Friday, January 20, 2017

Curhatan Tujuh Belas Hari di Ibukota

Sudah tujuh belas hari aku menyelami ibukota.
Dengan alibi Kerja Praktek yang idealis demi mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya, jauh-jauh dan mahal-mahal aku pergi ke Jakarta untuk sebuah mega proyek MRT Jakarta.

Bekerja di site selama kurang lebih dua minggu sudah mengajarkanku banyak sekali hal penting.
Dari sisi teknis, tentu saja, proyek ini bukan proyek yang bisa dengan mudah dijumpai, pekerjaan tunneling dan stasiun underground tergolong baru, dan pekerjaannya cukup variatif dalam satu proyek.
Tapi bukan sisi ini yang ingin aku ceritakan, karena aku yakin akan terdengar membosankan.


Dari sisi lain aku belajar banyak hal.

Di lapangan, aku bertemu banyak sekali orang-orang baru.

Sejak awal, kami (aku dan dua temanku) memang terlalu diberi kebebasan, tidak diberi mentor tetap, sehingga keluar masuk site pun tak ditemani, dan tak tau siapa-siapa.
Kondisi ini memaksaku untuk menjadi mahasiswa magang tolol yang sok kenal pada orang baru. Tentu saja agar aku bisa dapat informasi dari mereka. Ah, aku bisa membayangkan benak para QC ketika awal bertemu denganku. Aku langsung sok akrab, "memaksa" mereka untuk bersedia ku ikuti kemana pun mereka pergi.
Tapi ku pikir memang harus begitu. Sudah jauh-jauh merantau, masak aku tak dapat apa-apa? Akhirnya, setelah beberapa hari "memaksa" untuk akrab, mereka pun mulai bisa menerima kami, dan pekerjaan menjadi lebih menyenangkan (paling tidak bagiku, gatau deh untuk para QC hahahaha).
Jadi, ya, kadang kebodohan dan sok kenal sok dekat itu perlu. Jangan takut dianggap tolol, karena untuk menjalin sebuah relasi dan meruntuhkan "awkward moment" sepertinya memang diperlukan ketololan sok akrab yang konsisten hahahaha.


Oiya. Di site, semuanya laki-laki. 
Kalau Anda wanita dan bekerja di tengah-tengah pekerja-pekerja proyek, berbagai macam "sapaan" pasti akan Anda terima. Awalnya aku langsung punya kesan buruk terhadap mereka. Maksudnya, yah semacam stereotype bahwa mas mas tukang yang tidak berpendidikan kebanyakan pasti punya attitude yang buruk.

Tapi setelah mencoba berinteraksi dengan mereka (dalam rangka pengen tau apa yang mereka kerjakan), ternyata pandanganku salah. Mereka ramah dan merasa dihargai ketika aku menanyakan tentang pekerjaan yang mereka lakukan.
Bahkan ada satu orang pekerja yang cukup sering berinteraksi denganku, yang ternyata luar biasa baik. Ia memang bukan orang yang mengenyam pendidikan, tapi aku tersadar, sikap baik dan keramahan sudah cukup untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain.

Sejak itu, aku berusaha menyapa semua orang yang aku jumpai. Tak peduli warna helm dan peran mereka dalam pekerjaan. Mereka toh senang, dan percayalah, "sapaan-sapaan" ke perempuan yang mungkin kadang dianggap orang tak sopan itu pun menghilang. Karena aku menyapa mereka duluan, paling tidak dengan senyuman.



Wah, banyak ya curhatannya.
Ini baru Kerja Praktek. Baru dua minggu. Belum nanti kalau beneran udah kerja ya hehe.

Here's to many more days to come!

Tuesday, January 17, 2017

Selamat tidur, Ego

Terkadang kamu hanya perlu menaruh egomu di rak buku kesayangan,
Berhenti menjawab pertanyaan dari diri sendiri,
Dan membiarkan orang-orang yang kamu sayangi membukakan tutup botol air mineralmu.

Bukan karena kamu tidak tahu caranya,
Bukan karena kamu tidak kuat membukanya,
Tapi justru karena kamu terlalu sering melakukan,
Hingga terkadang sesak memanfaatkan.

Kesesakkan akan memberikan satu botol penuh air mineral itu kepada egomu.

Kamu pasti pernah dengar,
Hubungan baik antar manusia ada ketika kamu berhenti memelihara ego.

Ah tapi bukan itu intinya.

Aku hanya ingin memberi tahu,
Mencari bahagiamu di tengah sesak akan lebih mudah ketika egomu kau biarkan bercengkerama bersama buku-buku kesayanganmu, atau lagu-lagu favoritmu, atau film-film kesukaanmu.
Hanya sementara waktu.

Menjadi yang bisa bukan berarti menjadi yang selalu bisa.
"Di dalam hidup ada saat untuk berhati-hati atau berhenti berlari."


Bahagiamu akan datang jika kamu mengizinkan orang lain membantu.


Atau kalau masih enggan mengakui,
Anggap saja untuk menjalin pertemanan baik.


Selamat tidur, Ego.

