"Kok postinganmu sedih-sedih terus?"
"Kok mbak daz keliatan sedih banget?"
Barangkali dari sosial media saat ini aku terlihat menjadi orang paling lemah, paling cengeng, paling melankolis, dan lain sebagainya.
Aku tidak peduli.
Memang akan selalu menjadi sentimentil when it comes to Warbor.
And whenever I cry, I never deny it.
Mungkin tidak semua orang memahami. Tapi aku tau teman-teman satu timku mengerti.
Bahwa berpisah dengan Warbor bukan hal yang mudah.
They, too, cry a lot.
***
Waktu itu, baru satu minggu aku menetap di sana, aku sudah merasa nyaman. Di saat beberapa kalimat keluhan dilontarkan oleh beberapa kawan karena masih beradaptasi, aku sudah tidak mau meninggalkan tempat itu.
Warbor,
Tempat yang saat ini kusebut rumah kedua.
***
Sudah dua pekan aku di Jogja. Tapi hal-hal di sekitarku tak henti-hentinya membuatku sedih, berkaca-kaca, bahkan menangis. Foto-foto, tulisan-tulisan, keluh kesah, dan curahan hati teman-teman yang juga merasakan hal yang sama denganku, it kills me.
Rindu.
Rindu mati.
***
Dua pekan sebelum pulang, berselisih kecil dengan adikku bisa membuatku menangis semalaman sampai tidur. Aku menangis karena sebagian dari diriku memaksa sebagian lainnya untuk menerima kenyataan bahwa adikku dan kehangatan kampung ini sebentar lagi harus kutinggal pergi.
Pagi itu, sepekan sebelum hari kepulangan, selesai mencuci pakaian aku berjalan ke belakang rumah. Aku duduk di bibir pantai sendiri. Aku tau persis, kampung sedang sepi-sepinya karena semua orang melaksanakan sembahyang di gereja.
Aku menangis. Menangis karena tak ingin pulang.
Ah, bukan. Aku bukan menangis karena tak ingin pulang.
Aku menangis karena perpisahan dengan kampung ini dan seisinya, benar-benar akan terjadi.
Satu hari sebelum pulang, aku berada di tengah-tengah keramaian di ruang pameran foto ketika lagu itu berputar. Lagu yang mengalun dengan manis.
Aku tak tau lagi harus bagaimana. Jika aku adalah bocah kecil, mungkin saat itu aku menangis meronta-ronta meminta untuk tinggal, untuk tidak pulang, untuk tetap bermain di sana. Kusesalkan orang dewasa tak melakukan hal itu. Aku hanya bisa menahan air mata dan pergi ke belakang sampai lagu itu selesai.
Lagu indah milik Pacenogei
Ado mama lihat
Sa pu hati su tatinggal
Di gunung-gunung, di lembah-lembah
Di Papua
Ado mama lihat
Sa pu hati su tenggelam
Di dasar pasir, di laut biru
Di Papua
Cerita dia pu sungai yang deras
Cerita dia pu hutan yang luas
Tempat matahari selalu menyanyi
Tempat Cenderawasih selalu menari
Ado mama lihat
Sa su rindu, rindu mati
Ke pasir pantai, ke laut biru
Ke Papua
***
Malam pertama tidur di Jogja, aku masih menangis.
Baru pertama kali aku merasakan pedihnya kenyataan bahwa jarak dan waktu, dan ketidakpastian, bisa begitu membunuh.
***
Malam ini aku kembali menangis.
Aku rindu kampung. Aku rindu semua yang ada di dalamnya. Semua hal sampai ke detail kecilnya.
Dan lagi. Aku rindu Bima.
Aku sering sekali membayangkan kehadirannya di dekatku.
Aku sering membayangkan Bima tiba-tiba muncul di jendela kelas waktu kuliah, di teras rumah waktu aku sedang makan, dan di tempat-tempat lain, sambil bilang "Kaka Lia..", suaranya masih teringat jelas di kepalaku.
Aku ingin sekali memeluknya erat. Aku tak pernah memeluknya karena ia selalu menjadi sosok yang cuek, yang kuat, yang melindungi, sosok yang tak pernah terlihat lemah sama sekali.
Kecuali saat dia menangis hancur di hari kepulanganku. Aku memeluknya erat hari itu.
Begitu sulit hanya untuk mendengar suaranya lewat telfon.
Lagi-lagi jarak, waktu, dan ketidakpastian membunuhku.
Aku ingin memeluk adik kecilku sekarang.
Memeluknya seperti memeluk seluruh Warbor dalam dekapanku.
***
Malam terakhir sebelum kami meninggalkan Warbor, Bapa membacakan sebuah lirik lagu di depan jemaat. Lagu yang mereka, orang-orang kampung yang aku cintai, nyanyikan sepanjang malam hingga pagi hari kami pergi.
Kini tiba saatnya kita kan berpisah
Berat hati ini melepas dirimu
Gunung dan tanjung terpele
Wajahmu terpele
Terbayang senyum manismu
Hancur hati ini
Sapu tangan biru
Kini basah sudah
Berpisah lewat pandangan,
Bertemu dalam doa
***
Berpisah lewat pandangan, bertemu dalam doa.