Shalom.
Bapa, seorang yang religius, yang dihormati warga kampung.
Bapa, seorang ketua jemaat di gereja, seorang ketua badan musyawarah kampung.
Bapa, yang rumahnya selalu jadi tempat peraduan ketua-ketua RT dan kepala kampung.
Bapa, yang rumahnya selalu jadi tempat pengaduan warga dengan masalah-masalahnya.
Bapa, yang mengorbankan waktu, tenaga, materi, demi kebaikan masyarakat.
Bapa, seorang yang bijaksana.
Bapa yang selalu kasih semangat untuk saya dan teman-teman saat gairah mengerjakan program untuk kampung mulai menghilang.
Bapa yang selalu bangun pagi, menyiapkan segala hal, mengingatkan ini dan itu, demi saya dan teman-teman bisa melaksanakan program dengan lancar.
Demi kampung.
Bapa yang setelah bekerja di kota selama bertahun-tahun, pulang ke kampung dan mengabdikan diri untuk warga kampung.
Bapa adalah seorang yang mengajarkan saya tentang arti pengabdian yang tulus.
Bapa,
Bapa adalah alasan saya bisa menyebut Papua sebagai rumah.
Bapa adalah alasan saya percaya kasih sayang menembus perbedaan.
Bapa yang sejak hari pertama saya injakkan kaki di Supiori, sudah membuat saya merenungi banyak hal.
"Kulit, rambut, kita semua sama, dari Sabang sampai Merauke, kita tetap satu to, Indonesia."
Bayangkan mendengar ini dari seorang yang tinggal di tempat terpencil di tanah Papua.
"Lia adalah anak Bapa. Sampaikan pada orang tua di Jawa, kalau Lia sudah punya orang tua angkat di Papua."
Satu hari tinggal di Papua, saya sudah merasakan kasih sayang yang luar biasa.
Bapa yang selalu bilang terima kasih karena Lia sudah mau meninggalkan keluarga jauh-jauh untuk mengabdi dan menemui Bapa di tanah terpencil.
Bapa yang selalu tanya, "Lia mau jadi apa setelah lulus nanti?"
Dan setiap saya bilang mau terjun di dunia kereta api, Bapa akan menjawab, "Wah, berarti kerja di perkotaan, di kota-kota besar yang butuh kereta api."
Saya selalu bilang ke Bapa kalau saya akan selalu pulang ke kampung, ke rumah Bapa, yang sekarang juga jadi rumah saya.
Selama tinggal di sana, Bapa selalu bilang, "Nanti kalau ada kesempatan dan sinyal bagus, Bapa ingin sekali bicara dengan orang tua Lia di Jawa."
Dan hari itu, ketika Bapa naik motor jauh-jauh dari Supiori untuk melepas kepergian saya di bandara, Bapa akhirnya berkesempatan berbicara langsung dengan Ibu lewat telfon genggam.
"Assalamualaikum, Ibu," ujar Bapa.
Kemudian Bapa memperkenalkan diri dan sampaikan bahwa selama ini saya tinggal dengan orang tua dan keluarga di Papua. Bapa ucapkan terima kasih.
Bapa yang sungguh tulus hati.
Bapa mungkin adalah pemilik pelukan paling hangat, hingga saya tak segan mencurahkan segala kesedihan di dalam pelukannya.
Bapa, selalu memeluk saya dengan sepenuh hati, mengusap pundak saya dan berkata semua akan baik-baik saja, setiap kali saya menangisi perpisahan kita.
Setelah tujuh bulan, tangis rindu ternyata belum usai.
Tapi lagi-lagi saya bisa apa selain menangis dan berdoa.
Bapa, izinkan saya belajar dulu,
Izinkan saya kejar cita-cita dulu,
Bapa harus sehat.
Bapa harus terus sehat.
Kenyataan bahwa saya selalu mendoakan Bapa untuk terus sehat,
Semata-mata agar Bapa masih bisa menunggu di pintu rumah ketika suatu hari nanti saya pulang.