Wednesday, December 24, 2014

Inside the Pocket of Your Ripped Jeans

Loving can hurt, loving can hurt sometimes
But it's the only thing that I know
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It is the only thing that makes us feel alive



Loving can heal, loving can mend your soul
And it's the only thing that I know, know
I swear it will get easier,
Remember that with every piece of you
And it's the only thing we take with us when we die


We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Hearts are never broken
And time's forever frozen still

So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me closer 'til our eyes meet
You won't ever be alone

And if you hurt me
That's okay baby, only words bleed
Inside these pages you just hold me
And I won’t ever let you go
Wait for me to come home

You can fit me
Inside the necklace you got when you were sixteen
Next to your heartbeat where I should be
Keep it deep within your soul

When I'm away, I will remember how you kissed me
Under the lamppost back on Sixth street
Hearing you whisper through the phone,
"Wait for me to come home."


Photograph - Ed Sheeran.




You look so wonderful in your dress
I love your hair like that
The way it falls on the side of your neck
Down your shoulders and back

We are surrounded by all of these lies
And people who talk too much
You got the kind of look in your eyes
As if no one knows anything but us


You look so beautiful in this light
Your silhouette over me
The way it brings out the blue in your eyes
Is the Tenerife Sea

And all of the voices surrounding us here
They just fade out when you take a breath
Just say the word and I will disappear
Into the wilderness

Should this be the last thing I see
I want you to know it's enough for me
'Cause all that you are is all that I'll ever need

I'm so in love, so in love
So in love, so in love

Lumière, darling
Lumière over me

You look so wonderful in your dress
I love your hair like that
And in a moment I knew you, Beth



Tenerife Sea - Ed Sheeran



Jadi ceritanya baru dengerin albumnya Ed Sheeran yang "X" pake headset panasonic super yoi malem-malem. Dan yaa dari dulu emang headset satu ini paling jagoan. Suaranya bersih sekali, jadi kebawa suasana lagu-lagunya.

Saya baca satu-satu liriknya. Dua lirik di atas ini rasanya sederhana namun manis sekali.

Penyusunan alur, tema lirik, dan pemilihan kata-kata lagu-lagu Ed Sheeran sangat mengingatkan saya pada gaya lirik lagu-lagu Jason Mraz, si tukang bikin lagu over productive favorit sepanjang masa. Ditambah detil-detil sederhana yang menguatkan, lalu makna-makna tersirat yang sengaja dibuat agar susah dipahami, wah mirip sekali mereka ini. Mungkin yang sedikit membedakan, milik Ed Sheeran terdengar lebih lugas.

Ah, sepertinya saya menemukan satu lagi penyusun lirik jagoan!



Thursday, November 13, 2014

Menuntut Ilmu, Menuntut Bahagia

Mahasiswa tapi masih gini-gini aja.
Mahasiswa katanya.
Namun mana nyatanya.

Saya sedih.
Tiga semester sudah, saya merasa perkuliahan tak seperti yang saya bayangkan.
Jauh.
Saya kira seorang mahasiswa sarat nafsu akan ilmu, belajar karena ingin tahu.
Nyatanya sama saja orientasi hanya pada IP bagus.

Saat semester satu, saya masih menikmati belajar karena ingin tahu. Meski nilai tak bagus-bagus amat, juga tugas melimpah ruah hingga tak tidur dan jarang makan, saya merasa senang menjalaninya. Saya bahagia karena mendapat ilmu yang konkret, yang bisa saya terapkan di kehidupan nyata. Setiap pulang kuliah, saya dengan menggebu-gebu akan menguliahi orang tua di rumah tentang ilmu yang saya dapat di kelas. Sungguh menyenangkan.

Namun lama kelamaan saya termakan sistem.
Entah kenapa saya menyadari kegiatan perkuliahan serasa tak menyenangkan lagi karena kebanyakan teman-teman saya melakuka hal sebaliknya. Semua orang berlomba-lomba mendapat nilai bagus. Sistem yang ada di kampus seperti mengarah ke ujian, bukan pada pemahaman ilmunya. Dampak umumnya, ya mulai dari permahaman mahasiswa yang nol besar sampai ke menghalalkan segala cara untuk IP cum laude. Dampak untuk saya, sekarang setiap saya menikmati menyerap ilmu dalam perkuliahan namun akhirnya nilai saya kalah dengan teman-teman lain yang mengejar nilai, saya jadi merasa gagal, merasa bodoh, merasa kalah, meski saya tahu yang saya rasakan ini salah. Namun apa daya jika lingkungan mengarahkan saya untuk berpikir begitu. Ketika nilai saya bagus pun, saya juga tak lagi bahagia. Saya tak lagi menikmati indahnya menyerap ilmu.


"Tolong perhatikan baik-baik karena ini pasti keluar di ujian."

Ah, kalimat sederhana, namun kerap diucapkan. Rasa-rasanya, karena terlau sering terdengar, kalimat sederhana ini jadi mendoktrin kami.

Saya tak mengatakan saya rajin atau pun cerdas. Hanya saja saya sedih dengan sistem ini.

Dan lebih sedih lagi,
karena saya belum mau berbuat apa-apa,
masih tergilas roda.

Tuesday, October 7, 2014

Hitung Bulan, Tahun, Entah

Saling tahu
Tapi saling menjaga kata
Saling mengerti
Tapi saling menjaga sikap

Seandainya ujar lubuk bisa berkelana sendiri
Seandainya ujar lubuk bisa saling bersapa
Tanpa harus meminta izin pikir untuk berucap

Sungguh kami ini dibatasi batas
Apalah batas ini
Setelah kupikir-pikir batasan ini konsep yang bodoh
Pemikiran akan batas mengatur kami, memaksa kami bersandiwara
Padahal saling tahu jati diri sebenarnya

Sandiwara ini bodoh
Tapi memang harus dijalani
Sampai batas runtuh
Atau buruknya, sebelum itu
Atau buruknya, ketakutanku terjadi lebih dulu
Sampai salah seorang menyerah, menghapus rias di wajah, dan turun panggung

Mungkin belum terjadi,
Namun rasanya hampir pasti terjadi
Suatu hari nanti
Bukan hitung hari, melainkan bulan, tahun, entah


Aku takut

Sunday, September 7, 2014

Permulaan yang Baru

Sepatu sudah berjalan jauh. Empat tahun sejak terakhir ia berhenti.
Ia selalu berjalan, tak jarang berlari, menggores badannya sana-sini.
Mana kenal ia lelah, meski dihajar susah.
Tak mau lagi ia banyak berhenti.
Tujuannya hanya satu.
Menyelesaikan perjalanan.
Entah berujung dimana.

