Sunday, December 17, 2017

Mas Bumi

Mas Bumi, kamu pernah bilang,
Mencari bahagia itu seperti membeli kue cubit.

Ada yang menyukai setengah matang, ada yang tidak bisa makan kalau tidak sepenuhnya matang.
Ada yang suka taburan coklat di atasnya, ada yang lebih suka dengan keju atau susu.
Ada yang hobi hingga tiap hari beli, ada yang tak suka bahkan tak pernah mencoba.

Kalau kau sebut bahagiamu itu coklat, jangan paksa temanmu yang suka keju untuk bahagia memakan coklat.

Bukan kah sederhana saja pola pikir itu?

Ada orang-orang yang mengejar kehidupan mapan dengan menjadi karyawan bergaji besar, ada yang bertahan berjualan kaos kaki di pinggir jalan.
Ada orang-orang yang bergonta-ganti tempat makan setiap malam, ada yang menyalakan lampu minyak untuk makan nasi bungkus berdua dengan anaknya.
Ada yang bangun pagi setiap hari untuk membuka toko kelontongnya, ada yang beraktivitas malam hari menulis novel fiksinya.

Mas Bumi, kesalahan terbesarku adalah memukul rata arti bahagia.
Memandang kagum dan iri pada yang di atas, menganggap mereka lebih bahagia dariku.
Merasa prihatin dan kasihan pada yang di bawah, menganggap mereka tidak bahagia sepertiku.

Sungguh, Mas Bumi, baru ku sadari, sesungguhnya tak pernah ada atas dan bawah untuk bahagia.
Semua punya definisi masing-masing, dan semua menjalankan peran sesuai keinginannya.

Sungguh, Mas Bumi, jika kamu masih di sini, mungkin aku tak sebingung ini.
Mencoret kesana dan kemari, membuat arti bahagia milikku sendiri.

Mas Bumi,
Nanti aku akan tulis surat untukmu lagi.
Saat hujan berhenti,
Atau saat ku temukan bahagia yang dicari.

Tuesday, August 1, 2017

Melepas Waktu #2

Tulisan ini bagian dari Melepas Waktu, sebuah rangkaian tulisan tentang aku dan Papua.
Tentang Melepas Waktu bisa dilihat di sini.
Tulisan Melepas Waktu #1 bisa dilihat di sini
Semua foto diambil oleh Upan.

***

Suatu sore yang cerah, kami berkendara dengan pick up kesayangan kami menuju Kampung Warsa, desa di sebelah barat Kampung Warbor.
Setelah berdiskusi sana-sini dengan beberapa pihak, dari Pantai Warsa kami menyeberang ke sebuah pulau kecil di Urbowi.


Bukan, ini bukan pulau. Sebenarnya ini adalah sebuah gundukan pasir yang menyembul di tengah teluk yang dikelilingi oleh hutan bakau. Gundukan pasir ini biasa disebut Pulau Timbul Tenggelam karena hanya akan muncul ketika air laut surut.
Diameternya mungkin hanya sekitar 15 meter, tergantung pasang surut air laut saat itu. Kemudian di sekelilingnya adalah laut dangkal dengan air  jernih yang di dasarnya terdapat banyak sekali bintang laut.


Kami puas berenang dan bermain air di tengah laut, dengan langit cerah, tanpa suara.
Namun hal yang sangat magis adalah saat langit mulai meredup.

Sore itu, terduduk merendam tubuhku di air laut, ketika matahari mulai terbenam dan langit berwarna jingga keunguan, aku hanya bisa terdiam dan menyebut nama Tuhan berulang kali.
Kami semua tak bisa berkata. Selama beberapa menit kami hanya bisa terpaku menyaksikan indahnya matahari terbenam sore itu, sambil bergelut dengan pikiran masing-masing.

Entah milik mereka, tapi pikiranku hanya ada rasa syukur yang tak terkira.


Sunday, July 2, 2017

Lintang untuk Ikal

Seperti Ikal, aku ingin menciptakan Lintangku sendiri.

Mengeluarkan sisi baikku yang tersisa, memberinya kesempatan untuk berdiri sendiri, dan menyematkan nama yang manis padanya.
Ku kenalkan ia pada dunia, kemudian kami akan berteman baik, tentu saja.

Layaknya Lintang untuk Ikal.
Aku akan selalu menjadi nomor dua, pengakuan dan pujian akan jatuh padanya,
Namun pada akhirnya, aku cukup bahagia karena punya teman bercerita.
Kalau tak tahu lagi akan kemana, aku akan mengejarnya.
Kalau tak tahu lagi harus bagaimana, aku akan mengamatinya.
Kemudian perlahan ia akan menyelamatkanku dari kebingungan.

Saat-saat seperti ini, aku ingin menciptakan Lintangku sendiri.
Tolong, aku terbentur kacau.
Sesak, aku ingin duduk bersamanya dalam sepi, bercerita dalam diam.
Atau mungkin air mata.
Menanti orang lain, aku memilih menanti Lintang menyeka tangisku,


Kemudian perlahan ia akan menyelamatkanku dari ketidaktahuan.




