Thursday, May 16, 2024

Bayang-bayang Sungkawa

 

Kehilangan.

Hilang.

Dua suku kata yang hingga detik ini belum dapat kupecahkan misterinya. Bak labirin di kesunyian, ia ada dalam dekapan duka, namun merebakkan aroma yang menggoda.


Aku telah membaca berlembar-lembar obituari, menghayati seribu satu adegan drama, bahkan hadir di berbagai rumah duka. Aku telah merapal ayat-ayat doa, meletakkan empati sedalam-dalamnya, hingga turut berlinang air mata.

Aku, dan semua manusia yang bahkan telah merasakan kehilangan terbesarnya, pada dasarnya adalah peneliti rasa duka. Kita adalah ahli, dengan berjuta pengalaman, dalam menghadapi kehilangan milik orang lain.

Namun tidak pernah untuk diri kita sendiri.


Ketika mendengar kata kehilangan, apakah otak manusia memang dirancang untuk memanggil wajah-wajah orang yang paling dicintainya? Ataukah ini hanya isi kepalaku saja?

Aku kerap bertanya-tanya, akan jadi apa raga ini saat kehilangan terbesar dalam hidupku kelak datang menghampiri.

Dengan segala skenario yang belum terjadi itu, aku begitu yakin tak akan berhasil melaluinya. Aku terus berandai-andai, bentuk duka seperti apa yang akan diciptakan oleh tubuhku dalam rangka melindungi isinya. Otak manusia akan selalu membuat mekanisme baru untuk bertahan, kita tahu itu fakta ilmiah. Tapi nyatanya, aku seribu persen yakin otakku takkan berkutik ketika ketakutan terbesarku itu datang.


Lalu, setelah semua kekalutan dalam pikiranku ini,

Mengapa aku begitu yakin bahwa umurku akan cukup panjang untuk mengalaminya?


No comments:

Post a Comment