Monday, June 30, 2014

Saya di Mata Yayuk

Jadi, Yayuk ini adalah salah satu sahabat tercentil saya sejak SMA. Terus barusan saya minta dia untuk mendeskripsikan dan impersonate saya di akun ask.fm. Saya sampe ngakak sendiri waktu baca deskripsi dari dia, jadi kangen dia dan kehidupan SMA hehe. Ini dia imdesc-nya:

mau banget tak imdesc loi? wkwk. Oke, Dahlia Anggita Zahra, nama yang sangat wanita, cocok buat nama anak kecil cewek mungil nan imut. Tapi kenyataannya yg punya nama ini 1/4 cewek sisanya cowok, badannya gempal ginak ginuk kaya jelly, cino jowo, mainannya bola basket, kelakuannya naudzubillah. Gini-gini nih ternyata dia mantannya teman-ganteng-yang-sekarang-di-UK-target-bribikanku-yang-failed, sungguh aku meremehkanmu loi.
Lia aka Daz aka Loi (bacanya Ngooooiiiiii) ini anak event banget, eksis, kayaknya sampe kuliah sekarang masih eksis sampe2 dibribik sama kakak angkatan uwuwuwuwuw :)))) Sekarang secara fisik beda banget kaya dulu, lebih wedok, rambutnya panjang, ah pokoknya gitulah. Jarang-jarang dia cerita soal cowok, sampe sempat aku meragukan kewanitaannya. Tapi semua keraguanku terjawab waktu kita mandi bareng hahahalol
Loi itu tukang bully, jahat banget apalagi sama aku, bullynya fisik sama psikis :"( tapi sebenernya baik, rumahnya sering jdi basecamp, bapak ibuknya juga baik, kenal sama tetanggaku yang namananya Pak Agus. Kalo aku ke rumahnya mesti topiknya Pak Agus wkwkwk. Loi dulu pernah cidera lutut gegara basket, dan seenggaknya dia jadi lebih diem dikit.
Lia itu wanita tangguh, wanita perkasa, tapi sebenernya juga fragile. Kapan itu lupa, dia pernah nangis, trus aku bingung harus ngapain habisnya dia yg biasanya ngepuk-puk-in temen2nya yg galau, sok bijaksana gitu. pokoknya Lia itu wanita kuat. udah gitu aja yaaa haha. micu micuuuu :*
"heh yayuukk"
"aaaeaaeaeaeaea" *ngerengek2 ala loi*
"dasar tante tante"
pokoknya cara ngomongnya jahat, antagonis gitu, aku gk bisa niruin soalnya aku lemah lembut
#foto dari kiri: Loi, Rapunzel, Dhevimbul





Itu foto waktu kelas 3 SMA hahaha
Ahhhh. Rindu rindu rindu rindu hal-hal kecil yang kita lakukan waktu SMA dulu! Nih aku kasih foto jaman kelas 1!

Aku, Dhevi, Yayuk.

