Mungkin karena folk dekat dengan manusia,
Lekat dengan keseharian dan kesederhanaan.
Dan kesederhanaan selalu mengingatkanku pada hal-hal sentimentil,
Hal yang bagiku amat sangat penting,
Hal-hal yang membuat perasaanmu bekerja,
Hal-hal yang, bagiku, membuat seseorang menjadi manusia seutuhnya.
Senyum yang selalu tersungging di wajah guruku di kelas 3 SD, setiap kami membaca buku dari perpustakaan kelas.
Kata-kata "ya hargain orang lain to ya..." yang diucapkan pelatih silatku di atas motor saat ia mengantarku pulang dari pertandingan terakhirku di SMP.
Uluran tangan seniorku yang tampan, mengajakku melakukan toss setelah aku melakukan fake shot dan memberinya assist saat latihan basket pertamaku di bangku kuliah.
Tulisan-tulisan Gie yang begitu indah, romantis, namun tak jarang tajam menusuk hati.
Sebuah pagi sederhana di garis pantai Kampung Warbor, saat pertama kali aku melihat segerombol lumba-lumba berlompatan di laut lepas.
Buku-buku terjemahan yang menceritakan kehidupan keluarga orang-orang kulit putih.
Kisah tentang berbagai peran kancil yang kerap didongengkan Mbah Uti saat aku berlibur di rumahnya.
Kehadiran Bima di sampingku, memastikan aku selamat sampai rumah, saat aku berjalan pulang sendirian di malam hari.
Ucapan dan apresiasi yang begitu tulus dari orang-orang, saat video tim KKN-ku dirilis.
Malam di mana telfon rumahku berdering, dan di sebrang sana Bapak mengatakan "Mbah Kakung meninggal, kamu di rumah ya..."
Suatu siang yang terik saat aku berjalan di sebuah gang yang dipenuhi oleh guru-guruku, dan di ujung jalan itu, untuk pertama kalinya aku bertamu ke rumah almarhum Pak Edi untuk mengucap salam hormat terakhirku.
Isak tangis ibuku saat berlarian di koridor rumah sakit, mengejarku yang tak mau masuk ruang operasi.
Mimpi-mimpi yang ku tulis di buku kecil, yang entah bagaimana, sudah mulai terwujud.
Tangis Bapak dan Ibu, dalam dua telfon yang berbeda, saat pertama kali aku mendapatkan sinyal setelah satu minggu hidup di Papua.
Pelukkan Mama dalam diam, namun begitu erat dan lama, di malam terakhir tidur di rumahnya.
Pelukkan terakhir Bapa yang sambil mendekap, terus menasehatiku untuk berhenti menangis dan mengatakan semua akan baik-baik saja.
Kehadiran keluarga, sahabat, guru, seorang yang disayangi, ibu-ibu yang menyapa di antrian bank, driver ojek online yang mengajak bercerita kisah hidup, tukang sayur yang menanyakan kabar setiap pagi, dan siapa pun yang pernah mengisi sela-sela hidup dan jiwa tanpa disadari.
Bagiku hidup manusia bukanlah hidup jika tidak bisa merasa.
Karena yang membuat kita hidup, adalah jiwa yang kaya.
Dan jiwa yang kaya, datang dari orang-orang yang punya rasa dalam menjalani kehidupan.
Orang-orang yang menghargai kehidupan.
Orang-orang yang paham bawah hidup bukan hanya tentang bertahan hidup.
Bahwa hidup juga berarti memperhatikan sekeliling, peka terhadap lingkungan, dan mengambil maknanya untuk dipikirkan, dipahami, lalu ditabung di dalam hati.
Investasi untuk prinsip hidup dan pola pikir di masa depan nanti.
Karena kalau tidak begitu, apa bedanya manusia dengan mesin dan robot?
Tony Stark saja tak tahan menjadi robot, memilih menyerah dan kembali pada hasrat sebagai manusia yang mempunyai rasa.
Lalu,
Kembali ke musik folk.
Bukan kah memang itu tujuan folk diciptakan?
Untuk mengingatkan manusia pada kesederhanaan hidup dan perasaan?
Untuk menampar keangkuhan manusia dan membawanya kembali memeluk bumi?
Ah.
Aku rasa memang begitu.
Mungkin aku terlalu angkuh,
Dan kadang lupa memeluk bumi.
Mungkin aku terlalu angkuh,
Dan kadang lupa memeluk bumi.
No comments:
Post a Comment