Sore itu kalungnya putus.
Kalung yang ia dapat dari tempat yang amat jauh.
Bukan. Kalung itu bukan berasal dari tanah di timur Indonesia.
Kalung itu berasal dari hati baik seorang bocah kecil.
Tempat yang begitu jauh dan dalam.
Ia bergegas membeli satu gulung benang nilon,
berniat memperbaiki kalung tersebut dengan merangkainya kembali.
Kalung itu tersusun dari puluhan cangkang siput laut berukuran seujung jari kelingkingmu.
Dan baginya, setiap butir cangkang adalah perwakilan dari setiap kehidupan di pantai Warbor.
Aku pun heran.
Bisa-bisanya memaknai suatu barang hingga begitu dalam.
Baginya, setiap butir cangkang adalah perasan-perasan ketulusan langkah kaki seorang anak di bibir pantai, yang sibuk mencari puluhan butir dengan ukuran dan warna yang sama,
demi keindahan sebuah kalung,
atau senyuman di bibir seseorang,
atau bentuk legalisasi pernyataan rasa sayang dan takut kehilangan.
Ia mulai merangkai cangkang-cangkang itu ke benang baru,
sambil berharap hatinya tak terlampau sentimentil karena mengubah sesuatu dari karya bocah kecil itu.
Rupanya butuh waktu lama merangkainya, karena cangkang ini tak dilubangi oleh mesin bor atau tangan lihai pengrajin hiasan cangkang di Ubud.
Dari cerita bocah itu, ia tau persis cangkang kecil ini dilubangi dengan paku, satu per satu, sangat tidak rapi dan sama sekali tak membuat proses perangkaiannya mudah.
Baru setengah jalan ia sudah mengeluh.
Padahal ia hanya merangkai sesuatu yang sudah jadi.
Ia tidak membeli benang nilon dengan berjalan jauh di tempat panas.
Ia tidak memelototi setiap jengkal pasir pantai untuk menemukan puluhan cangkang dengan ukuran dan warna yang sama.
Ia tidak memaku satu per satu puluhan pantat cangkang yang ukurannya sebiji jeruk.
Ia hanya merangkai.
Tapi air mata meleleh di pipinya.
Rupanya ia terlalu lemah, mudah lelah dan menyerah.
Oh,
Ternyata bukan lelah yang memanggil.
Air mata datang memenuhi undangan kerinduan dari setiap helai nafas yang ia hembuskan di kampung.
Air mata datang memenuhi undangan kerinduan akan bocah kecil yang tak lagi ia dengar kabarnya.
Bocah kecil yang selalu ia pamerkan sebagai adiknya.
Karena pamer, bercerita ke orang-orang, adalah satu-satunya cara menjaga ikatan kakak adik mereka.
Aku pun heran, kakak adik macam apa yang tak saling bicara apalagi bertatap muka?
Di ujung kalung, sebuah taring binatang tersemat.
Taring mungkin menggambarkan kegaharan.
Atau beberapa orang bilang tak pantas dikenakan sehari-hari.
Tapi kalung itu tak pernah lepas dari dadanya, meski tak pernah ia perlihatkan.
Karena baginya, ini soal dia dan adiknya.
Dan kalung ini adalah simbol kasih sayang.
Kasih sayang yang menembus batas.
Kasih sayang yang masih terus ia percaya kekuatannya.
Kasih sayang yang masih membuatnya terus mengucap doa,
meski tak lagi saling bicara.
No comments:
Post a Comment