Friday, June 27, 2014

19 Hal Ketika Saya Bercermin


  1. Nggak suka ke mall. Bukan terus benci dan anti, cuma kadang nggak nyaman aja.
  2. Suka ngomong pake bahasa inggris sendirian.
  3. Belum pernah menyontek selama ujian di perkuliahan.
  4. Percaya semua bentuk keburukan memang harus ada di dunia dan ga bisa dihapus. Somehow saya percaya usaha kita hanya untuk menyeimbangkan dengan kebaikan, bukan menghapuskan.
  5. Suka jatuh cinta sama tokoh fiksi. Waktu SD saya pernah menulis "Lia love Conan love Brian O'Connor" di meja sekolah pake correction pen.
  6. Waktu SMP-SMA tomboy sekali. Dari kecil sih sebenernya. Rambut pendek, cara jalan, cara ngomong, dan temen main saya cowok-cowok. Jadi, yang ngejekin saya kayak cowok di kuliah ini, saya yang sekarang udah jauh lebih cewek lho hahaha
  7. Punya 6 panggilan. Lia, Jeng, Daz, Loi, Kakak, dan Dahlia. Official name-nya sih Lia. Kalo Jeng, cuma ibu yang manggil kayak gitu, dulu atas permintaan almarhum mbah kakung. Lalu waktu SMA muncul nama Daz (diciptakan oleh Akib), Loi (diciptakan oleh Betet), dan Kakak (diciptakan oleh Nana). Dan di kuliah ini muncul Dahlia (senior yang manggil, nggak bisa protes kalo yang ini). Sampe sekarang orang-orang masih keukeuh manggil saya sesuai pendiriannya masing-masing.
  8. Pernah dapet nilai biologi terendah seangkatan waktu kelas 3 SMA. Nilai saya 46.
  9. Suka banget sama anak kecil. Suka. Banget. Gila, kalo sama anak kecil saya nggak bisa nahan untuk nggak nggodain, nyubitin, atau sekedar ngomentarin.
  10. Punya mimpi hidup di Indonesia Timur diumur 40.
  11. Selalu cerita apa pun aktivitas dan kegiatan sama orang tua terutama ibu, tapi nggak pernah bisa blak-blakan tentang sesuatu yang sentimentil atau menyangkut perasaan.
  12. Nggak pernah nggak remedial Kimia waktu SMA.
  13. Masih trauma gempa. Setiap kali ngerasa ada getaran/goyangan, yang kadang bahkan hanya disebabkan oleh detak jantung saya, saya langsung was was dan melihat ke lampu gantung terdekat (lampu gantung adalah indikator gempa buat saya). Yup I'm that paranoid. Terus kalo ada di suatu tempat, saya langsung melihat sekeliling mencari dimana kira-kira saya bisa berlindung jika terjadi gempa di tempat itu.
  14. Waktu SD, SMP, dan SMA selalu pernah masuk ruang kepala sekolah dan "dimarahin".
  15. Nggak percaya kebetulan.
  16. Risih sama orang yang menyisakan makanan. Ketika saya sendiri sangat terpaksa harus melakukannya, saya pun juga nggak suka sama diri saya sendiri. Sodara kita banyak yang berjuang hanya demi butiran beras. Motifnya klise memang, tapi sungguh jika kalian sedang makan bersama saya dan menyisakan makanan, sebenarnya saya mbatin hehe.
  17. Bisa menikmati semua jenis olahraga dan semua jenis musik.
  18. Pernah mengalami kecopetan paling menyakitkan dan paling lama ikhlasnya. Waktu SMP, di bus kota. Padahal hape itu saya beli dengan uang hasil keringat saya sendiri ikut lomba waktu kelas 6 SD, seharga 2 juta waktu itu.
  19. Pernah dianter pulang sampe rumah sama penjual mi ayam depan sekolah waktu SD

Friday, June 20, 2014

Sebuah Perjalanan Tak Terencana

Setelah seharian di rumah, sore tadi saya memutuskan untuk melakukan hobi saya jaman SMA nganggur: muter-muter sendiri naik motor tanpa tujuan bersama block note dan kamera. Kalau pergi-pergi nggak jelas gini, biasanya saya ke arah selatan, daerah Bantul. Rumah saya kan di daerah utara, jadi kalau mau cari suasana baru ya seringnya ke selatan. Nggak sampai pantai sih, biasanya saya masuk-masuk desa gitu, mencari tempat-tempat sepi atau nyaman untuk menulis, menggambar, foto, atau sekedar melihat-lihat saja.

Di perjalanan, saya masuk-masuk ke jalan desa yang sebelumnya sama sekali tak saya kenali. Iseng berhenti dipinggir jalan ketika melihat pemandangan masjid "terbakar". Sebenarnya asap berasal dari depan masjid, namun karena posisinya sejajar jadi terlihat seperti masjid yang terbakar.

Masjid yang "terbakar"

Ketika sedang asyik dengan masjid tadi, seseorang berteriak memanggil saya dari belakang.

"Kakak! Kakak! Kakak!"

Saya menoleh.

"Foto dong!"

Saya hanya tersenyum dan segera mengambil gambar mereka.

"Makasih, Kak!", katanya sambil tertawa, lalu pergi.

"Kakak! Kakak! Foto dong!"

Lalu saya melanjutkan perjalanan. Setelah keluar masuk desa-desa, berhenti lagi saya di pinggir ring road, di dekat masjid yang tadi.

