Thursday, January 23, 2025

Film, Cerita, dan Realita Kehidupan

Penonton atau pembaca biasanya punya pola pikir yang sederhana ketika menikmati sebuah cerita.

Kita menelan, lalu membuat ekspektasi atas proses dan ending dari sebuah premis. Dan ekspektasi kita biasanya over simplified, karena begitulah cara kita menikmati cerita. Kita cenderung mau menyaksikan hal-hal yang kita inginkan sesuai logika kita; cerita yang setiap alurnya harus begitu menonjol agar tidak terasa membosankan.

Pembuat cerita, pada umumnya, memberi makan pola pikir ini.

Kita diberi jalan cerita yang kita inginkan, sehingga ketika selesai menonton, kita akan merasa puas karena ekspektasi kita diiyakan oleh si pencerita dengan segala bumbu di dalamnya.

Tentu saja menyenangkan sekali menonton film-film seperti ini.

Tapi belakangan ini aku teringat beberapa film dengan cerita yang berbeda.

Film-film ini, tidak seketika mengiyakan keinginan penontonnya. Mereka menyajikan jalan cerita yang terlampau realistis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari kita.

Bahwa ketika seseorang ditinggal mati orang terdekatnya, mereka tidak akan serta merta hancur, atau bangkit dan sukses. Di dalam proses berduka itu, ada banyak hal yang terjadi. Dalam duka, bisa jadi ada tagihan yang harus tetap dibayar, ada anggota keluarga yang harus diurus, atau bahkan kemungkinan merasakan jatuh cinta dan bahagia. Perjalanan hidup seseorang, dalam kehidupan yang sesungguhnya, tidak bisa secara instan berproses ke titik tertentu seperti yang kita dambakan dalam sebuah kisah fiksi.

Membawa elemen realita ke dalam sebuah cerita, mungkin tidak akan menarik banyak penonton yang haus akan jalan cerita utopis. Namun beberapa film membuktikan bahwa untuk memikat hati penonton, tidak melulu harus menyajikan elemen-elemen bombastis.

Hal-hal sederhana tersebut mungkin terkesan datar dan membosankan. Namun nyatanya, ia justru bisa membuat penikmatnya merasakan pengalaman yang berbeda; hangat dan dalam. Film-film seperti ini tidak hanya kita nikmati saat menonton, tapi juga setelahnya. Mereka memberi kita ruang untuk termenung, bercermin, berpikir, bahkan mengevaluasi diri.

Film 1 Kakak 7 Ponakan, menurut saya, adalah satu dari banyak film jenis tersebut. Realita yang disajikan begitu dekat dengan kehidupan hingga rasanya ingin  saya peluk dengan erat. Ia memberikan saya ruang untuk kembali berpikir tentang banyak hal, termasuk menulis tulisan ini.

Terima kasih Yandy Laurens, untuk selalu menaruh detail-detail manis yang begitu tulus dalam setiap karyanya.

Saturday, July 27, 2024

Menjadi Dewasa

Banyak orang mendambakan menjadi dewasa saat kecil. Mereka berlomba-lomba untuk tumbuh, seakan punya kuasa atas dimensi waktu dan melangkahinya. Dewasa terlihat seperti wahana bermain yang menyenangkan; dilengkapi dengan berbagai macam kebisaan tanpa batasan.

Tapi nyatanya, sejauh ingatan ini kugali, aku tak pernah punya ketertarikan untuk menjadi dewasa.

Saat kecil, keluarga besarku punya tradisi berkumpul di rumah simbah buyut di akhir minggu. Ketika kami para anak kecil sibuk berlarian mengejar satu sama lain, membuat benteng-benteng megah dari bantal, atau berebut kudapan manis di toples-toples kaca, aku terheran-heran bagaimana bisa orang-orang dewasa menghabiskan waktu hanya dengan duduk di kursi tua dan terus berbicara tanpa henti hingga larut malam. Hal yang benar-benar tak bisa kupahami. Sungguh membosankan. Aku berharap aku tak akan pernah menjadi seperti mereka.

Dua puluh tahun kemudian, aku mengecapnya.

Orang dewasa ternyata tak hanya membosankan, mereka juga penuh dengan ketidaktahuan.

Sayangnya, sekuat-kuatnya aku berbenah, pada akhirnya akan sia-sia.

Karena seperti halnya semua makhluk di bumi, ini adalah pengalaman pertama dan terakhirku menjadi dewasa.



Friday, June 14, 2024

Manusia Terkuat di Bumi

Siang itu aku bertemu dengan orang-orang baru. Beberapa rekan kerja yang seiring bergulirnya waktu teranggap sebagai keluarga. Empat orang, dua pasang suami istri.

Dari sepasang yang baru saja menikah, sangat bisa kutangkap menit-menit kehidupan yang mereka rayakan dari sorot matanya. Layaknya manusia yang baru saja mengalami peristiwa bahagia yang luar biasa, semua terasa mudah dan menyenangkan.

