Thursday, May 28, 2020

Jakarta dan Kebetulan

Akhir pekan aku kembali ke ibu kota. Senyaman-nyamannya Bandung, menjadi perantau yang tak punya banyak kerabat dekat di kota ini membawaku rela menghampiri panas dan sumpeknya Jakarta untuk berjumpa barang satu dua kawan lama.

Hari Sabtu aku dan dua orang teman memutuskan untuk mengunjungi Galeri Indonesia Kaya, berharap ada pertunjukan (gratis) yang menarik.

Jakarta kebetulan tahu akhir-akhir ini aku sering mengunjungi Kota Padang dan kerap berbincang dengan driver lokal tentang lagu-lagu Minang. Pertunjukan Galeri Indonesia Kaya sore itu ternyata adalah konser musik sekumpulan musisi asli Sumatera Barat yang menyanyikan lagu minang dengan rapi, indah, dan cukup magis di beberapa momen.

Keluar dari Galeri Indonesia Kaya, telepon genggamku berbunyi. Ku buka dan ternyata notifikasi instagram memberi tahu bahwa Nosstress baru saja membuat postingan baru.

Jakarta kebetulan tahu aku mencintai band itu sejak lama dan telah dua kali jauh-jauh ke luar kota hanya demi menyaksikan live performance mereka yang sangat jarang di Pulau Jawa. Di waktu yang sama dengan kunjunganku ke ibu kota, hari Minggu malam Nosstress mendadak akan tampil di sebuah pameran seni di Jakarta Selatan, tanpa biaya tiket masuk.

Jakarta kebetulan tahu aku sedang tidak banyak pekerjaan sehingga bisa menunda kepulangan demi menyaksikan Nosstress. Minggu pagi aku dan temanku ke Stasiun Gambir untuk menukar jadwal tiket pulang dan berencana mengunjungi Galeri Nasional Indonesia yang berada tepat di depan stasiun. Di sana ada pameran kartun legendaris Indonesia, Mice, yang lagi-lagi gratis.

Jakarta kebetulan tahu aku sudah lama tidak bercerita panjang lebar tentang kehidupanku dan teman-teman lamaku. Pagi itu di Stasiun Gambir kami bertemu seorang teman lama, yang akhirnya memutuskan mengiyakan ajakanku untuk mengunjungi Galeri Nasional. Pamerannya sangat menyenangkan. Namun tak ku sangka cerita-cerita yang siang itu kami lontarkan sembari duduk di teras galeri bisa membuatku terdiam dan berpikir dalam. Tak terasa kami bercakap-cakap hingga hari beranjak sore.

Jakarta kebetulan tahu aku hampir tidak punya teman yang sama-sama menyukai Nosstress. Hanya ada 3 orang; 2 orang di Jogja yang memang teman nonton konser apa pun, dan 1 orang yang bahkan terakhir berjumpa saja aku sudah lupa. Tapi nyatanya seorang ini sekarang tinggal di Jakarta dan tentu saja tanpa ragu mau menemaniku ke konser Nosstress pertamanya. Dan tentu saja berakhir sangat indah. Lain kali akan ku tulis tentang konser Nosstress paling intim yang pernah ku datangi ini.

Jakarta dan kebetulan.

Jakarta kebetulan tahu aku sedang tidak terlalu bahagia beberapa hari kemarin, hingga mungkin Jakarta menghadirkan kebetulan-kebetulan itu untuk mengukir senyum di wajahku.



// 30 Juli 2018

Tuesday, May 26, 2020

Dua Oktober Dua Ribu Tujuh Belas

Saudara dinyatakan lulus.”

Dan sudah. Begitu saja. Ku bayangkan rasanya akan seperti kembang api yang meletus di atas kepala, atau seribu merpati yang dilepas terbang dari belakang punggung.

Namun ternyata perasaan itu sesederhana sebuah kelegaan yang wajar.

Momen yang membuat Senin sore tadi begitu membahagiakan hingga menyesakkan dadaku bukan lah momen saat aku dinyatakan lulus, melainkan ketika wajah-wajah orang yang aku sayangi hadir di situ, semata-mata untuk menyatakan bahwa ini adalah sesuatu yang berharga dalam hidupku.

Bahagia sekali. Perasaan mana lagi yang bisa mengalahkan perasaan ketika kamu merasa sangat disayangi dan dihargai tanpa tau alasannya.

Aku tidak tau lagi harus mengucap terima kasih dengan cara apa. Rasa-rasanya aku tak pernah mengungkapkan perasaan sentimentil pada teman-temanku. Tapi sore tadi ingin rasanya aku memeluk mereka satu per satu dan mengatakan bahwa mereka sangat berarti untukku. Bahwa mereka adalah alasan kebahagiaanku. Tentu saja tak ku lakukan. Bisa habis aku diolok oleh mereka, teman-teman dengan kelakuan mirip binatang yang tak mungkin menggubris hal sentimental.