Masjid Aceh Bantul

Ketika sedang asyik dengan masjid (lagi), sekelompok orang memanggil saya dari samping.

"Mbak, foto mbak!"

Saya lagi-lagi tersenyum dan mengambil gambar mereka.

"Pin BB-nya berapa, Mbak?" Saya hanya tersenyum meladeni mereka.

Lalu tiba-tiba seekor merpati melintas di atas kami. Sontak semua berteriak-teriak, berisik sekali. Mengingatkan saya pada masa kecil saya hehe.

"Woy! Woy!" Seakan merpati mendengar

Saya lanjutkan perjalanan, dan sampai di Pabrik Gula Madukismo. Saya tertarik berhenti disini karna rupanya sedang banyak aktivitas kereta lori pengangkut tebu di jalan menuju pabrik ini.

Bermain bersama lori

Berlari seperti lori

Tujuh pun datang dengan kepulan asap

"Wo... Keretanya berhenti...", ujar seorang ibu sambil menyuapi anaknya. Sayang, pemandangan perempuan bercelana pendek, sandal jepit, ransel, dan kamera lebih asing ketimbang lori yang kerap melintas di dekat rumah hehe

"Wo keretanya berhenti.."

"Hak!" 

Ketika lori tujuh berhenti, turunlah bapak-bapak tua yang saya simpulkan sebagai pegawai Pabrik Gula Madukismo. Si bapak memandangi saya, lalu menyapa dengan Bahasa Indonesia. Saya lagi-lagi tersenyum, menjawab sapaan bapak ini dengan Bahasa Jawa. Rupa-rupanya bapak ini ramah sekali. Dia kira saya mengambil gambar untuk keperluan skripsi. Ah bapak, saya tak setua itu. Kami berdialog dan sesekali tertawa menyadari impresi pertama sering tak sejalan dengan fakta.

Si kuning tujuh belas

Betapa tuanya si Kakek Lori

Yang akan kau seduh bersama tehmu nanti

Yang selalu terbatuk

Tujuh belas

Sampai jumpa lori tujuh belas..

Di lorong tebu yang berdebu

Tenang saja, selalu ada bel peringatan ketika lori akan bergerak


Tujuh

Senja menjemput

Sebenarnya ingin melanjutkan aktivitas ini hingga gelap. Supaya bisa berlatih mengambil gambar ketika gelap. Ah, bukan itu, terlalu intelek rupanya kata-kata saya. Sebenarnya saya hanya ingin melihat lampu-lampu lori beroperasi, itu saja. Namun karena janji saya pada diri sendiri untuk ada di rumah sebelum ibu pulang kerja, maka saya pulang dijemput senja.


Ah, sungguh, penutup hari yang manis. Lain kali saya akan melakukannya lebih sering.

Wednesday, June 18, 2014

Sepotong Kisah Lain Tentang Soekarno

Saya pernah menuliskan ini di tumblr saya dulu. Saya copy dari sebuah blog. Dan saya ingin tulisan ini kembali dibaca oleh orang-orang. Cukup panjang memang, tapi akan sangat sangat berarti bagi saya jika Anda yang berkunjung ke blog ini mau membacanya hingga tuntas. Agar kita tak lupa sejarah. Agar anak cucu bangsa ini tak lupa Bung Karno, apa yang ia lakukan untuk kita, dan apa yang ia alami di akhir hayatnya.


--------------------------------------------------------


Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”

Senyap.

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya.

Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:

Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.

Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).

Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.

Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.

Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.

Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!” Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali.

Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.

Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.

Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk

Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?

Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?

Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter.

Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.

Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.

Dibunuh Perlahan

Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.

Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat kematiannya.

Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.



sumber: http://www.edo.web.id/wp/2008/02/21/sepotong-kisah-lain-tentang-soekarno/

Tuesday, June 17, 2014

Tentang Sebuah Lagu

Saya suka sekali lagu ini. Baik liriknya maupun musiknya. Dan entah kenapa saya merasa benar-benar ditakdirkan bertemu lagu ini.

Dulu, hobi saya browsing-browsing lagu belum seperti sekarang. Dulu saya tak terlalu suka mendengar musik-musik yang tidak mainstream, malas mencerna hal baru.