Adalah seorang wanita dan suaminya yang membuat pikiranku sedikit terbata. Hanya dengan menghabiskan beberapa jam bersama, aku bisa menyebutkan begitu banyak kehangatan. Sifat-sifat menjadi orang tua sepertinya lebih lekat dengannya dibandingkan aku. Kesimpulanku semakin bulat saat mengetahui begitu banyak kehilangan yang ia alami, termasuk kesempatan-kesempatan untuk menjadi seorang ibu. Namun dari semua kehilangan itu, satu hal yang aku tahu, harapan tidak masuk di dalamnya.

***

Lain hari hidupku bersilangan dengan seorang teman lama yang bermulti peran menjadi seorang ibu dari anak istimewa. Sebuah peran yang mengungkap identitasnya sebagai manusia dengan kesabaran seluas samudra dan kekuatan melebihi dewa-dewa dalam mitologi negara Eropa tenggara. Hidupnya adalah medan peperangan; ia melawan hantaman ketakutan yang terus berusaha menaklukan sisa-sisa harapan. Dan sejauh ini, ia menang.

***

Bayangan dari cermin milikku kini sedang bekerja. Menilai diri sendiri dan orang di sekitarnya. Setiap wanita adalah ibu terbaik bagi anak-anaknya. Namun rasa-rasanya, beberapa dari kami memang telah dipilih dengan sengaja.

Sepertinya Tuhan telah dan sedang meninggikan derajat mereka, sebuah kesempatan untuk menjadi manusia yang lebih mulia. Jika percaya keabadian setelah kematian, sungguh kurasa perjuangan mereka adalah sebaik-sebaiknya bekal untuk melampaui fana.

Terakhir,

Hormat kusematkan setinggi-tingginya kepada wanita; manusia yang ribuan tahun hidup dalam stereotip kerapuhan, justru karena kekuatannya tidak pernah menuntut pengakuan.



Monday, May 20, 2024

Tabiat Manusia


Suatu hari aku bercerita tentang hariku kepada Kelana. Saat sampai di bagian yang kurang menyenangkan, bocah itu bisa merasakannya dan seketika memelukku begitu saja.
Di lain waktu, ia tak sengaja menjatuhkan sesuatu di layar laptopku. "Maas, Ibung," ujarnya saat menangkap raut khawatir di wajahku, yang berarti "Maaf, Ibung."

Terkadang tingkah Kelana, dan ratusan anak lain yang pernah kutemui, membuatku berpikir.


Pada hakikatnya, manusia diciptakan begitu penuh dengan empati.
Kita lahir dengan hati yang merasa cukup. Atau setidaknya, tak lebih dari sederhana.
Manusia di awal kehidupannya adalah perpaduan dari perasaan-perasaan yang hangat, dan kemampuan untuk mengasihi apa saja.
Kita menyambut kerumitan hidup dengan hitam putih, namun tak memberontak jika pada akhirnya abu-abu. Karena untuk bisa saling menyayangi, lebih penting dari apapun.

Lalu pada titik tertentu, manusia memilih kapalnya masing-masing.
Dan saat berlayar, ia berevolusi menjadi spesies terangkuh di dunia.
Ia merasa punya kuasa atas segalanya, bahkan atas kehidupan-kehidupan milik lainnya.

Kemudian aku bertanya-tanya,
Dari mana asalnya tabiat manusia dewasa?

Dan mengapa aku salah satu di antaranya?

Thursday, May 16, 2024

Bayang-bayang Sungkawa

 

Kehilangan.

Hilang.

Dua suku kata yang hingga detik ini belum dapat kupecahkan misterinya. Bak labirin di kesunyian, ia ada dalam dekapan duka, namun merebakkan aroma yang menggoda.


Aku telah membaca berlembar-lembar obituari, menghayati seribu satu adegan drama, bahkan hadir di berbagai rumah duka. Aku telah merapal ayat-ayat doa, meletakkan empati sedalam-dalamnya, hingga turut berlinang air mata.

Aku, dan semua manusia yang bahkan telah merasakan kehilangan terbesarnya, pada dasarnya adalah peneliti rasa duka. Kita adalah ahli, dengan berjuta pengalaman, dalam menghadapi kehilangan milik orang lain.

Namun tidak pernah untuk diri kita sendiri.


Ketika mendengar kata kehilangan, apakah otak manusia memang dirancang untuk memanggil wajah-wajah orang yang paling dicintainya? Ataukah ini hanya isi kepalaku saja?

Aku kerap bertanya-tanya, akan jadi apa raga ini saat kehilangan terbesar dalam hidupku kelak datang menghampiri.

Dengan segala skenario yang belum terjadi itu, aku begitu yakin tak akan berhasil melaluinya. Aku terus berandai-andai, bentuk duka seperti apa yang akan diciptakan oleh tubuhku dalam rangka melindungi isinya. Otak manusia akan selalu membuat mekanisme baru untuk bertahan, kita tahu itu fakta ilmiah. Tapi nyatanya, aku seribu persen yakin otakku takkan berkutik ketika ketakutan terbesarku itu datang.


Lalu, setelah semua kekalutan dalam pikiranku ini,

Mengapa aku begitu yakin bahwa umurku akan cukup panjang untuk mengalaminya?