Suatu ketika diguyur hujan. Hujan yang tak biasa. Hujan tak pernah dirasa.
Basah.
Dingin.
Berat.
Ia tak lagi berlari. Namun masih berjalan. Terus.

“Halo.”
Matahari menyapa.
“Halo juga.”
Sepatu membalas tanpa toleh dan henti langkah.
Masih berjalan. Terus.
Terus.
Sampai basah musnah.
Sampai dingin menyingkir.
Sampai hangat.
Sepatu berlari. Lagi.
Lama.

Lalu ia berhenti. Benar-benar berhenti. Sudah kubilang ia tak pernah berhenti sejak lama.
“Kenapa berhenti?” Matahari bertanya.
“Terima kasih.”
"Kenapa berhenti?"
“Aku ingin berterima kasih.”
“Ya. Lalu kenapa berhenti?”
“Mungkin aku tak ingin jalan lagi. Mungkin aku ingin disini. Berhenti. Denganmu.”
“Siapa bilang aku tak bersamamu jika kamu berjalan?”
“Sungguh?”
“Sejak dingin itu.”
“Selama ini?”
“Ya.”

Sepatu kini tau ia tak harus berhenti.

Satu langkah.
Dua langkah.
Ia lanjutkan perjalanannya.




“Ini permulaan dari perjalanan yang panjang, kita kan berjalan menuju tempat yang baru...” - Permulaan yang Baru



*credit to Jebraw and his song "Permulaan yang Baru"

Sunday, August 31, 2014

Tulisan di Sudut Layar

seorang anak kecil menangkup setangkai bunga dengan kedua tangannya. masih hidup.
berdiri di antara batas harapan dan kenyataan. harapan ingin semua hidup dengan saling menggenggam. kenyataan hanya ada tanah lapang dengan mesin-mesin menerkam.
dia berjalan, ke asal.
menyeruak di antara kerumunan penunduk
maya dan nyata tinggal sebatas jendela
tapi di tangannya ada hidup yang menunggu
"bawa apa kak?" tanya anak kecil yang masih menengadah
"ini hidup."
"bukannya itu bunga kak? kok dibawa-bawa?"
"iya ini bunga. satu."


Tulisan yang sudah sejak lama ada di desktop laptop bersama note-note penting organisasi.
Entah apa maksudnya, tapi banyak orang menilai tulisan ini dalam.

Sayang, bukan aku penulisnya.

Saturday, August 30, 2014

Meski Bangsa Justru Memangsa

Kalau besok punya anak
Ku biarkan ia pilih citanya
Ingin jadi apa aku rela
Asal ia tak lupa bangsa

Tapi harus ku jawab apa
Jika ia cinta lapangan bola
Ingin jadi pesepak bola
Ah aku jadi tak tega

Menggiring bola di Indonesia akan susah
Bahagia dengan siap tak berupah
Ku tau larinya kan gagah,
Namun tak mau hidupnya terengah

Haruskah ku paksa ia berhenti mencinta?
Memilih jalan hidup lainnya?
Atau kubiarkan ia mengejar cita?
Tersenyum bahagia,
Meski bangsa justru memangsa.


Sebenarnya aku menulis ini di mobil ketika mengobrol dengan keluarga. Kenapa begitu banyak pekerjaan yang tak dihargai di Indonesia. Aku tau untuk mengubahnya adalah tugas kita semua, dan merupakan perjuangan yang akan panjang tak bisa terselesaikan dalam satu dua generasi saja. Namun bagaimana perasaan seorang ayah dan ibu jika anaknya mencintai sesuatu yang tak dihargai bangsanya. Kebahagiaan anak pasti tak terkira nilainya. Namun akan hidup dengan apa jika pekerjaan tak dihargai bangsanya. Godaan untuk keluar pasti besar. Tidak mau khianati bangsa ini, karena mencintai Indonesia. Namun juga tak tega membayangkan anaknya terseok-seok, karena mencintai anaknya.

Ah masalah orang dewasa memang pelik.

Mungkin aku akan kembali ke masa kecil saja.
Kembali menendang bola sepak dengan bahagia.

Tuesday, August 19, 2014

I Will Always Do

There are places I remember
All my life though some have changed
Some forever not for better
Some have gone and some remain
All these places have their moments
With lovers and friends I still can recall
Some are dead and some are living
In my life I've loved them all

But of all these friends and lovers
There is no one compares with you
And these memories lose their meaning
When I think of love as something new
Though I know I'll never lose affection
For people and things that went before
I know I'll often stop and think about them
In my life, I love you more

In My Life - The Beatles


Saya sudah merasakan bagaimana ketika kehidupan memberi saya sebuket bunga yang wangi, lalu tiba-tiba menampar pipi saya dari samping. Saya sudah mendatangi ribuan tempat yang membuat saya terpana akan keindahannya, atau menahan sesak karena kesenduannya. Saya sudah mengenal banyak orang, lawan jadi kawan, maupun kawan jadi lawan. Saya merasakan berbagai macam kebahagiaan, kasih sayang, dan cinta.

Sembilan belas tahun hidup di dunia, sepertinya sudah cukup bagi saya untuk membuat sebuah penilaian secara dewasa.


You are the most wonderful people I've ever known. Compared to even the most cherished of all of my life's memories,
Ibu, Bapak, I love you more.

Monday, August 18, 2014

Nanti

Sudah berhari-hari.
Saya sedang bingung akan banyak hal. Bingung sekali.
Saya tak marah, hanya kecewa pada diri sendiri.

