Sunday, March 26, 2017

Bapa

Assalamualaikum, Bapa.
Shalom.

Bapa, seorang yang religius, yang dihormati warga kampung.
Bapa, seorang ketua jemaat di gereja, seorang ketua badan musyawarah kampung.
Bapa, yang rumahnya selalu jadi tempat peraduan ketua-ketua RT dan kepala kampung.
Bapa, yang rumahnya selalu jadi tempat pengaduan warga dengan masalah-masalahnya.
Bapa, yang mengorbankan waktu, tenaga, materi, demi kebaikan masyarakat.
Bapa, seorang yang bijaksana.

Bapa yang selalu kasih semangat untuk saya dan teman-teman saat gairah mengerjakan program untuk kampung mulai menghilang.
Bapa yang selalu bangun pagi, menyiapkan segala hal, mengingatkan ini dan itu, demi saya dan teman-teman bisa melaksanakan program dengan lancar.
Demi kampung.
Bapa yang setelah bekerja di kota selama bertahun-tahun, pulang ke kampung dan mengabdikan diri untuk warga kampung.
Bapa adalah seorang yang mengajarkan saya tentang arti pengabdian yang tulus.

Bapa,
Bapa adalah alasan saya bisa menyebut Papua sebagai rumah.
Bapa adalah alasan saya percaya kasih sayang menembus perbedaan.
Bapa yang sejak hari pertama saya injakkan kaki di Supiori, sudah membuat saya merenungi banyak hal.

"Kulit, rambut, kita semua sama, dari Sabang sampai Merauke, kita tetap satu to, Indonesia."
Bayangkan mendengar ini dari seorang yang tinggal di tempat terpencil di tanah Papua.

"Lia adalah anak Bapa. Sampaikan pada orang tua di Jawa, kalau Lia sudah punya orang tua angkat di Papua."
Satu hari tinggal di Papua, saya sudah merasakan kasih sayang yang luar biasa.

Bapa selalu mau dengar cerita-cerita saya, selalu sempatkan waktu di pagi atau malam hari untuk bercengkerama dengan anaknya.
Bapa yang selalu bilang terima kasih karena Lia sudah mau meninggalkan keluarga jauh-jauh untuk mengabdi dan menemui Bapa di tanah terpencil.
Bapa yang selalu tanya, "Lia mau jadi apa setelah lulus nanti?"
Dan setiap saya bilang mau terjun di dunia kereta api, Bapa akan menjawab, "Wah, berarti kerja di perkotaan, di kota-kota besar yang butuh kereta api."
Saya selalu bilang ke Bapa kalau saya akan selalu pulang ke kampung, ke rumah Bapa, yang sekarang juga jadi rumah saya.

Selama tinggal di sana, Bapa selalu bilang, "Nanti kalau ada kesempatan dan sinyal bagus, Bapa ingin sekali bicara dengan orang tua Lia di Jawa."
Dan hari itu, ketika Bapa naik motor jauh-jauh dari Supiori untuk melepas kepergian saya di bandara, Bapa akhirnya berkesempatan berbicara langsung dengan Ibu lewat telfon genggam.
"Assalamualaikum, Ibu," ujar Bapa.
Kemudian Bapa memperkenalkan diri dan sampaikan bahwa selama ini saya tinggal dengan orang tua dan keluarga di Papua. Bapa ucapkan terima kasih.
Bapa yang sungguh tulus hati.

Bapa mungkin adalah pemilik pelukan paling hangat, hingga saya tak segan mencurahkan segala kesedihan di dalam pelukannya.
Bapa, selalu memeluk saya dengan sepenuh hati, mengusap pundak saya dan berkata semua akan baik-baik saja, setiap kali saya menangisi perpisahan kita.


Setelah tujuh bulan, tangis rindu ternyata belum usai.
Tapi lagi-lagi saya bisa apa selain menangis dan berdoa.
Bapa, izinkan saya belajar dulu,
Izinkan saya kejar cita-cita dulu,
Bapa harus sehat.
Bapa harus terus sehat.
Kenyataan bahwa saya selalu mendoakan Bapa untuk terus sehat,
Semata-mata agar Bapa masih bisa menunggu di pintu rumah ketika suatu hari nanti saya pulang.


Thursday, March 23, 2017

Cruel World

Aku sangat meyakini bahwa berteman baik membuat hidupku lebih berharga.

I've been thinking that friendship is much more worth fighting for than any other relationships.
Having best friends around me makes me happy. No. More than that.
I feel blessed.
Because I know no matter how hard life smashes me to the ground, they will always be there for me.
I believed that my best friends will stay by my side while lovers come and go.
And I'm always scared when it comes to loosing a best friend.

But then a good friend of mine told me something actually I do know, but don't realize.
He said that as we grow old, we are forced to fight for our own life.
We will have our own path, not having the same perspective as we did before, and finally live our life differently.
We are forced to be a lil bit selfish, and that's the beginning of loosing friendship chemistry.
I'm not saying that it happens to all friendship, but mostly it does.

Then he said again, no matter how great your friendship are, how close you and your best friends are, in the end, the one who will always be by our side are the one you choose to be your lover.

I fell silent that night.

I think of my best buddies from years ago who still come to my house anytime I need them up to now. Who still pick up my pathetic phone call. Who still listen to my stupid grumble without complaining. Who don't mind spending the night doing nothing without being awkward.

I never expect my future would sacrifice such thing.
What a cruel world we live in.



