Saturday, December 17, 2016

Aku dan Bima

[Bima Cemburu]

"Sa pulang sudah. Besok sa tara datang-datang lagi."
"Baru kaka main dengan siapa nanti?"
"Kaka pu adik banyak to. Anak-anak lain itu?"
"He Bima, kaka pu ade ini cuma ko saja."
*diam*


[Bima Protektif]

*main potong pakai parang*
"Siapa yang suruh kaka main begini???" *merebut parang*
*ambil parang yang lain*
"Kaka. Kalo sampe kenapa-kenapa.. Sebentar kaka mama tanya siapa yang kasih pegang parang, baru kaka bilang 'sa pu ade di kampung ini yang kasih' sa dapat mara..." *merebut parang*


[Bima Ngomong Agama]

*menunggu aku keluar rumah*
"Sudah. Ayo jalan."
"Bah, kaka sembahyang cepat betul."
"Io, cepat tapi sering to."
"Kaka sembahyang berapa kali?"
"Satu hari lima kali."
"Kalau sa sembahyang itu dua kali."
"Ko sembahyang sebelum tidur juga?" (dia hidup sendiri di rumah selama 2 bulan)
"Kalau su sembahyang itu hati rasa tenang. Tiap hari sa sembahyang sebelum tidur, hati rasa tenang sekali, su tida takut lagi suara orang ka binatang ka sa langsung tidur."


[Bima Marah]

*diam*
*tidak menatapku*
*tidak merespon keberadaanku*


[Bima The Wish Granter]

"Kaka pengen tau makan pinang."
"Kaka beli to."
"Ah, tida mau."
-dua hari kemudian-
"Kaka lia bilang mau coba pinang to." *bawa pinang, sirih, dan kapur*


[Bima Tukang Bolos]

"Kalo bolos sekolah sa tida main ke sini. Nanti kaka tanya-tanya saya."
"Bah, kaka su tida mau lagi kasi-kasi nasehat buat ko. Kemarin-kemarin su banyak. Ko ni su SMP, su besar, ko su tau mana yang baik to."
-beberapa hari kemudian-
"Kaka, besok kaka pergi sudah (pergi dalam rangka program). Sa mau sekolah."


[Bima Serius]

"Kaka, ini untuk kaka. Kaka simpan baik-baik. Kalau orang Papua kasih taring untuk kaka, kaka simpan baik-baik." *kasih kalung buatannya sendiri*


[Bima Heboh]

*baru pulang malam hari dari penjelajahan ke pulau rani*
Horee!! Kaka lia pulang!! Kaka lia pulang!!! *lari ke arahku dan berjoget-joget memegang tanganku*



[Bima Cuek]

"Kaka pulang sudah, sa tara menangis. Kaka pulang, sebentar sa pergi sekolah baru sa pergi main bola." *menggendong carrierku dari rumah sampai ke pondok*
Sejurus kemudian, bocah ini ga bisa berhenti menangis di pelukanku, bahkan sampai kami pergi.

Perempuan dan Kalung Bodohnya

Sore itu kalungnya putus.
Kalung yang ia dapat dari tempat yang amat jauh.
Bukan. Kalung itu bukan berasal dari tanah di timur Indonesia.
Kalung itu berasal dari hati baik seorang bocah kecil.
Tempat yang begitu jauh dan dalam.

Ia bergegas membeli satu gulung benang nilon,
berniat memperbaiki kalung tersebut dengan merangkainya kembali.

Kalung itu tersusun dari puluhan cangkang siput laut berukuran seujung jari kelingkingmu.
Dan baginya, setiap butir cangkang adalah perwakilan dari setiap kehidupan di pantai Warbor.
Aku pun heran.
Bisa-bisanya memaknai suatu barang hingga begitu dalam.
Baginya, setiap butir cangkang adalah perasan-perasan ketulusan langkah kaki seorang anak di bibir pantai, yang sibuk mencari puluhan butir dengan ukuran dan warna yang sama,
demi keindahan sebuah kalung,
atau senyuman di bibir seseorang,
atau bentuk legalisasi pernyataan rasa sayang dan takut kehilangan.

Ia mulai merangkai cangkang-cangkang itu ke benang baru,
sambil berharap hatinya tak terlampau sentimentil karena mengubah sesuatu dari karya bocah kecil itu.
Rupanya butuh waktu lama merangkainya, karena cangkang ini tak dilubangi oleh mesin bor atau tangan lihai pengrajin hiasan cangkang di Ubud.
Dari cerita bocah itu, ia tau persis cangkang kecil ini dilubangi dengan paku, satu per satu, sangat tidak rapi dan sama sekali tak membuat proses perangkaiannya mudah.