Saya memang selalu bercerita. Kepada orang tua jika bahagia, dan kepada teman-teman jika berduka. Namun kali ini saya sadar, masalah ini hanya tentang saya. Saya melawan dunia saya. Hanya saya yang bisa mengerti, hanya saya yang bisa menyelesaikan.

Kali ini keluhan dalam tulisan pun tak bisa melegakan.
Saya ingin menjadikan sesuatu seperti yang saya inginkan.
Saya ingin ketololan ini segera terselesaikan.
Meski tak karuan, saya usahakan semua dengan senyuman.

Biar saya belajar hadapi sendiri.
Biar saya berjuang mandiri.
Jangan sampai menyerah, nanti.
Meski sungguh saya bersedih hati.

Saturday, August 9, 2014

Kira

Semua bahagia dengan segala pura.
Apa bahagia adalah bahagia jika sandiwara?
Aku kira akan berbeda.
Aku kira tak ada topeng.




Ternyata sama saja.

Kembali hidup seperti dulu.


Sampah.

Friday, August 8, 2014

Seorang Laki-laki dan Bahagianya

1945.

Dua malaikat sedang duduk di bawah pohon asam jawa di halaman sebuah rumah sederhana yang sedang sedikit gaduh. Kelahiran.

"Dengar suaranya."
"Ya, sejuk."
"Ya. Semoga menjadi bagian dari laki-laki yang baik hidupnya."


***


1960.

"Lihatlah betapa sudah besar."
"Ya. Dewasa dan sederhana."
"Sopannya ia bertutur, pandainya ia mengatur."
"Tidakkah kau ingin memberinya hadiah ulang tahun?"
"Tentu, sudah disiapkan."
"Aku pun. Apa hadiahmu?"

Bocah itu sedang membantu ayahnya mencuci sepeda. Sepeda yang biasa mengangkut Suara Rakyat, Harian Umum, dan koran-koran lainnya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa hari itu, dua doa telah dihembuskan.

"Ia akan disenangi dan dihormati, atas ketulusan dan kesopanannya."
"Hidupnya akan selalu bahagia, dalam sebuah kesederhanaan."



*********


Tulisan fiksi ini terinspirasi dari seorang bapak pegawai harian Kedaulatan Rakyat yang setiap bulan datang ke rumah saya menyampaikan tagihan koran. Bapak yang tak saya ketahui namanya ini sudah tua, penampilannya sederhana sekali. Yang membuat saya terharu, bapak ini sangat sopan dalam bertutur kata. Sopan sekali, lembut, sama sekali tak dibuat-buat. Ia selalu tersenyum, tampak tulus melakoni pekerjaannya. Ia datang mengendarai motor tuanya. Setelah membayarkan tagihan, saya selalu menunggui bapak ini pergi hingga hilang dari pandangan saya. Kadang saya tak tega melihat ia menaiki motornya seorang diri.

Terima kasih, Pak.
Semoga Bapak senantiasa diberi kesehatan, dan kebahagiaan dalam kesederhanaan.

Wednesday, August 6, 2014

#marimembaca

Buku adalah jendela dunia bukanlah quote yang mengada-ada. Orang yang gemar membaca buku pasti berwawasan luas dan berpikiran terbuka.

Membaca buku itu seperti investasi. Hasilnya akan kamu petik kelak ketika hidup kamu jalani. Silahkan tanya Bung Hatta atau Soe Hok Gie jika tak percaya. Tanyakan pada tokoh-tokoh besar di seluruh dunia.

Saya sedih ketika adik-adik saya tak suka membaca. Saya sedih ketika gadget memangkas waktu intim manusia bersama buku, termasuk saya. Saya sedih ketika perpustakaan yang kerap saya kunjungi saat SD sudah tak ada. Saya sedih ketika orang-orang menganggap membaca buku adalah hal yang biasa saja dan wajar jika dilewatkan.

Saya hanya merasa, orang-orang yang jarang membaca buku benar-benar merugi dalam hidupnya.

Wednesday, July 30, 2014

Six-year-old me was scared of cockroach though

"You should be scared of something sometimes hahaha."

Those words came out of her mouth, a friend of mine. Meski tak diucapkan dengan serius, kata-kata itu keluar. Katanya, aku ini terkadang memang sangat membantu, karena aku bukan penakut. Aku jadi berguna ketika teman-temanku harus berurusan dengan darkness, insects, quiet places, stuff like that.

"Kamu takutnya sama apa sih? Kadang temen-temen di sekitarmu juga pengen jadi orang yang melindungi lho, boys especially. Udah jadi sifat dasar mereka kali hahaha."

Well, should I?

Ah, I don't think so. Kalo bisa melakukan sendiri, kenapa harus pretending something you're not?

Thursday, July 24, 2014

Some Tips to Enjoy Your Life

Tujuh hal menyenangkan tentang pantai dan sore hari yang tak direncanakan.
  1. Kejutan! Bangun tidur tanpa rencana, ternyata harimu berakhir disini. Cukup menyenangkan bukan?
  2. Sejuk dan hangat. Best weather ever! Si surya tidak menyengat kulitmu.
  3. Warna yang mengiringi matahari terbenam menyelimuti pantai, laut, tebing, dan langit. Bukan pemandangan yang bisa kamu lihat di depan rumah (kecuali rumahmu memang di pinggir pantai).
  4. Luas. Tidak akan kehabisan tempat untuk berjalan, mungkin sambil mengobrol. Sampai obrolanmu habis. Atau sampai matahari tenggelam.
  5. Jangan takut untuk berjalan menghadap ke belakang. Jangan tanya kenapa. Sometimes we need to do things for no reasons. It feels good not to think.
  6. Tempat yang bagus untuk menghabiskan waktu sebelum hari keramasmu tiba. Rambutmu akan pernuh dengan pasir, sedikit lengket karena udara yang mengandung air asin, dan tentu saja, acak-acakan.
  7. Hamparan bintang luas!