Thursday, June 1, 2017

Pelacur, Penipu, dan Pola Pikir Kita

Aku dan Wulan suka membicarakan banyak hal. Salah satunya, kami pernah membahas kenapa seorang pelacur begitu hinanya di mata manusia dibanding bapak-bapak parlemen yang menipu dan makan uang rakyat setiap hari.

Suatu hari aku membaca sebuah tulisan di media sosial tentang seorang perempuan yang bekerja sebagai pelacur demi membiayai kuliahnya dan adiknya. Suatu kali aibnya tersebar. Akibat tekanan sosial yang begitu besar, ia meninggalkan bangku kuliah. Meninggalkan teman-teman dekatnya. Meninggalkan mimpinya untuk menjadi seorang arsitek. Ia menghilang. Di akhir cerita, disebutkan ia meninggal dunia akibat sakit parah. Mungkin sebenarnya ia sudah lama meninggal. Meninggal akibat dibunuh oleh hinaan dan tatapan jijik lingkungannya.

I'm not saying that being prostitute is something good

Aku hanya berpikir.
Kita ini kok suka ngurusin hidup orang lain ya. Suka ngurusin hubungan orang lain dengan Tuhannya, dan mempermasalahkannya besar-besaran.
Sedangkan orang-orang yang korupsi, menyuap, hal-hal atas nama kemanusiaan, merugikan manusia lain dengan masif, dianggapnya wajar.

Kemudian jadi teringat tulisan Ahmad Tohari yang pernah kubaca. Sepertinya logika yang diutarakan beliau lewat tokoh Kabul di novelnya yang berjudul Orang-Orang Proyek ini sangat relevan.




Kita ini suka menjadikan proses sebagai tujuan. Proses memang sesuatu yang harus dilakukan. Tapi tetap saja, proses bukanlah tujuan.
Tujuannya tak digubris. Prosesnya digembar-gemborkan.

Susah mengubah pola pikir seperti ini.
Sesungguhnya tulisan ini sebagai pengingat bagi sendiri.

Mari berpikir dengan cerdas, dan terus memperbaiki diri.

Saturday, May 13, 2017

Melepas Waktu #1

(Tulisan ini bagian dari Melepas Waktu)

***

Melihat langit malam sudah menjadi kesukaanku sejak dulu.
Aku biasa berdiam diri sendiri di halaman villa kaliurang saat makrab, di tengah hutan saat "makrab" (hehe), di pinggir pantai saat beach camp, dan yang paling sering adalah di depan garasi rumah. Sudah tak perlu kuceritakan lagi bagaimana aku mengagumi langit malam, sudah pernah kutulis juga di blog ini.

Namun langit malam di Papua benar-benar berbeda.
Adalah langit terindah yang pernah kulihat seumur hidupku, bukan langit yang bisa kutemui disini, di tempat-tempat gelap seperti pantai dan hutan sekali pun.
Bintangnya begitu terang dan rapat. Langit benar-benar penuh dengan bintang, hampir tak ada tempat kosong di kanvas bertabur bintang itu. Milky way tampak begitu jelas dan indah, kasatmata.
Peta bintang yang biasa ku pakai di rumah, tak akan bisa kupakai di sini, karena terlalu banyak bintang yang harus dibaca, mereka terlalu rapat.
Aku juga tak tau kenapa. Tapi langit Warbor benar-benar bisa membuatku seperti ada di luar angkasa. 

Di mana pun aku menatap langit malam, rasi bintang yang pertama ku cari adalah scorpion. Satu-satunya rasi yang bisa kutemukan tanpa melihat peta bintang hehe. Suatu malam, aku bahagia sekali bisa menunjukkan rasi itu pada Bima, dan berhasil mengukir raut terpukau di wajahnya.


Oiya, sebelum menginjak Papua, aku belum pernah melihat bintang jatuh.
Tapi di sana, hampir setiap malam langkah pulangku ditemani banyak sekali bintang jatuh. Jelas sekali.
Pertama kali aku dan teman-teman menyaksikan bintang jatuh, kami terkagum-kagum. Namun hari-hari berikutnya menjadi biasa saja karena bintang jatuh dengan mudahnya kami temukan tiap kali kami memandang ke atas saat malam hari hahaha.

Ah, perjalanan pulang dengan berjalan kaki setiap malam selama dua bulan di sana sungguh kurindukan.
Langit Papua begitu memikat hatiku.

foto diambil oleh Upan di sepanjang jalan Kampung Warbor, Supiori Utara, Papua.

Wednesday, May 10, 2017

Melepas Waktu

“Kalau sampe terjadi hal-hal buruk, sebut nama Allah ya, Nduk. Jangan sebut yang lain. Sebut nama Allah,” begitu ucap mbah putri ketika melepas kepergianku ke Papua, dengan nada penuh dengan kekhawatiran. Sepertinya ia belum ikhlas melepas cucunya pergi.