Terima kasih. Kalian lah yang tak pernah lupa ku sebut dalam doaku setiap kali aku memohon pertolongan untuk menghadapi ujian kelulusan ini. Dan nyatanya, kalian lah yang hadir saat aku berhasil melewatinya.





// 2 Oktober 2017

Wednesday, May 20, 2020

Bermalam dengan Waktu



Sabtu sore berkunjung ke rumah Om.
Jauh dan tinggi. Dingin.
Rumahnya kecil sederhana sekali. Tapi cantik luar biasa.

“Sudah berapa tahun ya nggak ketemu?”

Lebih dari separuh umurku, mungkin?
Nyatanya setelah 7 bulan berada di Bandung, baru sekarang ku beranikan diri kesini.
“Beranikan diri” karena rasa-rasanya aku sudah tak kenal.
Ingatan terakhirku Om masih bocah, temanku bermain berlari-lari di rumah simbah.
Sekarang ia tinggal dengan seorang istri dan dua orang bocah.

“Kamu dulu sering banget lho main ke rumah, sebulan sekali kayaknya.”

Aku mengamati dua bocah 8 tahun dan 6 tahun yang sibuk.
Sibuk bertingkah mencuri perhatianku.
“Dulu pas sering main bareng itu kamu sekecil ini, ya?”

Aku memandang Hayu.
Benar-benar sudah lama. 

Makan malam paling hangat selama di perantauan.
Selain di rumah Mbah Ayah dan Mbah Atty tentu saja.
Hayu masih berusaha menghabiskan makanan di piringnya.
Sementara aku dan Bumi sibuk dengan Siput, kucing yang lambat.

Kamar Hayu diberikan untukku satu malam.
Cantik. Cantik sekali.

Rasanya ingin ku tinggali rumah ini beserta kehangatan di dalamnya.
Bumi bercerita apa saja dan banyak sekali.

“Dia suka cerita kalau sama tamu.”

Cerita, dan mengeluarkan semua buku dan mainan yang ia punya.
Berkeliling rumah, bulu tangkis, menggoda kucing, dan tertawa.

Pulang dengan hati bahagia.

Nanti,
Di masa depanku nanti,
Aku hanya ingin satu, yang seperti ini.
Aku ingin punya rumah sederhana nan cantik.
Ah, bukan.
Aku ingin jadi seperti Om dan Tante.
Ah, bukan juga.
Perasaan yang hangat dan menyenangkan bersama orang-orang kesayangan.


Monday, May 18, 2020

Kau Jemput Pulang

Jadi, pikiranku ini suka melanglangbuana terlalu jauh, penuh pertanyaan, lalu tersesat saking inginnya ku temukan jawaban entah apa.
Apalagi kalau sudah sampai di planet bernama sanding dan banding.
Nggak cuma tersesat, pake jatuh dan terperosok, udah gitu masih aja terus nyari.

Untungnya, kalo sudah duduk sama Levi dan sejumput keberuntungan, jadi bisa pulang lagi lho.
Padahal kitanya cuma ngobrol biasa.
Pemikiran Levi yang sederhana ini memang dosis yang tepat buat memulangkan milikku ke bumi.
Kayak, yaudah gapapa nggak ketemu li, ngapain nyari-nyari yang kita nggak tau.
Sungguh sebuah bukti bahwa kusutnya kepalaku adalah sebenar-benarnya lawan kata miliknya.

Kalau sudah berhasil dijemput pulang, nggak pernah tuh ku tanya habis main kemana.
Sudah lupakan saja, karena hidup bisa lho sesederhana ini.

Berhubung punyaku memang hobinya melanglangbuana,
Kalau mau keluyuran lagi kuberi tiket ke planet bahagia dan ku beri tahu jangan lupa untuk selalu pulang.
Jika karena satu dua hal akhirnya dia tersesat lagi, mari bersabar sampai aku dan Levi bertatap muka kembali hehe

Kalau kata Kurniawan Gunadi, beberapa hal memang hadir bukan untuk dipertanyakan, tapi cukup diyakini.
Seandainya kalimat itu ada umatnya, seribu persen ku jamin Levi imamnya.



Meski butuh waktu dan jutaan hal lain untuk bisa menyelami dan memahami isi kepalamu,
Terima kasih.


Sunday, May 17, 2020

Cukup

Belakangan ini aku belajar bahwa satu dua keinginan hanyalah jembatan.

Kemana?

Menuju penerimaan terhadap diri sendiri.
Karena pada akhirnya aku tak pernah benar-benar menginginkan sesuatu lebih dari merasa cukup dan damai.

"Apakah cita-citamu sudah tercapai?"
"Apakah sudah puas dengan dirimu?"
"Mau kemana setelah ini?"

Yang ku tau aku bahagia ketika tidak mengecewakan orang.
Aku bahagia ketika mempelajari hal baru.
Aku bahagia ketika orang-orang yang ku sayang sehat dan bahagia.
Aku bahagia ketika bersama anak-anak kecil. 

Dan aku akan terus melangkah dengan cara bahagiaku yang seperti itu.

Cukup.