Parangtritis, 22 Juli 2014

Wednesday, July 9, 2014

Ngomong Soal Demokrasi

Kehidupan demokrasi di Indonesia sedang mencapai sebuah titik baru. Titik yang belum pernah kita alami sebelumnya. Antusiasme begitu tinggi, yang tak jarang berakhir di fanatisme.
Sungguh saya bukan ahli komunikasi apalagi politik. Saya hanya berbicara berdasarkan pengamatan dan pengetahuan dangkal yang saya miliki. Saya tak mengatakan kita tak seharusnya melewati fase ini. Mungkin saja ini memang salah satu langkah yang harus dialami untuk menuju demokrasi yang baik. Mungkin saja tidak. Saya tak tahu.

Saya hanya prihatin melihat fasilitas mengemukakan pendapat di era sosial media ini digunakan oleh masyarakat yang belum siap mengolah informasi. Bagi pengguna sosial media, suka atau tidak, anda akan terjebak dalam lingkaran fenomena ini. Kita belum mau mencerna dan menyaring informasi dengan baik. Dengan teknologi saat ini yang bisa dengan mudah menyebar informasi dalam satu kali klik, penyerapan informasi yang tak sempurna apalagi tak valid, sungguh bahaya.

Kita dengan mudah menyantap apa yang dihidangkan, tanpa mencari tahu bahan dasar yang digunakan. Kita belum mau mencari informasi, kita hanya menerima informasi. Kalo dikasih tau dan diberi, kita mau-mau saja. Toh sudah tersaji. Tapi untuk mencari tahu, kita malas. Mental seperti ini yang dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggung jawab, tanpa kita sadari. Sifat-sifat pengguna sosial media seperti kita, adalah sasaran empuk untuk menanamkan doktrin-doktrin yang melenceng. Dan ini terjadi benar-benar dengan cara perlahan, kita tak akan sadar. Bahkan saya yang sudah menulis seperti ini pun mungkin juga tak sadar telah terdoktrin sesuatu.

Lalu apa hubungannya dengan demokrasi?
Ya, dengan riuhnya pilpres kali ini, jelas saja berpengaruh. Menurut saya, ramainya black campaign tahun ini ya karena oknum-oknum penggiat black campaign tersebut sadar sepenuhnya bahwa kita ini pengguna sosial media bermental malas. Kita mangsa empuk. Tinggal bilang aja si A antek zionis, si B titisan hitler, si C keturunan genderuwo, kita mah iya iya aja hahaha, nggak separah itu sih. Meski tak semata-mata mengiyakan, namun karena kita tak mau mencari tahu informasi yang valid, sebenarnya secara tak sadar kita terdoktrin juga lho. Percaya deh. Soalnya saya juga gitu hahaha.

Lalu, karena hal ini sudah terjadi dan merembet kemana-mana, akibatnya jadi banyak. Informasinya simpang siur tapi asal disebarkan, membuat oknum sana dan sini geram. Jadi perang isu yang tak benar oleh kedua belah pihak tim sukses, ya jadi black campaign yang kalian lihat sehari-hari di timeline twitter itu. Yang tadinya tak ikut bermain, mau tak mau jadi ikut karena terlanjur masuk ke panggung. Akhirnya karena persaingannya tak sehat, perbedaan pendapat pun menjadi perpecahan.

Jadi, apa yang harus kita lakukan?
Menurut saya sih sederhana saja, mari rajin mencari tahu. Bukan demi kebaikan pihak tertentu, namun demi keobjektifan sebuah informasi. Kadang saya lebih memilih menghindari berita tentang sesuatu yang keobjektifannya meragukan, jika saya sedang malas mencerna dan menyaring informasinya. Hahaha mungkin ini cara yang salah. Anda bisa cari cara yang lain.

Ya intinya, bijak dalam mengolah informasi. Tak hanya dalam konteks pilpres saja, namun untuk segala urusan. Dampak kecilnya, agar kita semakin dewasa menghadapi peristiwa. Dampak besarnya, agar bangsa ini bisa berdemokrasi dengan cerdas.


Selamat berpendapat!

Sunday, July 6, 2014

Sampai ke Tanganmu

Bumi sedang sedikit pilu. Lelah susah payah menghadapi dunia. Ingin rasanya mengambil secarik kertas, dan menggoresnya disana. Bukan dengan kata, namun dengan kebiasaan lama. Membentuk imaji dengan pena dan warna.
Bumi tak pandai memilih warna. Mungkin guru seni rupa saat SMA yang tak pernah berhenti tertawa lebih tau caranya. Daripada berlama-lama, ia pikir sudah biar ingatan saja yang bekerja..



Bumi kecil bertanya pada ibunya,

"Apa langit luas memiliki batas, Bunda?"

Bunda hanya tersenyum.

"Ada indahnya mawar di langit fajar, dan mempesonanya jingga di langit senja. Batas hanyalah akal-akalan manusia. Jika awal hari fajar menemani dan lelah pulang disambut senja, masih sempatkah kau pikirkan batas, Nak?"

"Lalu, Bunda, mengapa keluk laut menyahut-nyahut membuatku takut?"

"Putihnya buih dan birunya deru penuh keseimbangan. Takut hanyalah akal-akalan manusia. Jika kuajarkan kau bahagia berkejaran dengan buih dan damai mendengar alunan deru, masih bisakah kau rasakan takut, Nak?"

"Jika hidup ini penuh akal-akalan, kelak ketika aku besar, bagaimana caraku menghadapi dunia, Bunda?"

"Setelah senja sebelum fajar. Jika saatnya tepat, tengadahkan kepalamu dan lihat warna kesukaan Bunda disana. Akan ada jutaan mereka menemani kita. Lebih baik lagi, mereka semua milikmu seorang. Tak akan ada yang bisa merebutnya darimu. Mereka akan tetap disitu, sampai kau selesaikan seluruh akal-akalan di dunia ini!", seru Bunda sambil tertawa.



Bumi tersenyum. Sudah terlalu lama ia tak duduk di tempat ini. Tempat dimana dulu percakapan seperti itu kerap terjadi. Tempat dimana ia biasa melihat langit luas, menyentuh buih ombak, dan mendengar deru laut. Bumi membaringkan tubuhnya, menatap kerlip bintang yang Bunda bilang miliknya seorang.

Ah, Bunda. Perempuan hebat yang tak sempat tersentuh dunia.