Nyatanya Papua benar-benar membuatku tercekat dan mengucap nama Tuhanku berulang kali.
Bukan karena hal buruk. Melainkan karena hal-hal terlampau indah di luar nalarku. Hal-hal yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, yang begitu menyentuh perasaanku, hingga tak tau lagi harus berkata apa selain menyebut nama Allah.
Alam Papua tak hanya memanjakan mata, namun juga meneduhkan hati.

Aku bukan orang yang religius.
Tapi Papua, membuatku mencintai hidupku, bumi ini, dan Tuhanku lebih lagi.


Dalam beberapa tulisan ke depan, aku akan mencoba menceritakan beberapa pengalaman yang kualami tersebut, dengan judul dan label "Melepas Waktu".
Entah apakah tulisan ini akan memberi manfaat, karena sudah pasti takkan bisa menggambarkan bagaimana persisnya. Yah, paling tidak sekedar menjadi pengingat untuk diri sendiri ketika suatu hari nanti lupa datang menghampiri.


Tuesday, April 18, 2017

Jarak

Jarak ditemani dua titik.
Semesta tentukan letak keduanya.
Lalu bagaimana kita tau?

***

Jarak telah lama menjadi musuhku
Tapi ia juga tanpa pamrih menjadi kawanku.


Jarak pernah menunjukkan padaku apa yang seorang ibu rela korbankan untukku, anaknya yang saat itu belum bisa apa-apa.

Pernah suatu kali hati seorang perempuan renta hancur, di depan mataku.
Konon, jarak berperan besar atas air matanya. Nenekku.

Lain waktu, aku terlena oleh rekat. Berkutat pada kesia-siaan yang sama, sampai akhirnya jarak hadir menyelamatkanku dari kebodohan.

Tapi jarak bisa begitu kejam, menghantuiku bahkan sebelum hadir.
Ia tiba-tiba muncul ketika lonceng perpisahan berdentang. Entah siapa yang memukul.

Kemudian jarak bisa menjelma menjadi yang paling jahat,
Saat tak bisa ku ukur dengan peta apa pun.
Saat tak bisa terdeteksi satelit mana pun.
Saat satu-satunya cara hanyalah menerka
Padahal dekapmu terasa begitu dekat.

Atau jangan-jangan,
Aku yang tak bisa menemukan diriku sendiri?
Aku yang tersesat selama ini?

Untungnya menulis membuatku sedikit lega,
Membuatku merasa melakukan perjalanan,
Memangkas jarak sedikit demi sedikit.
Tapi,
Untuk apa?

***

Sepertinya aku memutuskan untuk tersesat dengan bahagia.



Sunday, March 26, 2017

Bapa

Assalamualaikum, Bapa.
Shalom.

Bapa, seorang yang religius, yang dihormati warga kampung.
Bapa, seorang ketua jemaat di gereja, seorang ketua badan musyawarah kampung.
Bapa, yang rumahnya selalu jadi tempat peraduan ketua-ketua RT dan kepala kampung.
Bapa, yang rumahnya selalu jadi tempat pengaduan warga dengan masalah-masalahnya.
Bapa, yang mengorbankan waktu, tenaga, materi, demi kebaikan masyarakat.
Bapa, seorang yang bijaksana.

Bapa yang selalu kasih semangat untuk saya dan teman-teman saat gairah mengerjakan program untuk kampung mulai menghilang.
Bapa yang selalu bangun pagi, menyiapkan segala hal, mengingatkan ini dan itu, demi saya dan teman-teman bisa melaksanakan program dengan lancar.
Demi kampung.
Bapa yang setelah bekerja di kota selama bertahun-tahun, pulang ke kampung dan mengabdikan diri untuk warga kampung.
Bapa adalah seorang yang mengajarkan saya tentang arti pengabdian yang tulus.

Bapa,
Bapa adalah alasan saya bisa menyebut Papua sebagai rumah.
Bapa adalah alasan saya percaya kasih sayang menembus perbedaan.
Bapa yang sejak hari pertama saya injakkan kaki di Supiori, sudah membuat saya merenungi banyak hal.

"Kulit, rambut, kita semua sama, dari Sabang sampai Merauke, kita tetap satu to, Indonesia."
Bayangkan mendengar ini dari seorang yang tinggal di tempat terpencil di tanah Papua.

"Lia adalah anak Bapa. Sampaikan pada orang tua di Jawa, kalau Lia sudah punya orang tua angkat di Papua."
Satu hari tinggal di Papua, saya sudah merasakan kasih sayang yang luar biasa.

Bapa selalu mau dengar cerita-cerita saya, selalu sempatkan waktu di pagi atau malam hari untuk bercengkerama dengan anaknya.
Bapa yang selalu bilang terima kasih karena Lia sudah mau meninggalkan keluarga jauh-jauh untuk mengabdi dan menemui Bapa di tanah terpencil.
Bapa yang selalu tanya, "Lia mau jadi apa setelah lulus nanti?"
Dan setiap saya bilang mau terjun di dunia kereta api, Bapa akan menjawab, "Wah, berarti kerja di perkotaan, di kota-kota besar yang butuh kereta api."
Saya selalu bilang ke Bapa kalau saya akan selalu pulang ke kampung, ke rumah Bapa, yang sekarang juga jadi rumah saya.

