Mencari bahagia itu seperti membeli kue cubit.
Ada yang menyukai setengah matang, ada yang tidak bisa makan kalau tidak sepenuhnya matang.
Ada yang suka taburan coklat di atasnya, ada yang lebih suka dengan keju atau susu.
Ada yang hobi hingga tiap hari beli, ada yang tak suka bahkan tak pernah mencoba.
Kalau kau sebut bahagiamu itu coklat, jangan paksa temanmu yang suka keju untuk bahagia memakan coklat.
Bukan kah sederhana saja pola pikir itu?
Ada orang-orang yang mengejar kehidupan mapan dengan menjadi karyawan bergaji besar, ada yang bertahan berjualan kaos kaki di pinggir jalan.
Ada orang-orang yang bergonta-ganti tempat makan setiap malam, ada yang menyalakan lampu minyak untuk makan nasi bungkus berdua dengan anaknya.
Ada yang bangun pagi setiap hari untuk membuka toko kelontongnya, ada yang beraktivitas malam hari menulis novel fiksinya.
Mas Bumi, kesalahan terbesarku adalah memukul rata arti bahagia.
Memandang kagum dan iri pada yang di atas, menganggap mereka lebih bahagia dariku.
Merasa prihatin dan kasihan pada yang di bawah, menganggap mereka tidak bahagia sepertiku.
Sungguh, Mas Bumi, baru ku sadari, sesungguhnya tak pernah ada atas dan bawah untuk bahagia.
Semua punya definisi masing-masing, dan semua menjalankan peran sesuai keinginannya.
Sungguh, Mas Bumi, jika kamu masih di sini, mungkin aku tak sebingung ini.
Mencoret kesana dan kemari, membuat arti bahagia milikku sendiri.
Mas Bumi,
Nanti aku akan tulis surat untukmu lagi.
Saat hujan berhenti,
Atau saat ku temukan bahagia yang dicari.
Semua punya definisi masing-masing, dan semua menjalankan peran sesuai keinginannya.
Sungguh, Mas Bumi, jika kamu masih di sini, mungkin aku tak sebingung ini.
Mencoret kesana dan kemari, membuat arti bahagia milikku sendiri.
Mas Bumi,
Nanti aku akan tulis surat untukmu lagi.
Saat hujan berhenti,
Atau saat ku temukan bahagia yang dicari.