Aku bubuhkan senyum langit
Fajar mawar, senja jingga
Aku kuaskan tawa laut
Buih putih, deru biru

Tak lupa kesukaanmu
Warna bintang melawan petang

Ini kertasku
Namun tinta datang darimu
Ini caraku menghapus pilu
Tunggu saja sampai ke tanganmu

Friday, July 4, 2014

Saya di Mata Satya

Habis minta imdesc lagi! Hahaha saya jadi ketagihan nih, soalnya lucu bisa denger omongan temen tentang aku. Kali ini datang dari Satya, temen terhomo waktu SMA. Sampe sekarang masih tergolong sering ketemu sih, soalnya sefakultas. Masih main bareng juga ~


Dahlia Anggita Zahra itu nama sama kelakuannya (waktu SMA) ibarat serigala berbulu domba, bulu domba=nama, serigala=kelakuan, bukan female tapi Fe-male, cowok besi. Tapi pas udah masuk kuliah dia udah jadi domba berbulu domba (sejauh yang aku tau), udah jadi female. Dulu dicubitin biasa aja, sekarang sewot, mungkin ada korelasinya sama serigala menuju domba tadi.
Lia itu jago banyak hal, jago gambar, jago gitar, jago nyanyi, jago basket, jago nonton film (nonton film bisa jago?). Pokoknya kalo dah suka sama suatu kegiatan pasti jadi jago. Keren dah.
Lia tu juga satu2nya temen yang paling cocok kalo ngomongin film sama lagu, kayaknya seleranya sama gitu, asik dah.
"Iiiih berisik sat"
*pas dicubitin* "Ah apaan sih sat"
"kemaren aku abis liat *sesuatu yang keren* apik banget sumpah"


Fe-male............. Cowok besi............. itu istilah yang paling bikin aku mangap waktu baca imdesc-nya :)) Baru sadar juga, temen-temen SMA menggambarkan aku sebagai sosok yang garang banget ya kayaknya. Duh jangan pada salah paham ya, aku tak sepreman itu kok dulunya :'')

Thursday, July 3, 2014

Saya di Mata Midi

Mida atau yang biasa saya panggil Midi itu salah satu temen SMA saya yang easy going. Kita deket waktu kelas 2 gara-gara sekelas hehe. Barusan saya minta diimpersonate sama deskripsiin via akun ask.fm, terus gini nih jawabannya:

Dahlia Anggita Zahra aka Dahlia aka Lia aka DAZ aka Loi ini temen unyuuuuhku di XI IPA 5 :3
Awal-awal kelas 11 aku takut lho loi sama kamu, takut dijutekin sumpah :))) lha piye, anak basket, tomboy abis, anak KPZ bro, dolannya sama cowok2, dolannya sama yayuk......
Entah ya sejak kapan aku mulai sering nggodain trus sering meluk-meluk loi (loi orang kedua yang enak dipeluk setelah yiyik {}) mungkin karena XI IPA 5 ncen isine wong-wong koplak macem lalay, ipoy, goci *nama disamarkan* jadinya kita semua cepet akrab~
Jaman SMA kayaknya nggak pernah deh liat loi rambutnya panjang, pasti selalu pendek paling mentok sepundak lebih dikit. Hobinya pake jaket biru dongker bahannya agak klunyur (masih sering dipake nggak?), pake headset nyetel lagu, duduknya ongkang-ongkang. Sekarang katanya berubah 180 derajat ya, jadi feminin gituuu rambutnya panjang gituuu bajunya yang kembang-kembang gituuu :)))
Loi tu lucu, geng molusca bareng sama onyest, asik diajak hang out, suka ngajakin aku nonton yg gratisan :")
Loi itu walaupun dia mainnya sama anak-anak koplak yg kelakuannya nggak toto, aku ngeliat loi sebagai cewek yang dewasa, tegas, nggak mencla-mencle, bertanggung jawab, dan apa adanya :)
"oposih Mid"
"Midiii"
"oposih Mid"
"oposih Mid"
hhhh yg kuinget cuma nada bicaramu pas ngomong "oposih mid" :(
**bonus pap pas kita ngerjain proyek akhir kelas EC bareng terkesima~ loi yang melolok itu btw :/

*fotonya nggak saya post soalnya aib hahahahaha*

Lucu juga ya liat pribadi kita dari kaca mata orang lain. Terima kasih atas aib dan pujiannya Midi!

Satu Dua Tiga Empat

Terduduk aku
Tau rasa awal surya dijemput
Tiga susah empat payah mengejar
Toh Penjemput punya kuasa besar

Segala yang tak dari hati
Kini aku jadi mengerti
Kerapnya kubohongi diri sendiri
Rusuk berkata manis
Tengkorakku menggeleng sinis

Memetik jerih payah mudah
Air kebaikan bukan aku yang menyiramkan
Tanah kesabaran bukan aku yang memupukkan
Entah siapa menanamkan
Satu langkah dua mudah kupetik sudah

Sungguh aku ini tak berbuat apa-apa
Hanya dusta kuteriakkan pada kaca




Wednesday, July 2, 2014

Kinda Reflects Me

"I love my simple v-neck t-shirts under a comfy sweater that hide all of my unflattering lumps. I love my simple jeans and Converse. I love my simple hair after spending only ten minutes straightening it. I love my simple fingernails that I can bite when I get anxious. Does this make me any less of a woman? Does this make all of my personal and professional achievements any less significant? Does this make me any less capable of accomplishing anything?"

source: http://thoughtcatalog.com/


Well, I like being weird, I have nothing to regret, people love me, there's nothing to worry about. I'm totally proud to be me! :))

