Tuesday, August 16, 2016

After Papua

Aku tak pernah menyadari kehidupan disini ternyata begitu penat.
Kenapa dunia ini begitu sibuk?
Ramai, bising, terburu, sesak, tidak ada kah detik untuk menghela nafas?
Duniaku di ujung timur sana tak seperti ini.

Semua begitu sederhana
Tak ada yang mengejarmu
Tak ada yang mengejar siapa pun
Tak ada yang berlari
Yang ada hanya ingatkan diri sendiri

Alat komunikasi sesederhana berjalan kaki, menatap lawan bicara, dan berkata
Tas jinjing atau pinggang berisikan dompet, ponsel, dan benda-benda orang kota, tak ada harga
Kemana siapa membawa, cukup badan yang dibawa

Hujan bukan fenomena yang diwaspadai, apalagi ditakuti
Air turun, basahlah
Matahari sebentar keringkan lagi
Air laut memanggil, basahlah
Matahari belum bosan keringkan lagi
Lelah bermain, ambil kelapa barang satu dua
Perut kosong, lempar nilon sambil pasang mulut besar
Bilang ikan tangkapanmu pasti yang paling besar

Semua tak berhenti putar otak
Seribu satu benda bisa diciptakan dari alam
Bagi mereka, tak ada kata kurang
Bagi mereka, urusan sebatas perut yang harus diberi kenyang

Sederhana bisa begitu bahagia
Sederhana bisa terasa nyata
Jauh dari kemewahan dan hal yang berlebihan membuatku jatuh cinta

Lima puluh dua hari
Lalu dihempas perkotaan lagi

Aku tertegun
Melihat ruwetnya jalanan
Hebohnya orang berdandan
Panjangnya antrian diskonan
Dan rapatnya tembok-tembok perumahan

Selama ini aku hidup di sini?
Dan sekarang terpaksa tercebur lagi?

No comments:

Post a Comment