Selama tinggal di sana, Bapa selalu bilang, "Nanti kalau ada kesempatan dan sinyal bagus, Bapa ingin sekali bicara dengan orang tua Lia di Jawa."
Dan hari itu, ketika Bapa naik motor jauh-jauh dari Supiori untuk melepas kepergian saya di bandara, Bapa akhirnya berkesempatan berbicara langsung dengan Ibu lewat telfon genggam.
"Assalamualaikum, Ibu," ujar Bapa.
Kemudian Bapa memperkenalkan diri dan sampaikan bahwa selama ini saya tinggal dengan orang tua dan keluarga di Papua. Bapa ucapkan terima kasih.
Bapa yang sungguh tulus hati.

Bapa mungkin adalah pemilik pelukan paling hangat, hingga saya tak segan mencurahkan segala kesedihan di dalam pelukannya.
Bapa, selalu memeluk saya dengan sepenuh hati, mengusap pundak saya dan berkata semua akan baik-baik saja, setiap kali saya menangisi perpisahan kita.


Setelah tujuh bulan, tangis rindu ternyata belum usai.
Tapi lagi-lagi saya bisa apa selain menangis dan berdoa.
Bapa, izinkan saya belajar dulu,
Izinkan saya kejar cita-cita dulu,
Bapa harus sehat.
Bapa harus terus sehat.
Kenyataan bahwa saya selalu mendoakan Bapa untuk terus sehat,
Semata-mata agar Bapa masih bisa menunggu di pintu rumah ketika suatu hari nanti saya pulang.


Thursday, March 23, 2017

Cruel World

Aku sangat meyakini bahwa berteman baik membuat hidupku lebih berharga.

I've been thinking that friendship is much more worth fighting for than any other relationships.
Having best friends around me makes me happy. No. More than that.
I feel blessed.
Because I know no matter how hard life smashes me to the ground, they will always be there for me.
I believed that my best friends will stay by my side while lovers come and go.
And I'm always scared when it comes to loosing a best friend.

But then a good friend of mine told me something actually I do know, but don't realize.
He said that as we grow old, we are forced to fight for our own life.
We will have our own path, not having the same perspective as we did before, and finally live our life differently.
We are forced to be a lil bit selfish, and that's the beginning of loosing friendship chemistry.
I'm not saying that it happens to all friendship, but mostly it does.

Then he said again, no matter how great your friendship are, how close you and your best friends are, in the end, the one who will always be by our side are the one you choose to be your lover.

I fell silent that night.

I think of my best buddies from years ago who still come to my house anytime I need them up to now. Who still pick up my pathetic phone call. Who still listen to my stupid grumble without complaining. Who don't mind spending the night doing nothing without being awkward.

I never expect my future would sacrifice such thing.
What a cruel world we live in.



Monday, March 20, 2017

Sepertinya

Aku tau.
Aku terlalu pintar untuk jatuh di lubang yang sama,

Aku tau.
Nanti pun akan berdamai dengan waktu.

Aku tau.
Ketika aku terjun dari tebing tinggi menuju laut dalam biru pekat di sebuah pantai di Papua sore itu,
Ketika gravitasi berhenti menarik tubuhku ke bawah,
Ketika ku ayun tanganku tiga kali namun tak kunjung sampai ke permukaan,
Ternyata aku tak lebih dalam dari itu.
Sebaliknya, kamu.
Sepertinya jauh lebih.
Sepertinya.

Aku tau,
Guru lesku mengajariku menyelami kolam, sungai, laut.
Air.
Bukan yang lain.

Lalu bagaimana aku tau?

Tak apa.
Tuhan menciptakan kata "sepertinya",
Supaya manusia tak terlalu serakah, dan mengetahui semuanya.
Supaya aku tau kamu.
Sepertinya.





Ditulis akibat indahnya alunan Dave Koz - First Love melalui headset kesayangan,
Dan beberapa kejadian belakangan.
Sepertinya.

Wednesday, March 15, 2017

Aku dan Film Lion

Aku mencintai anak-anak.

Sejak SD aku kerap berinteraksi dengan anak-anak dengan berkunjung ke panti asuhan dan berbagai kegiatan lainnya. Dan sejak pertemuanku dengan Bambang saat kelas satu SMA, aku mulai mempunyai prinsip. Selain memiliki anak kandung, aku ingin mengadopsi anak saat dewasa kelak.

Oiya. Bambang adalah seorang bocah yang sepertinya pernah ku ceritakan di blog ini. Ia tinggal di sebuah panti asuhan yang pernah ku kunjungi.