Monday, June 30, 2014

Saya di Mata Yayuk

Jadi, Yayuk ini adalah salah satu sahabat tercentil saya sejak SMA. Terus barusan saya minta dia untuk mendeskripsikan dan impersonate saya di akun ask.fm. Saya sampe ngakak sendiri waktu baca deskripsi dari dia, jadi kangen dia dan kehidupan SMA hehe. Ini dia imdesc-nya:

mau banget tak imdesc loi? wkwk. Oke, Dahlia Anggita Zahra, nama yang sangat wanita, cocok buat nama anak kecil cewek mungil nan imut. Tapi kenyataannya yg punya nama ini 1/4 cewek sisanya cowok, badannya gempal ginak ginuk kaya jelly, cino jowo, mainannya bola basket, kelakuannya naudzubillah. Gini-gini nih ternyata dia mantannya teman-ganteng-yang-sekarang-di-UK-target-bribikanku-yang-failed, sungguh aku meremehkanmu loi.
Lia aka Daz aka Loi (bacanya Ngooooiiiiii) ini anak event banget, eksis, kayaknya sampe kuliah sekarang masih eksis sampe2 dibribik sama kakak angkatan uwuwuwuwuw :)))) Sekarang secara fisik beda banget kaya dulu, lebih wedok, rambutnya panjang, ah pokoknya gitulah. Jarang-jarang dia cerita soal cowok, sampe sempat aku meragukan kewanitaannya. Tapi semua keraguanku terjawab waktu kita mandi bareng hahahalol
Loi itu tukang bully, jahat banget apalagi sama aku, bullynya fisik sama psikis :"( tapi sebenernya baik, rumahnya sering jdi basecamp, bapak ibuknya juga baik, kenal sama tetanggaku yang namananya Pak Agus. Kalo aku ke rumahnya mesti topiknya Pak Agus wkwkwk. Loi dulu pernah cidera lutut gegara basket, dan seenggaknya dia jadi lebih diem dikit.
Lia itu wanita tangguh, wanita perkasa, tapi sebenernya juga fragile. Kapan itu lupa, dia pernah nangis, trus aku bingung harus ngapain habisnya dia yg biasanya ngepuk-puk-in temen2nya yg galau, sok bijaksana gitu. pokoknya Lia itu wanita kuat. udah gitu aja yaaa haha. micu micuuuu :*
"heh yayuukk"
"aaaeaaeaeaeaea" *ngerengek2 ala loi*
"dasar tante tante"
pokoknya cara ngomongnya jahat, antagonis gitu, aku gk bisa niruin soalnya aku lemah lembut
#foto dari kiri: Loi, Rapunzel, Dhevimbul





Itu foto waktu kelas 3 SMA hahaha
Ahhhh. Rindu rindu rindu rindu hal-hal kecil yang kita lakukan waktu SMA dulu! Nih aku kasih foto jaman kelas 1!

Aku, Dhevi, Yayuk.

Friday, June 27, 2014

19 Hal Ketika Saya Bercermin


  1. Nggak suka ke mall. Bukan terus benci dan anti, cuma kadang nggak nyaman aja.
  2. Suka ngomong pake bahasa inggris sendirian.
  3. Belum pernah menyontek selama ujian di perkuliahan.
  4. Percaya semua bentuk keburukan memang harus ada di dunia dan ga bisa dihapus. Somehow saya percaya usaha kita hanya untuk menyeimbangkan dengan kebaikan, bukan menghapuskan.
  5. Suka jatuh cinta sama tokoh fiksi. Waktu SD saya pernah menulis "Lia love Conan love Brian O'Connor" di meja sekolah pake correction pen.
  6. Waktu SMP-SMA tomboy sekali. Dari kecil sih sebenernya. Rambut pendek, cara jalan, cara ngomong, dan temen main saya cowok-cowok. Jadi, yang ngejekin saya kayak cowok di kuliah ini, saya yang sekarang udah jauh lebih cewek lho hahaha
  7. Punya 6 panggilan. Lia, Jeng, Daz, Loi, Kakak, dan Dahlia. Official name-nya sih Lia. Kalo Jeng, cuma ibu yang manggil kayak gitu, dulu atas permintaan almarhum mbah kakung. Lalu waktu SMA muncul nama Daz (diciptakan oleh Akib), Loi (diciptakan oleh Betet), dan Kakak (diciptakan oleh Nana). Dan di kuliah ini muncul Dahlia (senior yang manggil, nggak bisa protes kalo yang ini). Sampe sekarang orang-orang masih keukeuh manggil saya sesuai pendiriannya masing-masing.
  8. Pernah dapet nilai biologi terendah seangkatan waktu kelas 3 SMA. Nilai saya 46.
  9. Suka banget sama anak kecil. Suka. Banget. Gila, kalo sama anak kecil saya nggak bisa nahan untuk nggak nggodain, nyubitin, atau sekedar ngomentarin.
  10. Punya mimpi hidup di Indonesia Timur diumur 40.
  11. Selalu cerita apa pun aktivitas dan kegiatan sama orang tua terutama ibu, tapi nggak pernah bisa blak-blakan tentang sesuatu yang sentimentil atau menyangkut perasaan.
  12. Nggak pernah nggak remedial Kimia waktu SMA.
  13. Masih trauma gempa. Setiap kali ngerasa ada getaran/goyangan, yang kadang bahkan hanya disebabkan oleh detak jantung saya, saya langsung was was dan melihat ke lampu gantung terdekat (lampu gantung adalah indikator gempa buat saya). Yup I'm that paranoid. Terus kalo ada di suatu tempat, saya langsung melihat sekeliling mencari dimana kira-kira saya bisa berlindung jika terjadi gempa di tempat itu.
  14. Waktu SD, SMP, dan SMA selalu pernah masuk ruang kepala sekolah dan "dimarahin".
  15. Nggak percaya kebetulan.
  16. Risih sama orang yang menyisakan makanan. Ketika saya sendiri sangat terpaksa harus melakukannya, saya pun juga nggak suka sama diri saya sendiri. Sodara kita banyak yang berjuang hanya demi butiran beras. Motifnya klise memang, tapi sungguh jika kalian sedang makan bersama saya dan menyisakan makanan, sebenarnya saya mbatin hehe.
  17. Bisa menikmati semua jenis olahraga dan semua jenis musik.
  18. Pernah mengalami kecopetan paling menyakitkan dan paling lama ikhlasnya. Waktu SMP, di bus kota. Padahal hape itu saya beli dengan uang hasil keringat saya sendiri ikut lomba waktu kelas 6 SD, seharga 2 juta waktu itu.
  19. Pernah dianter pulang sampe rumah sama penjual mi ayam depan sekolah waktu SD

Friday, June 20, 2014

Sebuah Perjalanan Tak Terencana

Setelah seharian di rumah, sore tadi saya memutuskan untuk melakukan hobi saya jaman SMA nganggur: muter-muter sendiri naik motor tanpa tujuan bersama block note dan kamera. Kalau pergi-pergi nggak jelas gini, biasanya saya ke arah selatan, daerah Bantul. Rumah saya kan di daerah utara, jadi kalau mau cari suasana baru ya seringnya ke selatan. Nggak sampai pantai sih, biasanya saya masuk-masuk desa gitu, mencari tempat-tempat sepi atau nyaman untuk menulis, menggambar, foto, atau sekedar melihat-lihat saja.

