Tanggung jawab di Jakarta telah selesai. Aku masih punya beberapa hari sampai tanggal kepulanganku.
Siang itu cuaca sangat menyenangkan. Matahari tidak terlalu terik, seakan-akan tau kalau hari ini aku akan datang berkunjung.
Entah apakah kedatanganku saat itu bisa disebut berkunjung.
Mengajak seorang kawan, hari itu aku datang ke Museum Taman Prasasti. Museum yang menyimpan banyak nisan dari orang-orang Belanda yang menyimpan sejarah. Hanya ada dua nisan orang pribumi di situ. Yang satu adalah nisan seorang perempuan penyanyi opera yang dikagumi orang-orang Belanda pada masanya. Yang satu, adalah tujuan utama aku datang.
Sekali lagi, entah apakah kedatanganku saat itu bisa disebut berkunjung. Museum itu hanya menyimpan nisan, bukan lagi tempat pemakaman. Tujuanku adalah melihat sebuah nisan dari seorang yang aku kagumi, dan kerap ku rindukan. Hanya nisan. Setelah dikremasi, abu dari jasadnya telah menyatu dengan udara sejuk Lembah Mandalawangi.
Suasana museum sangat teduh, dan sepi. Sengaja aku memisahkan diri dari temanku yang juga sedang asyik menikmati suasana museum sendirian. Setelah berkeliling di antara puluhan nisan, dari kejauhan aku melihat nisan dengan sebuah patung kecil di atasnya. Dari kejauhan aku sudah tau kalau itu nisan yang aku cari.
Saat itu terdengar adzan berkumandang dimana-mana.
Aku berhenti sejenak, bulu kudukku merinding, sungguh entah kenapa. Menarik nafas, kemudian kembali berjalan menghampiri nisan itu.
Aku berdiri di depannya, terdiam, entah, bingung, apa yang harus aku lakukan setelah akhirnya melihat langsung.
Kemudian aku berlutut memegang nisan itu. Tapi lagi-lagi aku bingung. Entah. Aku terdiam cukup lama sambil memandanginya.
Lalu akhirnya aku memutuskan untuk berdoa.
Semoga aku bisa sekuat kamu,
Semoga aku bisa terus memegang prinsip hidupmu, terus memperjuangkan sesama apa pun posisiku nanti,
Semoga negeri ini punya lebih banyak orang sepertimu,
Semoga kamu tenang di alam sana.
Dan begitu saja.
Begitu saja cukup untuk melegakanku.
Kemudian aku pergi mencari temanku dengan perasaan bahagia.
Meski banyak di luar sana yang mengaguminya, memujanya,
Di luar kontribusinya untuk para pemuda negeri ini,
Aku akan tetap merasa bahwa mencintai kepribadiannya dan merindukannya sebagai seorang Gie yang sederhana, adalah milikku seorang.
Friday, February 17, 2017
Sunday, February 12, 2017
Beberapa Orang Hanya Butuh Tempat Bercerita
Suatu siang yang terik, di bawah flyover di tengah-tengah pekerjaan backfilling stasiun MRT kawasan Jalan Sudirman, seseorang menceritakan pengalamannya selama bekerja beberapa bulan di dunia kontraktor. Ada cerita yang manis, banyak juga yang bernada negatif. Cerita dimulai dari proses seleksi pekerjaan, keluh kesah tekanan dari atasan, hingga berujung saran-saran. Aku adalah salah satu orang yang menjadi pendengar cerita-cerita itu.
Angin bertiup cukup kencang. Namun udara yang dingin tidak menghambat pekerjaan pengaspalan malam itu. Seorang laki-laki yang sebelumnya memintaku datang pukul 11, menghampiri dan mengajakku berkeliling melihat proses pengujian aspal. Setelah itu kami berdiri mengawasi proses penghamparan aspal berlangsung. Diawali dengan basa-basi, ia mulai menceritakan pengalamannya bertugas di bawah pimpinan orang yang keras. Meski beberapa kali menampakkan raut muka yang kesal, toh akhirnya ia bercerita dengan tertawa. Mungkin tawa itu adalah bentuk penerimaan atas segala dinamika pekerjaannya.
Awalnya ia memberi penjelasan tentang bagaimana mesin bor itu bekerja. Aku memperhatikan sambil sesekali melontarkan pertanyaan ketika mesin-mesin itu bergerak. Namun lama kelamaan, kami berganti topik. Ia mulai menceritakan pahit manis selama mengawal pekerjaan tunnel. Sesekali pengalaman-pengalaman lucu ia selipkan, sambil geleng-geleng kepala tak habis pikir sendiri. Beberapa keluh kesah yang tak tertahankan juga sempat ia sampaikan. Di tengah-tengah mesin bor yang bekerja di bawah Jalan Sudirman, dengan keringat yang terus mengucur karena suhu yang amat panas, siang itu aku menyimak dan sesekali tertawa bersama cerita-ceritanya.
***
Angin bertiup cukup kencang. Namun udara yang dingin tidak menghambat pekerjaan pengaspalan malam itu. Seorang laki-laki yang sebelumnya memintaku datang pukul 11, menghampiri dan mengajakku berkeliling melihat proses pengujian aspal. Setelah itu kami berdiri mengawasi proses penghamparan aspal berlangsung. Diawali dengan basa-basi, ia mulai menceritakan pengalamannya bertugas di bawah pimpinan orang yang keras. Meski beberapa kali menampakkan raut muka yang kesal, toh akhirnya ia bercerita dengan tertawa. Mungkin tawa itu adalah bentuk penerimaan atas segala dinamika pekerjaannya.
***
Awalnya ia memberi penjelasan tentang bagaimana mesin bor itu bekerja. Aku memperhatikan sambil sesekali melontarkan pertanyaan ketika mesin-mesin itu bergerak. Namun lama kelamaan, kami berganti topik. Ia mulai menceritakan pahit manis selama mengawal pekerjaan tunnel. Sesekali pengalaman-pengalaman lucu ia selipkan, sambil geleng-geleng kepala tak habis pikir sendiri. Beberapa keluh kesah yang tak tertahankan juga sempat ia sampaikan. Di tengah-tengah mesin bor yang bekerja di bawah Jalan Sudirman, dengan keringat yang terus mengucur karena suhu yang amat panas, siang itu aku menyimak dan sesekali tertawa bersama cerita-ceritanya.
***
Kejadian-kejadian di atas baru segelintir dari banyak keluh kesah orang-orang proyek padaku. Selama kerja praktek, banyak sekali cerita yang aku dapatkan dari mereka.
Mungkin tanpa mereka sadari, kehadiran anak magang sebagai orang luar yang tau kondisi proyek, dianggap sebagai tempat yang tepat untuk bercerita.
Aku sama sekali tak merasa enggan atau keberatan dengan cerita-cerita mereka. Aku justru senang, karena selain jadi lebih tau kehidupan kerja yang sesungguhnya, paling tidak kehadiranku sedikit membantu (pekerjaan-pekerjaan teknis yang aku lakukan sepertinya tidak cukup membantu hahaha).
Selain itu, aku juga jadi tau, di tengah-tengah dunia kerja proyek yang keras dan melelahkan, ternyata mereka masih punya sisi humanis hehe
Subscribe to:
Posts (Atom)