Suatu hari saya buka tumblr dan melihat notifikasi. Banyak notifikasi masuk, namun entah kenapa saya memilih membuka tumblr orang ini. Sungguh saya tidak tau siapa dia, iseng saja, secara random saya buka tumblrnya. Rupanya orang ini adalah seorang surfer asal Argentina. Foto-foto pantai yang indah membuat saya terus membuka beberapa pages, dan disanalah lagu ini ada. Saya tak pikir panjang iseng saja langsung download. Padahal saya sama sekali tidak tau nama band-nya, apalagi judul lagunya. Jelas biasanya saya tak tertarik mencoba lagu baru yang asing, tapi yang satu ini saya juga tak tahu terpanggil apa.

Pertama mendengar, entah kenapa langsung jatuh cinta...


Look outside
It's already light and the stars ran away with the night
Things we're said, words that we'll try to forget,
It's so hard to admit
I know we've made mistakes
I see through all the tears and that's what got us here

If love is an ocean wide
We'll swim in the tears we cry
They'll see us through to the other side
We're gonna make it
When love is a raging sea
You can hold on to me
We'll find a way tonight
Love is an ocean wide

I'll stay right here
It's where I'll always belong
Tied with your arms
Days like this, I wish the sun wouldn't set
I don't want to forget
What made us feel this way
You see through all my fears
And that's what got us here

Love is an ocean wide enough to forget
Even when we think we can't


Thanks to The Afters for making this beautiful song happen...


ke Kanan dan ke Kiri

Sudah lelah, belum sempat belajar juga
Tadi sore mampir kesana
Tapi disana tak ada barang seorang
Entah kenapa jadi sedih
Benar-benar tak tahu kenapa sedih
Ya sudah
Berdiam diri disana
Duduk
Diam
Sepi
Sepi sekali
Hanya saya dan suara mesin kipas
Ia menemani, ia menggeleng
Ke kanan dan ke kiri
Seolah mencari teman
Ke kanan dan ke kiri
Untuk dia dan saya


Sunday, June 15, 2014

Sabar ya, Imajinasi

Hold your breath
Make a wish
Count to three

Come with me
And you'll be
In a world of
Pure imagination
Take a look
And you'll see
Into your imagination

We'll begin
With a spin
Traveling in
The world of my creation
What we'll see
Will defy
Explanation

If you want to view paradise
Simply look around and view it
Anything you want to, do it
Wanna change the world?
There's nothing
To it

There is no
Life I know
To compare with
Pure imagination
Living there
You'll be free
If you truly wish to be


- "Pure Imagination" from Willy Wonka & the Chocolate Factory


Baru sadar juga gara-gara obrolan dengan seorang teman.
Di duniaku yang baru, kadang memakai imajinasi sembarangan aku dibilang aneh. Sebenarnya aku tak pernah tersinggung, hanya saja jadi terbiasa menyimpan imajinasi karena "tuntutan" lingkungan.

Dulu di Jubah Macan, imajinasi terliar pun dianggap normal. Aku bisa melakukan apa saja, hal-hal yang mungkin tak hanya membuat orang berkata "aneh" namun juga "gila". Menyanyikan nada seaneh apa pun, meneriakkan lirik seabsurd apa pun, bertingkah laku, berkata-kata, atau bahkan hening terdiam tanpa alasan, imajinasi jenis apa pun memang disana tempatnya.

Diawal kuliah pun sempat curhat bersama dua sahabat sesama Jubah Macan. Kesimpulannya, kami menyebut diri kami di perkuliahan ini sebagai fakir seni. Ah sedihnya.
Namun kedua teman saya ini, yang satunya sekarang punya project diluar perkuliahan dimana bisa ia tumpahkan hasratnya. Yang satunya lagi tergabung dalam kelompok paduan suara. Yah meskipun tak se-melegakan Jubah Macan, mereka sudah menemukan tempat cicilan. Aku? Waktuku habis tersita. Di waktu senggang aku masih menggambar, aku masih membuat lagu, tapi hanya begini-begini saja.

Sabar ya, imajinasi.