Di perjalanan, saya masuk-masuk ke jalan desa yang sebelumnya sama sekali tak saya kenali. Iseng berhenti dipinggir jalan ketika melihat pemandangan masjid "terbakar". Sebenarnya asap berasal dari depan masjid, namun karena posisinya sejajar jadi terlihat seperti masjid yang terbakar.

Masjid yang "terbakar"

Ketika sedang asyik dengan masjid tadi, seseorang berteriak memanggil saya dari belakang.

"Kakak! Kakak! Kakak!"

Saya menoleh.

"Foto dong!"

Saya hanya tersenyum dan segera mengambil gambar mereka.

"Makasih, Kak!", katanya sambil tertawa, lalu pergi.

"Kakak! Kakak! Foto dong!"

Lalu saya melanjutkan perjalanan. Setelah keluar masuk desa-desa, berhenti lagi saya di pinggir ring road, di dekat masjid yang tadi.

Masjid Aceh Bantul

Ketika sedang asyik dengan masjid (lagi), sekelompok orang memanggil saya dari samping.

"Mbak, foto mbak!"

Saya lagi-lagi tersenyum dan mengambil gambar mereka.

"Pin BB-nya berapa, Mbak?" Saya hanya tersenyum meladeni mereka.

Lalu tiba-tiba seekor merpati melintas di atas kami. Sontak semua berteriak-teriak, berisik sekali. Mengingatkan saya pada masa kecil saya hehe.

"Woy! Woy!" Seakan merpati mendengar

Saya lanjutkan perjalanan, dan sampai di Pabrik Gula Madukismo. Saya tertarik berhenti disini karna rupanya sedang banyak aktivitas kereta lori pengangkut tebu di jalan menuju pabrik ini.

Bermain bersama lori

Berlari seperti lori

Tujuh pun datang dengan kepulan asap

"Wo... Keretanya berhenti...", ujar seorang ibu sambil menyuapi anaknya. Sayang, pemandangan perempuan bercelana pendek, sandal jepit, ransel, dan kamera lebih asing ketimbang lori yang kerap melintas di dekat rumah hehe

"Wo keretanya berhenti.."

"Hak!" 

Ketika lori tujuh berhenti, turunlah bapak-bapak tua yang saya simpulkan sebagai pegawai Pabrik Gula Madukismo. Si bapak memandangi saya, lalu menyapa dengan Bahasa Indonesia. Saya lagi-lagi tersenyum, menjawab sapaan bapak ini dengan Bahasa Jawa. Rupa-rupanya bapak ini ramah sekali. Dia kira saya mengambil gambar untuk keperluan skripsi. Ah bapak, saya tak setua itu. Kami berdialog dan sesekali tertawa menyadari impresi pertama sering tak sejalan dengan fakta.

Si kuning tujuh belas

Betapa tuanya si Kakek Lori

Yang akan kau seduh bersama tehmu nanti

Yang selalu terbatuk

Tujuh belas

Sampai jumpa lori tujuh belas..

Di lorong tebu yang berdebu

Tenang saja, selalu ada bel peringatan ketika lori akan bergerak


Tujuh

Senja menjemput

Sebenarnya ingin melanjutkan aktivitas ini hingga gelap. Supaya bisa berlatih mengambil gambar ketika gelap. Ah, bukan itu, terlalu intelek rupanya kata-kata saya. Sebenarnya saya hanya ingin melihat lampu-lampu lori beroperasi, itu saja. Namun karena janji saya pada diri sendiri untuk ada di rumah sebelum ibu pulang kerja, maka saya pulang dijemput senja.


Ah, sungguh, penutup hari yang manis. Lain kali saya akan melakukannya lebih sering.

Wednesday, June 18, 2014

Sepotong Kisah Lain Tentang Soekarno

Saya pernah menuliskan ini di tumblr saya dulu. Saya copy dari sebuah blog. Dan saya ingin tulisan ini kembali dibaca oleh orang-orang. Cukup panjang memang, tapi akan sangat sangat berarti bagi saya jika Anda yang berkunjung ke blog ini mau membacanya hingga tuntas. Agar kita tak lupa sejarah. Agar anak cucu bangsa ini tak lupa Bung Karno, apa yang ia lakukan untuk kita, dan apa yang ia alami di akhir hayatnya.


--------------------------------------------------------


Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”

Senyap.

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi. Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya.

Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:

Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.

Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).

Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.

Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.

Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.

Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!” Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali.

Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.

Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.

Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk

Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?

Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?

Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter.

Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.

Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.

Dibunuh Perlahan

Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.

Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat kematiannya.

Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.



sumber: http://www.edo.web.id/wp/2008/02/21/sepotong-kisah-lain-tentang-soekarno/

Tuesday, June 17, 2014

Tentang Sebuah Lagu

Saya suka sekali lagu ini. Baik liriknya maupun musiknya. Dan entah kenapa saya merasa benar-benar ditakdirkan bertemu lagu ini.

Dulu, hobi saya browsing-browsing lagu belum seperti sekarang. Dulu saya tak terlalu suka mendengar musik-musik yang tidak mainstream, malas mencerna hal baru.