Baru setengah jalan ia sudah mengeluh.
Padahal ia hanya merangkai sesuatu yang sudah jadi.
Ia tidak membeli benang nilon dengan berjalan jauh di tempat panas.
Ia tidak memelototi setiap jengkal pasir pantai untuk menemukan puluhan cangkang dengan ukuran dan warna yang sama.
Ia tidak memaku satu per satu puluhan pantat cangkang yang ukurannya sebiji jeruk.
Ia hanya merangkai.
Tapi air mata meleleh di pipinya.
Rupanya ia terlalu lemah, mudah lelah dan menyerah.

Oh,
Ternyata bukan lelah yang memanggil.
Air mata datang memenuhi undangan kerinduan dari setiap helai nafas yang ia hembuskan di kampung.
Air mata datang memenuhi undangan kerinduan akan bocah kecil yang tak lagi ia dengar kabarnya.
Bocah kecil yang selalu ia pamerkan sebagai adiknya.
Karena pamer, bercerita ke orang-orang, adalah satu-satunya cara menjaga ikatan kakak adik mereka.
Aku pun heran, kakak adik macam apa yang tak saling bicara apalagi bertatap muka?

Di ujung kalung, sebuah taring binatang tersemat.
Taring mungkin menggambarkan kegaharan.
Atau beberapa orang bilang tak pantas dikenakan sehari-hari.
Tapi kalung itu tak pernah lepas dari dadanya, meski tak pernah ia perlihatkan.

Karena baginya, ini soal dia dan adiknya.
Dan kalung ini adalah simbol kasih sayang.
Kasih sayang yang menembus batas.
Kasih sayang yang masih terus ia percaya kekuatannya.


Kasih sayang yang masih membuatnya terus mengucap doa,
meski tak lagi saling bicara.

Malam Percakapan

Malam ini, di tengah waktu senggang selepas minggu-minggu ujian, aku secara spontan membuka grup line SMA, scroll nama-nama yang ada di situ, dan chat satu-satu beberapa teman lamaku yang sudah lama tak ku jumpai.

Tidak ada motivasi khusus sih. Hanya saja aku merasa selain menciptakan teman baru, menciptakan percakapan dengan teman-teman lama ternyata cukup hangat dan menyenangkan.

Kemarin aku baru saja bertemu dengan seorang teman lama di SMA. Selama ini kami memang sesekali bertemu, tapi bukan sebuah pertemuan berkualitas yang direncanakan. Chat pun hampir tak pernah. Dan akhirnya, setelah entah berapa lama tidak pergi sama-sama, tanpa terasa aku menghabiskan 4 jam bercakap-cakap dengannya. Dari hal remeh sampai hal krusial. Perasaan ketika kamu tau kamu berteman dengannya sejak bertahun yang lalu, jarang bertemu, tapi sampai hari ini masih bisa menciptakan percakapan yang mengalir, adalah salah satu perasaan paling menyenangkan. It means that he was, and still is your best friend.

Kemudian aku berpikir, ada berapa banyak teman baikku di SMA yang sudah jarang aku temui simply because we have our own world since college strikes. Oh, I won't lose them. Lalu, tercetuslah ide kenapa tidak kujadikan saja malam ini sebagai malam penciptaan percakapan. Untuk sekedar mencairkan suasana, bertegur sapa, dan bertukar kabar. Aku chat beberapa teman baikku di SMA, teman yang dulunya begitu akrab, namun sekarang jarang bertemu.

Dua belas orang aku chat dengan awalan yang sederhana: "Piye kabarmu?" "Kowe wes skripsi durung?" "Lagi sibuk nggak?" "Piye uripmu?" dan kalimat-kalimat lebih bodoh lainnya. Dari kalimat-kalimat bodoh tersebut, berubah menjadi cerita unik masing-masing. Meski tak semuanya berakhir menjadi percakapan panjang, paling tidak aku tau si A ternyata kru sebuah band, si B sekarang lebih suka menyibukkan diri di gereja, si C mau menjajal tanah sumatera akhir tahun ini, si D skripsi tentang kopi, si E meninggalkan chatku demi dota, dan lain sebagainya hahahaha.

Meski sebagian besar masih tetap pada sifat aslinya, pada beberapa orang, aku merasakan keanehan juga sih. Kamu pernah mengenal mereka dengan sangat baik, tapi waktu, bisa begitu saja menciptakan kecanggungan. Harapannya sih, percakapan yang kuusahakan ini bisa menghapus kecanggungan-kecanggungan itu, dan merebut teman-teman baikku kembali hehehe.

Social experiment ini hasilnya memuaskan batin dan menyenangkan hati! I should do this more often.
Karena sahabat itu tak mudah dicari, apalagi di dunia kerja nanti.
Dan semakin dewasa, kita akan semakin bisa memahami bahwa sahabat, sepertinya halnya keluarga, adalah harta tak ternilai.

Sunday, December 4, 2016

Aku dan Project Child

Beberapa waktu yang lalu aku mencoba mendaftar sebagai volunteer di sebuah NGO. Alasannya simpel. Sebagai mahasiswa tahun keempat, aku sudah tak dibutuhkan lagi di organisasi kampus. And I can't just spent my whole day gegoleran di kasur aja. I need to get involved in something.