Kemudian semenjak itu, ketika aku dan teman-temanku “terjebak” dalam percakapan menjadi perempuan, berkeluarga, dan punya anak, aku akan terhimpit oleh kerut dahi dan tatapan heran mereka saat mengetahui prinsipku. Dan jawabanku selalu sama. “Ada banyak anak-anak yang hidup menderita karena tak diinginkan.” Kurang lebih begitu.

Meski kebanyakan memahami, aku belum pernah bertemu orang yang sependapat denganku. Aku tak pernah berusaha meyakinkan orang lain tentang ini. Aku hanya berusaha meyakinkan diriku. Dan sampai detik ini, masih sama.

***

Beberapa waktu yang lalu aku divonis dokter tidak bisa bermain basket lagi sampai lututku dioperasi. Hari itu, seperti yang pernah aku ceritakan di blog, adalah salah satu turning point hidupku. Meluncur ke bawah, tentu saja. Tapi berkat teman-temanku, aku bisa kembali mengumpulkan semangat, dan kembali optimis.

Setelah tidak melakukan pemeriksaan selama beberapa waktu karena KKN dan KP, kemarin aku baru saja berkunjung ke dokter ortopedi (untuk kesekian kalinya), berharap mendapat tindakan lebih lanjut untuk operasi. Setelah pemeriksaan klinis lebih lanjut dan melalui penjelasan panjang lebar, akhirnya didapat kesimpulan bahwa aku tak butuh operasi, dan memang sudah tak bisa bermain basket lagi.

Tak perlu aku tulis panjang lebar lagi bagaimana perasaanku.


***
*****
********


Dua hal di atas adalah dua kejadian dalam hidupku yang tiba-tiba terangkat kembali hari ini karena sebuah film yang luar biasa indah, berdasarkan kisah nyata.

Lion. Adalah salah satu film paling indah dan tulus yang pernah kutonton.
Seperti biasa, sentimentilnya keluar kalau udah nonton film-film inspiring dan based on true story kayak gini. Cukup untuk menguras dan memperkaya kembali hati

Saroo kecil mengingatkanku untuk selalu bersyukur..
Atas makanan dan minuman yang kapan saja siap aku santap tanpa harus mempertaruhkan nyawa. Atas waktuku bersama Bapak, Ibu, dan Kakak tanpa harus bekerja banting tulang siang dan malam. Atas kedua kakiku, yang meski tak bisa bermain basket lagi, tapi masih bisa berjalan dan mengantarku menuntut ilmu setiap hari.

Karena dunia yang begitu kejam yang dialami Saroo nyata di luar sana. Dan aku masih bisa menulis ini dari atas kasurku yang nyaman.

Entah film ini yang terlalu tulus atau aku yang terlalu cengeng. Adegan Saroo kecil berusaha meyakinkan kakaknya dengan mengangkat kursi dan sepeda di awal film sudah membuatku menangis seperti anak kecil hahaha


Sue mengingatkanku akan diriku, meski dengan alasan yang sedikit berbeda. Ia mengingatkanku akan sebuah pilihan yang merupakan keyakinan diri. Sue dan suaminya tidak memiliki kekurangan apa pun untuk menghadirkan anak kandung. Tapi mereka memilih untuk mengadopsi anak-anak tidak beruntung dari belahan dunia lain.

“Because we both felt as if the world has enough people in it. Have a child, couldn’t guarantee it will make anything better. To take a child that’s suffering like you boys were, give you a chance in the world, that’s something.”

Giving a chance in the world to a child.

Kalimat sederhana yang cukup masuk akal bagiku.


********

Terima kasih, Lion.

Friday, February 17, 2017

Mengunjungimu

Tanggung jawab di Jakarta telah selesai. Aku masih punya beberapa hari sampai tanggal kepulanganku.

Siang itu cuaca sangat menyenangkan. Matahari tidak terlalu terik, seakan-akan tau kalau hari ini aku akan datang berkunjung.
Entah apakah kedatanganku saat itu bisa disebut berkunjung.

Mengajak seorang kawan, hari itu aku datang ke Museum Taman Prasasti. Museum yang menyimpan banyak nisan dari orang-orang Belanda yang menyimpan sejarah. Hanya ada dua nisan orang pribumi di situ. Yang satu adalah nisan seorang perempuan penyanyi opera yang dikagumi orang-orang Belanda pada masanya. Yang satu, adalah tujuan utama aku datang.



Sekali lagi, entah apakah kedatanganku saat itu bisa disebut berkunjung. Museum itu hanya menyimpan nisan, bukan lagi tempat pemakaman. Tujuanku adalah melihat sebuah nisan dari seorang yang aku kagumi, dan kerap ku rindukan. Hanya nisan. Setelah dikremasi, abu dari jasadnya telah menyatu dengan udara sejuk Lembah Mandalawangi.

