya perjuanganku melawan rasa sakit. Semata-mata agar peranku sebagai istri dan ibu untuk keluarga ini semakin tervalidasi. Bahwa aku bisa jadi lebih berkorban.
Kira-kira sebesar itulah egoku di waktu-waktu yang menyesakkan sebagai seorang perempuan. Dan banyak lagi yang dapat ku ceritakan dalam berlembar-lembar tulisan. Ah, sungguh pikiran busuk yang tak pernah ku harapkan ada padaku.
Di sisi lain, sasaran empuk dari semua egoku ini memang hampir selalu suamiku. Laki-laki bertubuh tinggi besar yang terlihat sekokoh bangunan Hindia Belanda. Laki-laki yang dikuasai oleh logika dan tanpa sadar selalu membangun benteng setinggi dan sebesar dirinya, agar keputusan-keputusannya tidak diserang perasaan-perasaan sentimentil. Laki-laki yang diperlakukan sebagaimana laki-laki di masanya dibesarkan; bahwa menjadi laki-laki berarti tidak membicarakan apa yang ia rasakan, atau bahkan, tidak berbicara sama sekali.
Pada dasarnya, ini adalah keangkuhan yang haus validasi beradu dengan pemikiran logis yang tak pandai berkata-kata. Entah dimana titik ujungnya.
Namun anehnya, dengan segala keruwetan itu, kami masih begitu mencintai satu sama lain.
Tanpa perlu saling banyak berucap, sejak kali pertama bertemu hubungan ini terasa terus memperbaiki dirinya sendiri.
Tanpa sadar kami mau untuk terus saling memahami.
Selangkah demi selangkah,
Kami yang mungkin terpisah di dua kutub yang berbeda ini perlahan terus berjalan ke titik tengah.
Lalu,
Setelah banyak definisi cinta yang ku alami sejak masa remaja,
Apakah cinta itu berarti terus berjalan?
No comments:
Post a Comment