Wednesday, June 11, 2014

Seperti Cahaya

Cahaya tak pernah berbohong
Akan berhenti jika ditutupi,
Dan terpancar jika ada jalan keluar
Begitu janjinya, selalu begitu

Aku tak akan mengucap kata sedih
Katanya sedih itu tak bahagia
Kalau begitu aku akan kecewa saja
Kecewa bisa sembari bahagia

Aku kecewa
Pada diriku yang tak bisa seperti cahaya

Sunday, June 8, 2014

Rindu

Bagaimana bisa merindukan sesuatu yang tak pernah kau temui?


Saya berharap tulisan malam ini tak banyak dibaca orang. Saya tak peduli. Tulisan ini mungkin salah satu tulisan paling jujur dan spontan yang pernah saya buat. Entahlah, saya hanya ingin melampiaskan perasaan saya.

Baru saja saya membaca sebuah blog milik orang yang tak begitu saya kenal. Disana banyak tulisan indah dan penuh makna. Di salah satu tulisan, ia bercerita tentang mendaki gunung. Disana tertulis sebuah nama. Gie.

Rindu. Saya begitu merindukan terjun ke dalam dunianya. Saya begitu merindukan sesosok yang tak pernah saya temui wujud aslinya. Toh abunya kini sudah tersebar di lembah Mandalawangi. Dulu setengah mati usaha saya untuk mengenalnya, dari berbagai sumber. Malam ini, saya kembali membuka file, buku, dan puisi tentang dia.

Tak sengaja saya menangis. Biarlah orang berkata saya sentimentil, cengeng, dibuat-buat, atau apalah, saya tak peduli. Saya hanya ingin meluapkan isi hati saya.

Saya menangis membaca tulisan-tulisan dan puisinya. Betapa pola pikirnya luar biasa. Saya menangis bukan hanya karena merindukan sosoknya, saya menangis karena sedih melihat keadaan saat ini. Mungkin lebih tepatnya saya ingin sosok Gie ada saat ini. Di saat negeri saya sedang kacau balau. Saat keserakahan dimana-mana. Saat otak manusia pribumi ini dengan mudah diperbudak bangsa lain. Sungguh apa mereka tak sadar bagaimana dulu Sudirman tujuh bulan ditandu bergerilya dengan paru-paru kanan yang kempes hanya demi kita saat ini dengan mudah keluar masuk mall menghamburkan uang. Sungguh apa mereka tak sadar bagaimana Supriyadi memberontak Jepang hingga dinyatakan hilang tak tahu nasibnya hanya demi kita saat ini bisa makan di restoran-restoran mewah.

Bagaimana perasaan mereka jika melihat negeri yang mereka perjuangkan untuk merdeka dari negara lain kini justru dijajah, dikhianati rakyatnya sendiri?

Malu. Harusnya kita malu. Jendral Sudirman, Supriyadi, dan pejuang lain tak perlu repot-repot menukar nyawa demi manusia-manusia seperti kita. Setiap melihat berita keserakahan di media, saya merasa hina. Nyawa orang-orang hebat itu ditukar dengan para pemimpin yang tak tahu malu. Ini nyawa lho. Dana proyek hambalang dikali sejuta juga nggak sebanding dengan ini. Layak kita diperjuangkan?


Cerewet ya saya. Memang. Tapi sungguh saya nggak tahu mau meluapkan kesedihan kemana lagi.

Kadang saya suka membayangkan bisa berdiskusi dengan Gie, menanyakan pendapatnya dan menanyakan apa yang sebaiknya saya lakukan. Negeri ini benar-benar membutuhkan Gie, membutuhkan orang-orang seperti Gie.

Saya selalu berdoa, semoga usaha orang-orang benar di negeri ini selalu diberi kekuatan hingga bisa membuat perubahan. Semoga jiwa-jiwanya selalu diberi kekuatan untuk berjuang meski keserakahan sudah menjadi mayoritas.


Sungguh, tulisan ini saya buat dengan tulus. Saya dengan tulus ingin Tuhan mendengar doa saya untuk Indonesia.
Semoga negeri ini melahirkan Gie-Gie lain di setiap generasinya.



Sunday, June 1, 2014

Sungguh

Sungguh.

Saya tak pernah berhenti berusaha menjalani hidup dengan senyum. Dengan lapang dada. Dengan tawa kusebar dimana-mana.

Tapi sungguh.

Kadang saya juga lelah bersandiwara.

Sungguh.

Saya tak sebahagia itu.