Penonton atau pembaca biasanya punya pola pikir yang sederhana ketika menikmati sebuah cerita.
Kita menelan, lalu membuat ekspektasi atas proses dan ending dari sebuah premis. Dan ekspektasi kita biasanya over simplified, karena begitulah cara kita menikmati cerita. Kita cenderung mau menyaksikan hal-hal yang kita inginkan sesuai logika kita; cerita yang setiap alurnya harus begitu menonjol agar tidak terasa membosankan.
Pembuat cerita, pada umumnya, memberi makan pola pikir ini.
Kita diberi jalan cerita yang kita inginkan, sehingga ketika selesai menonton, kita akan merasa puas karena ekspektasi kita diiyakan oleh si pencerita dengan segala bumbu di dalamnya.
Tentu saja menyenangkan sekali menonton film-film seperti ini.
Tapi belakangan ini aku teringat beberapa film dengan cerita yang berbeda.
Film-film ini, tidak seketika mengiyakan keinginan penontonnya. Mereka menyajikan jalan cerita yang terlampau realistis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari kita.
Bahwa ketika seseorang ditinggal mati orang terdekatnya, mereka tidak akan serta merta hancur, atau bangkit dan sukses. Di dalam proses berduka itu, ada banyak hal yang terjadi. Dalam duka, bisa jadi ada tagihan yang harus tetap dibayar, ada anggota keluarga yang harus diurus, atau bahkan kemungkinan merasakan jatuh cinta dan bahagia. Perjalanan hidup seseorang, dalam kehidupan yang sesungguhnya, tidak bisa secara instan berproses ke titik tertentu seperti yang kita dambakan dalam sebuah kisah fiksi.
Membawa elemen realita ke dalam sebuah cerita, mungkin tidak akan menarik banyak penonton yang haus akan jalan cerita utopis. Namun beberapa film membuktikan bahwa untuk memikat hati penonton, tidak melulu harus menyajikan elemen-elemen bombastis.
Hal-hal sederhana tersebut mungkin terkesan datar dan membosankan. Namun nyatanya, ia justru bisa membuat penikmatnya merasakan pengalaman yang berbeda; hangat dan dalam. Film-film seperti ini tidak hanya kita nikmati saat menonton, tapi juga setelahnya. Mereka memberi kita ruang untuk termenung, bercermin, berpikir, bahkan mengevaluasi diri.
Film 1 Kakak 7 Ponakan, menurut saya, adalah satu dari banyak film jenis tersebut. Realita yang disajikan begitu dekat dengan kehidupan hingga rasanya ingin saya peluk dengan erat. Ia memberikan saya ruang untuk kembali berpikir tentang banyak hal, termasuk menulis tulisan ini.
Terima kasih Yandy Laurens, untuk selalu menaruh detail-detail manis yang begitu tulus dalam setiap karyanya.