Suasana museum sangat teduh, dan sepi. Sengaja aku memisahkan diri dari temanku yang juga sedang asyik menikmati suasana museum sendirian. Setelah berkeliling di antara puluhan nisan, dari kejauhan aku melihat nisan dengan sebuah patung kecil di atasnya. Dari kejauhan aku sudah tau kalau itu nisan yang aku cari.
Saat itu terdengar adzan berkumandang dimana-mana.
Aku berhenti sejenak, bulu kudukku merinding, sungguh entah kenapa. Menarik nafas, kemudian kembali berjalan menghampiri nisan itu.
Aku berdiri di depannya, terdiam, entah, bingung, apa yang harus aku lakukan setelah akhirnya melihat langsung.
Kemudian aku berlutut memegang nisan itu. Tapi lagi-lagi aku bingung. Entah. Aku terdiam cukup lama sambil memandanginya.

Lalu akhirnya aku memutuskan untuk berdoa.
Semoga aku bisa sekuat kamu,
Semoga aku bisa terus memegang prinsip hidupmu, terus memperjuangkan sesama apa pun posisiku nanti,
Semoga negeri ini punya lebih banyak orang sepertimu,
Semoga kamu tenang di alam sana.


Dan begitu saja.
Begitu saja cukup untuk melegakanku.
Kemudian aku pergi mencari temanku dengan perasaan bahagia.
Meski banyak di luar sana yang mengaguminya, memujanya,
Di luar kontribusinya untuk para pemuda negeri ini,
Aku akan tetap merasa bahwa mencintai kepribadiannya dan merindukannya sebagai seorang Gie yang sederhana, adalah milikku seorang.



Sunday, February 12, 2017

Beberapa Orang Hanya Butuh Tempat Bercerita

Suatu siang yang terik, di bawah flyover di tengah-tengah pekerjaan backfilling stasiun MRT kawasan Jalan Sudirman, seseorang menceritakan pengalamannya selama bekerja beberapa bulan di dunia kontraktor. Ada cerita yang manis, banyak juga yang bernada negatif. Cerita dimulai dari proses seleksi pekerjaan, keluh kesah tekanan dari atasan, hingga berujung saran-saran. Aku adalah salah satu orang yang menjadi pendengar cerita-cerita itu.


***


Angin bertiup cukup kencang. Namun udara yang dingin tidak menghambat pekerjaan pengaspalan malam itu. Seorang laki-laki yang sebelumnya memintaku datang pukul 11, menghampiri dan mengajakku berkeliling melihat proses pengujian aspal. Setelah itu kami berdiri mengawasi proses penghamparan aspal berlangsung. Diawali dengan basa-basi, ia mulai menceritakan pengalamannya bertugas di bawah pimpinan orang yang keras. Meski beberapa kali menampakkan raut muka yang kesal, toh akhirnya ia bercerita dengan tertawa. Mungkin tawa itu adalah bentuk penerimaan atas segala dinamika pekerjaannya.


***


Awalnya ia memberi penjelasan tentang bagaimana mesin bor itu bekerja. Aku memperhatikan sambil sesekali melontarkan pertanyaan ketika mesin-mesin itu bergerak. Namun lama kelamaan, kami berganti topik. Ia mulai menceritakan pahit manis selama mengawal pekerjaan tunnel. Sesekali pengalaman-pengalaman lucu ia selipkan, sambil geleng-geleng kepala tak habis pikir sendiri. Beberapa keluh kesah yang tak tertahankan juga sempat ia sampaikan. Di tengah-tengah mesin bor yang bekerja di bawah Jalan Sudirman, dengan keringat yang terus mengucur karena suhu yang amat panas, siang itu aku menyimak dan sesekali tertawa bersama cerita-ceritanya.


***


Kejadian-kejadian di atas baru segelintir dari banyak keluh kesah orang-orang proyek padaku. Selama kerja praktek, banyak sekali cerita yang aku dapatkan dari mereka.
Mungkin tanpa mereka sadari, kehadiran anak magang sebagai orang luar yang tau kondisi proyek, dianggap sebagai tempat yang tepat untuk bercerita.
Aku sama sekali tak merasa enggan atau keberatan dengan cerita-cerita mereka. Aku justru senang, karena selain jadi lebih tau kehidupan kerja yang sesungguhnya, paling tidak kehadiranku sedikit membantu (pekerjaan-pekerjaan teknis yang aku lakukan sepertinya tidak cukup membantu hahaha).
Selain itu, aku juga jadi tau, di tengah-tengah dunia kerja proyek yang keras dan melelahkan, ternyata mereka masih punya sisi humanis hehe

Karena di tengah kepenatan, beberapa orang hanya butuh tempat bercerita.


Friday, January 20, 2017

Curhatan Tujuh Belas Hari di Ibukota

Sudah tujuh belas hari aku menyelami ibukota.
Dengan alibi Kerja Praktek yang idealis demi mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya, jauh-jauh dan mahal-mahal aku pergi ke Jakarta untuk sebuah mega proyek MRT Jakarta.