Singkat cerita, setelah beberapa minggu bergabung, aku sangat menikmati misi dan kegiatan yang diusung di sini. I would love to do this stuff for a longer period of time.
Tapi aku masih merasa asing karena hampir tak ada satu pun orang yang ku kenal. So when they offered a chance to join in a trip to visit their office in Pacitan, I simply said yes. Yah bodo amat nggak ada yang kenal pokoknya hajar aja, pikirku waktu itu. Let say I'm just trying to make myself comfortable with this new environment. I need to get to know them, and a trip would be very helpful.

Dan akhirnya, dari perjalanan singkat bersama 6 orang kemarin, aku mendapatkan banyak hal. Bukan hanya kesempatan mengenal NGO lebih dalam dan mendapatkan teman baru yang super seru, lebih dari itu, aku mendapatkan pelajaran yang tidak terduga.


Aku jadi benar-benar bisa memahami bahwa berbuat baik aja nggak cukup. Berbuat baik harus cerdas.
Sejak di bangku sekolah aku mencintai kegiatan sosial. Tiga tahun di bangku kuliah pun aku habiskan untuk mengembangkan sektor pengabdian masyarakat. Bahkan aku sempat bergabung dalam sebuah komunitas di luar kampus yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak kecil, meski tak bertahan lama karena alasan kesehatan waktu itu. Intinya, aku sudah mencicipi, mengonsep, melaksanakan berbagai project sosial.
Tapi ketika aku bertemu mereka, aku sadar, selama ini aku melupakan fundamentalnya. Aku mencintai kegiatan sosial, aku menikmati dan merasa bahagia melakukannya, tapi nggak pernah memikirkan optimalisasi project. Aku nggak pernah benar-benar concern ke sustainability dan kuantitas/kualitas impact-nya. Oke, mungkin aku memikirkan hal-hal itu, tapi tidak matang. Seolah-olah prioritasku adalah kebahagiaanku sebagai volunteer, bukan dampaknya untuk anak-anak/masyarakat.
Dari teman-teman baruku, aku belajar memahami bagaimana seharusnya menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama.

Kemudian, ada hal lain yang cukup membuatku kaget namun bahagia tak terkira.
Atmosfer bergaul dengan mereka ternyata sangat berbeda dari duniaku di kampus atau di tempat lain. Orang-orang di sini sangat open minded. Aku bisa merasa sangat nyaman bersama mereka hanya dalam beberapa jam saja. And by open minded, I mean no one's gonna judge you for who you are. Seunik apa pun kamu, seekstrim apa pun kamu, mau sholat lima waktu atau nyembah batu, mereka tidak akan melemparkan raut wajah heran, apalagi menghindar. Mereka hanya punya satu kesamaan yang menyatukan, which is doing good things for the children, dan itu cukup. Di luar itu, everyone respect each other. Semua menjadi diri sendiri. Nggak ada yang malu mengutarakan jati dirinya. Nggak ada yang berusaha menutup-nutupi sesuatu. Like, I was spontaneously telling someone about my very personal stuff after known her for like 10 hours?? And everyone does the same. Because no one's gonna judge you. Kami saling menanyakan hal yang kami ingin tau kepada satu sama lain, dan tidak ada jawaban yang difilter atau disesuaikan dengan kondisi. Semua jawaban apa adanya (or is it just me who innocently believe they did it that way? They must be good actors then!). And once again, no one's gonna judge you, not even a judging stare.
Aku bisa membayangkan kalau aku melemparkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu ke lingkunganku, jawaban-jawaban yang keluar pasti adalah jawaban-jawaban aman.
Dari teman-teman baruku, aku belajar bahwa orang yang berprinsip tidak berarti berhenti menoleransi, dan menghargai kebebasan akan membuat hidupmu lebih bahagia.

Hal lain yang lumayan membantuku adalah mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai second language. Di kampus, kemampuan berbicara dengan bahasa inggris adalah sesuatu yang amat sangat tidak diperhatikan. Aku bahkan nggak akan ngomong in english lagi kalau nggak menyempatkan les conversation di semester 4 (dan saat itu aku dianggap aneh karena di saat yang lain sibuk organisasi dan tugas, aku malah mengambil les inggris. But I couldn't hold it!). Motivasiku ikut les conversation saat itu murni karena aku ingin punya tempat untuk bisa ngomong inggris without being called as belagu sok nginggris.
Tapi di sini, everyone's trying to speak English even for our daily conversation. Meski tampaknya status si-belagu-sok-nginggris milikku berubah menjadi si-goblok-belajar-nginggris, it motivates me and simply makes me happy!



Ah, selalu menyenangkan mendapat teman-teman baru.
Dan lebih menyenangkan lagi belajar sesuatu dari mereka.




Terima kasih Project Child Indonesia.
Saya selaku volunteer yang baru berumur 40 hari, telah mendapat banyak sekali pelajaran dari kalian.
Expecting more days to come!