Saturday, January 14, 2017

Musik Folk dan Manusia

Aku selalu menjadi sosok lemah di hadapan lagu akustik folk.
Mungkin karena folk dekat dengan manusia,
Lekat dengan keseharian dan kesederhanaan.
Dan kesederhanaan selalu mengingatkanku pada hal-hal sentimentil,
Hal yang bagiku amat sangat penting,
Hal-hal yang membuat perasaanmu bekerja,
Hal-hal yang, bagiku, membuat seseorang menjadi manusia seutuhnya.



Senyum yang selalu tersungging di wajah guruku di kelas 3 SD, setiap kami membaca buku dari perpustakaan kelas.

Kata-kata "ya hargain orang lain to ya..." yang diucapkan pelatih silatku di atas motor saat ia mengantarku pulang dari pertandingan terakhirku di SMP.

Uluran tangan seniorku yang tampan, mengajakku melakukan toss setelah aku melakukan fake shot dan memberinya assist saat latihan basket pertamaku di bangku kuliah.

Tulisan-tulisan Gie yang begitu indah, romantis, namun tak jarang tajam menusuk hati.

Sebuah pagi sederhana di garis pantai Kampung Warbor, saat pertama kali aku melihat segerombol lumba-lumba berlompatan di laut lepas.

Buku-buku terjemahan yang menceritakan kehidupan keluarga orang-orang kulit putih.

Kisah tentang berbagai peran kancil yang kerap didongengkan Mbah Uti saat aku berlibur di rumahnya.

Kehadiran Bima di sampingku, memastikan aku selamat sampai rumah, saat aku berjalan pulang sendirian di malam hari.

Ucapan dan apresiasi yang begitu tulus dari orang-orang, saat video tim KKN-ku dirilis. 

Malam di mana telfon rumahku berdering, dan di sebrang sana Bapak mengatakan "Mbah Kakung meninggal, kamu di rumah ya..."

Suatu siang yang terik saat aku berjalan di sebuah gang yang dipenuhi oleh guru-guruku, dan di ujung jalan itu, untuk pertama kalinya aku bertamu ke rumah almarhum Pak Edi untuk mengucap salam hormat terakhirku.

Isak tangis ibuku saat berlarian di koridor rumah sakit, mengejarku yang tak mau masuk ruang operasi.

Mimpi-mimpi yang ku tulis di buku kecil, yang entah bagaimana, sudah mulai terwujud.

Tangis Bapak dan Ibu, dalam dua telfon yang berbeda, saat pertama kali aku mendapatkan sinyal setelah satu minggu hidup di Papua.

Pelukkan Mama dalam diam, namun begitu erat dan lama, di malam terakhir tidur di rumahnya.

Pelukkan terakhir Bapa yang sambil mendekap, terus menasehatiku untuk berhenti menangis dan mengatakan semua akan baik-baik saja.

Kehadiran keluarga, sahabat, guru, seorang yang disayangi, ibu-ibu yang menyapa di antrian bank, driver ojek online yang mengajak bercerita kisah hidup, tukang sayur yang menanyakan kabar setiap pagi, dan siapa pun yang pernah mengisi sela-sela hidup dan jiwa tanpa disadari.



Bagiku hidup manusia bukanlah hidup jika tidak bisa merasa.
Karena yang membuat kita hidup, adalah jiwa yang kaya.
Dan jiwa yang kaya, datang dari orang-orang yang punya rasa dalam menjalani kehidupan.
Orang-orang yang menghargai kehidupan.
Orang-orang yang paham bawah hidup bukan hanya tentang bertahan hidup.
Bahwa hidup juga berarti memperhatikan sekeliling, peka terhadap lingkungan, dan mengambil maknanya untuk dipikirkan, dipahami, lalu ditabung di dalam hati.
Investasi untuk prinsip hidup dan pola pikir di masa depan nanti.

Karena kalau tidak begitu, apa bedanya manusia dengan mesin dan robot?
Tony Stark saja tak tahan menjadi robot, memilih menyerah dan kembali pada hasrat sebagai manusia yang mempunyai rasa.


Lalu,
Kembali ke musik folk.


Bukan kah memang itu tujuan folk diciptakan?
Untuk mengingatkan manusia pada kesederhanaan hidup dan perasaan?
Untuk menampar keangkuhan manusia dan membawanya kembali memeluk bumi?


Ah.
Aku rasa memang begitu.
Mungkin aku terlalu angkuh,
Dan kadang lupa memeluk bumi.

Thursday, January 12, 2017

Jakarta, Kita, dan Lagu Banda Neira

Pagi itu aku terbangun dengan sebesit kaku
Perputaran roda mobil di kota besar sama sekali berbeda dengan kayuhan sepedaku
Berulang kali mencari, lagi-lagi tak pernah kutemui
Alasan kenapa berada di tengahnya cepat membuatku lelah
Dan rindu rumah
Iyakah diriku lemah?
Rasanya pernah tinggal di antah berantah
Dan ku nikmati dengan begitu lumrah

Seperti hatimu, dan lagu Banda Neira
Entah berantah yang menyesatkan, kata Rara
Tapi seratus persen nikmat tak tersaru lara
Aku bahkan tak perlu erat berpegang
Karena tau kau selalu berikan terang
Tapi akhirnya aku sepakat
Berujunglah ke tanda tanya yang pekat

Untungnya bahagia selalu menjawab
Karena sesungguhnya,
Hidup manusia hanya mengejar bahagia, bukan?