Bekerja di site selama kurang lebih dua minggu sudah mengajarkanku banyak sekali hal penting.
Dari sisi teknis, tentu saja, proyek ini bukan proyek yang bisa dengan mudah dijumpai, pekerjaan tunneling dan stasiun underground tergolong baru, dan pekerjaannya cukup variatif dalam satu proyek.
Tapi bukan sisi ini yang ingin aku ceritakan, karena aku yakin akan terdengar membosankan.


Dari sisi lain aku belajar banyak hal.

Di lapangan, aku bertemu banyak sekali orang-orang baru.

Sejak awal, kami (aku dan dua temanku) memang terlalu diberi kebebasan, tidak diberi mentor tetap, sehingga keluar masuk site pun tak ditemani, dan tak tau siapa-siapa.
Kondisi ini memaksaku untuk menjadi mahasiswa magang tolol yang sok kenal pada orang baru. Tentu saja agar aku bisa dapat informasi dari mereka. Ah, aku bisa membayangkan benak para QC ketika awal bertemu denganku. Aku langsung sok akrab, "memaksa" mereka untuk bersedia ku ikuti kemana pun mereka pergi.
Tapi ku pikir memang harus begitu. Sudah jauh-jauh merantau, masak aku tak dapat apa-apa? Akhirnya, setelah beberapa hari "memaksa" untuk akrab, mereka pun mulai bisa menerima kami, dan pekerjaan menjadi lebih menyenangkan (paling tidak bagiku, gatau deh untuk para QC hahahaha).
Jadi, ya, kadang kebodohan dan sok kenal sok dekat itu perlu. Jangan takut dianggap tolol, karena untuk menjalin sebuah relasi dan meruntuhkan "awkward moment" sepertinya memang diperlukan ketololan sok akrab yang konsisten hahahaha.


Oiya. Di site, semuanya laki-laki. 
Kalau Anda wanita dan bekerja di tengah-tengah pekerja-pekerja proyek, berbagai macam "sapaan" pasti akan Anda terima. Awalnya aku langsung punya kesan buruk terhadap mereka. Maksudnya, yah semacam stereotype bahwa mas mas tukang yang tidak berpendidikan kebanyakan pasti punya attitude yang buruk.

Tapi setelah mencoba berinteraksi dengan mereka (dalam rangka pengen tau apa yang mereka kerjakan), ternyata pandanganku salah. Mereka ramah dan merasa dihargai ketika aku menanyakan tentang pekerjaan yang mereka lakukan.
Bahkan ada satu orang pekerja yang cukup sering berinteraksi denganku, yang ternyata luar biasa baik. Ia memang bukan orang yang mengenyam pendidikan, tapi aku tersadar, sikap baik dan keramahan sudah cukup untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain.

Sejak itu, aku berusaha menyapa semua orang yang aku jumpai. Tak peduli warna helm dan peran mereka dalam pekerjaan. Mereka toh senang, dan percayalah, "sapaan-sapaan" ke perempuan yang mungkin kadang dianggap orang tak sopan itu pun menghilang. Karena aku menyapa mereka duluan, paling tidak dengan senyuman.



Wah, banyak ya curhatannya.
Ini baru Kerja Praktek. Baru dua minggu. Belum nanti kalau beneran udah kerja ya hehe.

Here's to many more days to come!

Tuesday, January 17, 2017

Selamat tidur, Ego

Terkadang kamu hanya perlu menaruh egomu di rak buku kesayangan,
Berhenti menjawab pertanyaan dari diri sendiri,
Dan membiarkan orang-orang yang kamu sayangi membukakan tutup botol air mineralmu.

Bukan karena kamu tidak tahu caranya,
Bukan karena kamu tidak kuat membukanya,
Tapi justru karena kamu terlalu sering melakukan,
Hingga terkadang sesak memanfaatkan.

Kesesakkan akan memberikan satu botol penuh air mineral itu kepada egomu.

Kamu pasti pernah dengar,
Hubungan baik antar manusia ada ketika kamu berhenti memelihara ego.

Ah tapi bukan itu intinya.

Aku hanya ingin memberi tahu,
Mencari bahagiamu di tengah sesak akan lebih mudah ketika egomu kau biarkan bercengkerama bersama buku-buku kesayanganmu, atau lagu-lagu favoritmu, atau film-film kesukaanmu.
Hanya sementara waktu.

Menjadi yang bisa bukan berarti menjadi yang selalu bisa.
"Di dalam hidup ada saat untuk berhati-hati atau berhenti berlari."


Bahagiamu akan datang jika kamu mengizinkan orang lain membantu.


Atau kalau masih enggan mengakui,
Anggap saja untuk menjalin pertemanan baik.


Selamat tidur, Ego.

Saturday, January 14, 2017

Musik Folk dan Manusia

Aku selalu menjadi sosok lemah di hadapan lagu akustik folk.
Mungkin karena folk dekat dengan manusia,
Lekat dengan keseharian dan kesederhanaan.
Dan kesederhanaan selalu mengingatkanku pada hal-hal sentimentil,
Hal yang bagiku amat sangat penting,
Hal-hal yang membuat perasaanmu bekerja,
Hal-hal yang, bagiku, membuat seseorang menjadi manusia seutuhnya.