Monday, March 20, 2017

Sepertinya

Aku tau.
Aku terlalu pintar untuk jatuh di lubang yang sama,

Aku tau.
Nanti pun akan berdamai dengan waktu.

Aku tau.
Ketika aku terjun dari tebing tinggi menuju laut dalam biru pekat di sebuah pantai di Papua sore itu,
Ketika gravitasi berhenti menarik tubuhku ke bawah,
Ketika ku ayun tanganku tiga kali namun tak kunjung sampai ke permukaan,
Ternyata aku tak lebih dalam dari itu.
Sebaliknya, kamu.
Sepertinya jauh lebih.
Sepertinya.

Aku tau,
Guru lesku mengajariku menyelami kolam, sungai, laut.
Air.
Bukan yang lain.

Lalu bagaimana aku tau?

Tak apa.
Tuhan menciptakan kata "sepertinya",
Supaya manusia tak terlalu serakah, dan mengetahui semuanya.
Supaya aku tau kamu.
Sepertinya.





Ditulis akibat indahnya alunan Dave Koz - First Love melalui headset kesayangan,
Dan beberapa kejadian belakangan.
Sepertinya.

Wednesday, March 15, 2017

Aku dan Film Lion

Aku mencintai anak-anak.

Sejak SD aku kerap berinteraksi dengan anak-anak dengan berkunjung ke panti asuhan dan berbagai kegiatan lainnya. Dan sejak pertemuanku dengan Bambang saat kelas satu SMA, aku mulai mempunyai prinsip. Selain memiliki anak kandung, aku ingin mengadopsi anak saat dewasa kelak.

Oiya. Bambang adalah seorang bocah yang sepertinya pernah ku ceritakan di blog ini. Ia tinggal di sebuah panti asuhan yang pernah ku kunjungi.

Kemudian semenjak itu, ketika aku dan teman-temanku “terjebak” dalam percakapan menjadi perempuan, berkeluarga, dan punya anak, aku akan terhimpit oleh kerut dahi dan tatapan heran mereka saat mengetahui prinsipku. Dan jawabanku selalu sama. “Ada banyak anak-anak yang hidup menderita karena tak diinginkan.” Kurang lebih begitu.

Meski kebanyakan memahami, aku belum pernah bertemu orang yang sependapat denganku. Aku tak pernah berusaha meyakinkan orang lain tentang ini. Aku hanya berusaha meyakinkan diriku. Dan sampai detik ini, masih sama.

***

Beberapa waktu yang lalu aku divonis dokter tidak bisa bermain basket lagi sampai lututku dioperasi. Hari itu, seperti yang pernah aku ceritakan di blog, adalah salah satu turning point hidupku. Meluncur ke bawah, tentu saja. Tapi berkat teman-temanku, aku bisa kembali mengumpulkan semangat, dan kembali optimis.

Setelah tidak melakukan pemeriksaan selama beberapa waktu karena KKN dan KP, kemarin aku baru saja berkunjung ke dokter ortopedi (untuk kesekian kalinya), berharap mendapat tindakan lebih lanjut untuk operasi. Setelah pemeriksaan klinis lebih lanjut dan melalui penjelasan panjang lebar, akhirnya didapat kesimpulan bahwa aku tak butuh operasi, dan memang sudah tak bisa bermain basket lagi.

Tak perlu aku tulis panjang lebar lagi bagaimana perasaanku.


***
*****
********


Dua hal di atas adalah dua kejadian dalam hidupku yang tiba-tiba terangkat kembali hari ini karena sebuah film yang luar biasa indah, berdasarkan kisah nyata.

Lion. Adalah salah satu film paling indah dan tulus yang pernah kutonton.
Seperti biasa, sentimentilnya keluar kalau udah nonton film-film inspiring dan based on true story kayak gini. Cukup untuk menguras dan memperkaya kembali hati

Saroo kecil mengingatkanku untuk selalu bersyukur..
Atas makanan dan minuman yang kapan saja siap aku santap tanpa harus mempertaruhkan nyawa. Atas waktuku bersama Bapak, Ibu, dan Kakak tanpa harus bekerja banting tulang siang dan malam. Atas kedua kakiku, yang meski tak bisa bermain basket lagi, tapi masih bisa berjalan dan mengantarku menuntut ilmu setiap hari.

Karena dunia yang begitu kejam yang dialami Saroo nyata di luar sana. Dan aku masih bisa menulis ini dari atas kasurku yang nyaman.

Entah film ini yang terlalu tulus atau aku yang terlalu cengeng. Adegan Saroo kecil berusaha meyakinkan kakaknya dengan mengangkat kursi dan sepeda di awal film sudah membuatku menangis seperti anak kecil hahaha


Sue mengingatkanku akan diriku, meski dengan alasan yang sedikit berbeda. Ia mengingatkanku akan sebuah pilihan yang merupakan keyakinan diri. Sue dan suaminya tidak memiliki kekurangan apa pun untuk menghadirkan anak kandung. Tapi mereka memilih untuk mengadopsi anak-anak tidak beruntung dari belahan dunia lain.

“Because we both felt as if the world has enough people in it. Have a child, couldn’t guarantee it will make anything better. To take a child that’s suffering like you boys were, give you a chance in the world, that’s something.”

Giving a chance in the world to a child.

Kalimat sederhana yang cukup masuk akal bagiku.


********

Terima kasih, Lion.