Dengan alibi Kerja Praktek yang idealis demi mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya, jauh-jauh dan mahal-mahal aku pergi ke Jakarta untuk sebuah mega proyek MRT Jakarta.
Bekerja di site selama kurang lebih dua minggu sudah mengajarkanku banyak sekali hal penting.
Dari sisi teknis, tentu saja, proyek ini bukan proyek yang bisa dengan mudah dijumpai, pekerjaan tunneling dan stasiun underground tergolong baru, dan pekerjaannya cukup variatif dalam satu proyek.
Tapi bukan sisi ini yang ingin aku ceritakan, karena aku yakin akan terdengar membosankan.
Dari sisi lain aku belajar banyak hal.
Di lapangan, aku bertemu banyak sekali orang-orang baru.
Sejak awal, kami (aku dan dua temanku) memang terlalu diberi kebebasan, tidak diberi mentor tetap, sehingga keluar masuk site pun tak ditemani, dan tak tau siapa-siapa.
Kondisi ini memaksaku untuk menjadi mahasiswa magang tolol yang sok kenal pada orang baru. Tentu saja agar aku bisa dapat informasi dari mereka. Ah, aku bisa membayangkan benak para QC ketika awal bertemu denganku. Aku langsung sok akrab, "memaksa" mereka untuk bersedia ku ikuti kemana pun mereka pergi.
Tapi ku pikir memang harus begitu. Sudah jauh-jauh merantau, masak aku tak dapat apa-apa? Akhirnya, setelah beberapa hari "memaksa" untuk akrab, mereka pun mulai bisa menerima kami, dan pekerjaan menjadi lebih menyenangkan (paling tidak bagiku, gatau deh untuk para QC hahahaha).
Jadi, ya, kadang kebodohan dan sok kenal sok dekat itu perlu. Jangan takut dianggap tolol, karena untuk menjalin sebuah relasi dan meruntuhkan "awkward moment" sepertinya memang diperlukan ketololan sok akrab yang konsisten hahahaha.
Oiya. Di site, semuanya laki-laki.
Kalau Anda wanita dan bekerja di tengah-tengah pekerja-pekerja proyek, berbagai macam "sapaan" pasti akan Anda terima. Awalnya aku langsung punya kesan buruk terhadap mereka. Maksudnya, yah semacam stereotype bahwa mas mas tukang yang tidak berpendidikan kebanyakan pasti punya attitude yang buruk.
Tapi setelah mencoba berinteraksi dengan mereka (dalam rangka pengen tau apa yang mereka kerjakan), ternyata pandanganku salah. Mereka ramah dan merasa dihargai ketika aku menanyakan tentang pekerjaan yang mereka lakukan.
Bahkan ada satu orang pekerja yang cukup sering berinteraksi denganku, yang ternyata luar biasa baik. Ia memang bukan orang yang mengenyam pendidikan, tapi aku tersadar, sikap baik dan keramahan sudah cukup untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain.
Sejak itu, aku berusaha menyapa semua orang yang aku jumpai. Tak peduli warna helm dan peran mereka dalam pekerjaan. Mereka toh senang, dan percayalah, "sapaan-sapaan" ke perempuan yang mungkin kadang dianggap orang tak sopan itu pun menghilang. Karena aku menyapa mereka duluan, paling tidak dengan senyuman.
Wah, banyak ya curhatannya.
Ini baru Kerja Praktek. Baru dua minggu. Belum nanti kalau beneran udah kerja ya hehe.
Here's to many more days to come!