Beberapa waktu yang lalu aku mencoba mendaftar sebagai volunteer di sebuah NGO. Alasannya simpel. Sebagai mahasiswa tahun keempat, aku sudah tak dibutuhkan lagi di organisasi kampus. And I can't just spent my whole day gegoleran di kasur aja. I need to get involved in something.
Singkat cerita, setelah beberapa minggu bergabung, aku sangat menikmati misi dan kegiatan yang diusung di sini. I would love to do this stuff for a longer period of time.
Tapi aku masih merasa asing karena hampir tak ada satu pun orang yang ku kenal. So when they offered a chance to join in a trip to visit their office in Pacitan, I simply said yes. Yah bodo amat nggak ada yang kenal pokoknya hajar aja, pikirku waktu itu. Let say I'm just trying to make myself comfortable with this new environment. I need to get to know them, and a trip would be very helpful.
Dan akhirnya, dari perjalanan singkat bersama 6 orang kemarin, aku mendapatkan banyak hal. Bukan hanya kesempatan mengenal NGO lebih dalam dan mendapatkan teman baru yang super seru, lebih dari itu, aku mendapatkan pelajaran yang tidak terduga.
Aku jadi benar-benar bisa memahami bahwa berbuat baik aja nggak cukup. Berbuat baik harus cerdas.
Sejak di bangku sekolah aku mencintai kegiatan sosial. Tiga tahun di bangku kuliah pun aku habiskan untuk mengembangkan sektor pengabdian masyarakat. Bahkan aku sempat bergabung dalam sebuah komunitas di luar kampus yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak kecil, meski tak bertahan lama karena alasan kesehatan waktu itu. Intinya, aku sudah mencicipi, mengonsep, melaksanakan berbagai project sosial.
Tapi ketika aku bertemu mereka, aku sadar, selama ini aku melupakan fundamentalnya. Aku mencintai kegiatan sosial, aku menikmati dan merasa bahagia melakukannya, tapi nggak pernah memikirkan optimalisasi project. Aku nggak pernah benar-benar concern ke sustainability dan kuantitas/kualitas impact-nya. Oke, mungkin aku memikirkan hal-hal itu, tapi tidak matang. Seolah-olah prioritasku adalah kebahagiaanku sebagai volunteer, bukan dampaknya untuk anak-anak/masyarakat.
Dari teman-teman baruku, aku belajar memahami bagaimana seharusnya menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama.
Kemudian, ada hal lain yang cukup membuatku kaget namun bahagia tak terkira.
Atmosfer bergaul dengan mereka ternyata sangat berbeda dari duniaku di kampus atau di tempat lain. Orang-orang di sini sangat open minded. Aku bisa merasa sangat nyaman bersama mereka hanya dalam beberapa jam saja. And by open minded, I mean no one's gonna judge you for who you are. Seunik apa pun kamu, seekstrim apa pun kamu, mau sholat lima waktu atau nyembah batu, mereka tidak akan melemparkan raut wajah heran, apalagi menghindar. Mereka hanya punya satu kesamaan yang menyatukan, which is doing good things for the children, dan itu cukup. Di luar itu, everyone respect each other. Semua menjadi diri sendiri. Nggak ada yang malu mengutarakan jati dirinya. Nggak ada yang berusaha menutup-nutupi sesuatu. Like, I was spontaneously telling someone about my very personal stuff after known her for like 10 hours?? And everyone does the same. Because no one's gonna judge you. Kami saling menanyakan hal yang kami ingin tau kepada satu sama lain, dan tidak ada jawaban yang difilter atau disesuaikan dengan kondisi. Semua jawaban apa adanya (or is it just me who innocently believe they did it that way? They must be good actors then!). And once again, no one's gonna judge you, not even a judging stare.
Aku bisa membayangkan kalau aku melemparkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu ke lingkunganku, jawaban-jawaban yang keluar pasti adalah jawaban-jawaban aman.
Dari teman-teman baruku, aku belajar bahwa orang yang berprinsip tidak berarti berhenti menoleransi, dan menghargai kebebasan akan membuat hidupmu lebih bahagia.
Dari teman-teman baruku, aku belajar bahwa orang yang berprinsip tidak berarti berhenti menoleransi, dan menghargai kebebasan akan membuat hidupmu lebih bahagia.
Hal lain yang lumayan membantuku adalah mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai second language. Di kampus, kemampuan berbicara dengan bahasa inggris adalah sesuatu yang amat sangat tidak diperhatikan. Aku bahkan nggak akan ngomong in english lagi kalau nggak menyempatkan les conversation di semester 4 (dan saat itu aku dianggap aneh karena di saat yang lain sibuk organisasi dan tugas, aku malah mengambil les inggris. But I couldn't hold it!). Motivasiku ikut les conversation saat itu murni karena aku ingin punya tempat untuk bisa ngomong inggris without being called as belagu sok nginggris.
Tapi di sini, everyone's trying to speak English even for our daily conversation. Meski tampaknya status si-belagu-sok-nginggris milikku berubah menjadi si-goblok-belajar-nginggris, it motivates me and simply makes me happy!
Ah, selalu menyenangkan mendapat teman-teman baru.
Dan lebih menyenangkan lagi belajar sesuatu dari mereka.
Terima kasih Project Child Indonesia.
Saya selaku volunteer yang baru berumur 40 hari, telah mendapat banyak sekali pelajaran dari kalian.
Expecting more days to come!
No comments:
Post a Comment