Senyum yang selalu tersungging di wajah guruku di kelas 3 SD, setiap kami membaca buku dari perpustakaan kelas.

Kata-kata "ya hargain orang lain to ya..." yang diucapkan pelatih silatku di atas motor saat ia mengantarku pulang dari pertandingan terakhirku di SMP.

Uluran tangan seniorku yang tampan, mengajakku melakukan toss setelah aku melakukan fake shot dan memberinya assist saat latihan basket pertamaku di bangku kuliah.

Tulisan-tulisan Gie yang begitu indah, romantis, namun tak jarang tajam menusuk hati.

Sebuah pagi sederhana di garis pantai Kampung Warbor, saat pertama kali aku melihat segerombol lumba-lumba berlompatan di laut lepas.

Buku-buku terjemahan yang menceritakan kehidupan keluarga orang-orang kulit putih.

Kisah tentang berbagai peran kancil yang kerap didongengkan Mbah Uti saat aku berlibur di rumahnya.

Kehadiran Bima di sampingku, memastikan aku selamat sampai rumah, saat aku berjalan pulang sendirian di malam hari.

Ucapan dan apresiasi yang begitu tulus dari orang-orang, saat video tim KKN-ku dirilis. 

Malam di mana telfon rumahku berdering, dan di sebrang sana Bapak mengatakan "Mbah Kakung meninggal, kamu di rumah ya..."

Suatu siang yang terik saat aku berjalan di sebuah gang yang dipenuhi oleh guru-guruku, dan di ujung jalan itu, untuk pertama kalinya aku bertamu ke rumah almarhum Pak Edi untuk mengucap salam hormat terakhirku.

Isak tangis ibuku saat berlarian di koridor rumah sakit, mengejarku yang tak mau masuk ruang operasi.

Mimpi-mimpi yang ku tulis di buku kecil, yang entah bagaimana, sudah mulai terwujud.

Tangis Bapak dan Ibu, dalam dua telfon yang berbeda, saat pertama kali aku mendapatkan sinyal setelah satu minggu hidup di Papua.

Pelukkan Mama dalam diam, namun begitu erat dan lama, di malam terakhir tidur di rumahnya.

Pelukkan terakhir Bapa yang sambil mendekap, terus menasehatiku untuk berhenti menangis dan mengatakan semua akan baik-baik saja.

Kehadiran keluarga, sahabat, guru, seorang yang disayangi, ibu-ibu yang menyapa di antrian bank, driver ojek online yang mengajak bercerita kisah hidup, tukang sayur yang menanyakan kabar setiap pagi, dan siapa pun yang pernah mengisi sela-sela hidup dan jiwa tanpa disadari.



Bagiku hidup manusia bukanlah hidup jika tidak bisa merasa.
Karena yang membuat kita hidup, adalah jiwa yang kaya.
Dan jiwa yang kaya, datang dari orang-orang yang punya rasa dalam menjalani kehidupan.
Orang-orang yang menghargai kehidupan.
Orang-orang yang paham bawah hidup bukan hanya tentang bertahan hidup.
Bahwa hidup juga berarti memperhatikan sekeliling, peka terhadap lingkungan, dan mengambil maknanya untuk dipikirkan, dipahami, lalu ditabung di dalam hati.
Investasi untuk prinsip hidup dan pola pikir di masa depan nanti.

Karena kalau tidak begitu, apa bedanya manusia dengan mesin dan robot?
Tony Stark saja tak tahan menjadi robot, memilih menyerah dan kembali pada hasrat sebagai manusia yang mempunyai rasa.


Lalu,
Kembali ke musik folk.


Bukan kah memang itu tujuan folk diciptakan?
Untuk mengingatkan manusia pada kesederhanaan hidup dan perasaan?
Untuk menampar keangkuhan manusia dan membawanya kembali memeluk bumi?


Ah.
Aku rasa memang begitu.
Mungkin aku terlalu angkuh,
Dan kadang lupa memeluk bumi.

Thursday, January 12, 2017

Jakarta, Kita, dan Lagu Banda Neira

Pagi itu aku terbangun dengan sebesit kaku
Perputaran roda mobil di kota besar sama sekali berbeda dengan kayuhan sepedaku
Berulang kali mencari, lagi-lagi tak pernah kutemui
Alasan kenapa berada di tengahnya cepat membuatku lelah
Dan rindu rumah
Iyakah diriku lemah?
Rasanya pernah tinggal di antah berantah
Dan ku nikmati dengan begitu lumrah

Seperti hatimu, dan lagu Banda Neira
Entah berantah yang menyesatkan, kata Rara
Tapi seratus persen nikmat tak tersaru lara
Aku bahkan tak perlu erat berpegang
Karena tau kau selalu berikan terang
Tapi akhirnya aku sepakat
Berujunglah ke tanda tanya yang pekat

Untungnya bahagia selalu menjawab
Karena sesungguhnya,
Hidup manusia hanya mengejar bahagia, bukan?