Suatu hari saya buka tumblr dan melihat notifikasi. Banyak notifikasi masuk, namun entah kenapa saya memilih membuka tumblr orang ini. Sungguh saya tidak tau siapa dia, iseng saja, secara random saya buka tumblrnya. Rupanya orang ini adalah seorang surfer asal Argentina. Foto-foto pantai yang indah membuat saya terus membuka beberapa pages, dan disanalah lagu ini ada. Saya tak pikir panjang iseng saja langsung download. Padahal saya sama sekali tidak tau nama band-nya, apalagi judul lagunya. Jelas biasanya saya tak tertarik mencoba lagu baru yang asing, tapi yang satu ini saya juga tak tahu terpanggil apa.

Pertama mendengar, entah kenapa langsung jatuh cinta...


Look outside
It's already light and the stars ran away with the night
Things we're said, words that we'll try to forget,
It's so hard to admit
I know we've made mistakes
I see through all the tears and that's what got us here

If love is an ocean wide
We'll swim in the tears we cry
They'll see us through to the other side
We're gonna make it
When love is a raging sea
You can hold on to me
We'll find a way tonight
Love is an ocean wide

I'll stay right here
It's where I'll always belong
Tied with your arms
Days like this, I wish the sun wouldn't set
I don't want to forget
What made us feel this way
You see through all my fears
And that's what got us here

Love is an ocean wide enough to forget
Even when we think we can't


Thanks to The Afters for making this beautiful song happen...


ke Kanan dan ke Kiri

Sudah lelah, belum sempat belajar juga
Tadi sore mampir kesana
Tapi disana tak ada barang seorang
Entah kenapa jadi sedih
Benar-benar tak tahu kenapa sedih
Ya sudah
Berdiam diri disana
Duduk
Diam
Sepi
Sepi sekali
Hanya saya dan suara mesin kipas
Ia menemani, ia menggeleng
Ke kanan dan ke kiri
Seolah mencari teman
Ke kanan dan ke kiri
Untuk dia dan saya


Sunday, June 15, 2014

Sabar ya, Imajinasi

Hold your breath
Make a wish
Count to three

Come with me
And you'll be
In a world of
Pure imagination
Take a look
And you'll see
Into your imagination

We'll begin
With a spin
Traveling in
The world of my creation
What we'll see
Will defy
Explanation

If you want to view paradise
Simply look around and view it
Anything you want to, do it
Wanna change the world?
There's nothing
To it

There is no
Life I know
To compare with
Pure imagination
Living there
You'll be free
If you truly wish to be


- "Pure Imagination" from Willy Wonka & the Chocolate Factory


Baru sadar juga gara-gara obrolan dengan seorang teman.
Di duniaku yang baru, kadang memakai imajinasi sembarangan aku dibilang aneh. Sebenarnya aku tak pernah tersinggung, hanya saja jadi terbiasa menyimpan imajinasi karena "tuntutan" lingkungan.

Dulu di Jubah Macan, imajinasi terliar pun dianggap normal. Aku bisa melakukan apa saja, hal-hal yang mungkin tak hanya membuat orang berkata "aneh" namun juga "gila". Menyanyikan nada seaneh apa pun, meneriakkan lirik seabsurd apa pun, bertingkah laku, berkata-kata, atau bahkan hening terdiam tanpa alasan, imajinasi jenis apa pun memang disana tempatnya.

Diawal kuliah pun sempat curhat bersama dua sahabat sesama Jubah Macan. Kesimpulannya, kami menyebut diri kami di perkuliahan ini sebagai fakir seni. Ah sedihnya.
Namun kedua teman saya ini, yang satunya sekarang punya project diluar perkuliahan dimana bisa ia tumpahkan hasratnya. Yang satunya lagi tergabung dalam kelompok paduan suara. Yah meskipun tak se-melegakan Jubah Macan, mereka sudah menemukan tempat cicilan. Aku? Waktuku habis tersita. Di waktu senggang aku masih menggambar, aku masih membuat lagu, tapi hanya begini-begini saja.

Sabar ya, imajinasi.

Wednesday, June 11, 2014

Seperti Cahaya

Cahaya tak pernah berbohong
Akan berhenti jika ditutupi,
Dan terpancar jika ada jalan keluar
Begitu janjinya, selalu begitu

Aku tak akan mengucap kata sedih
Katanya sedih itu tak bahagia
Kalau begitu aku akan kecewa saja
Kecewa bisa sembari bahagia

Aku kecewa
Pada diriku yang tak bisa seperti cahaya

Sunday, June 8, 2014

Rindu

Bagaimana bisa merindukan sesuatu yang tak pernah kau temui?


Saya berharap tulisan malam ini tak banyak dibaca orang. Saya tak peduli. Tulisan ini mungkin salah satu tulisan paling jujur dan spontan yang pernah saya buat. Entahlah, saya hanya ingin melampiaskan perasaan saya.

Baru saja saya membaca sebuah blog milik orang yang tak begitu saya kenal. Disana banyak tulisan indah dan penuh makna. Di salah satu tulisan, ia bercerita tentang mendaki gunung. Disana tertulis sebuah nama. Gie.

Rindu. Saya begitu merindukan terjun ke dalam dunianya. Saya begitu merindukan sesosok yang tak pernah saya temui wujud aslinya. Toh abunya kini sudah tersebar di lembah Mandalawangi. Dulu setengah mati usaha saya untuk mengenalnya, dari berbagai sumber. Malam ini, saya kembali membuka file, buku, dan puisi tentang dia.

Tak sengaja saya menangis. Biarlah orang berkata saya sentimentil, cengeng, dibuat-buat, atau apalah, saya tak peduli. Saya hanya ingin meluapkan isi hati saya.

Saya menangis membaca tulisan-tulisan dan puisinya. Betapa pola pikirnya luar biasa. Saya menangis bukan hanya karena merindukan sosoknya, saya menangis karena sedih melihat keadaan saat ini. Mungkin lebih tepatnya saya ingin sosok Gie ada saat ini. Di saat negeri saya sedang kacau balau. Saat keserakahan dimana-mana. Saat otak manusia pribumi ini dengan mudah diperbudak bangsa lain. Sungguh apa mereka tak sadar bagaimana dulu Sudirman tujuh bulan ditandu bergerilya dengan paru-paru kanan yang kempes hanya demi kita saat ini dengan mudah keluar masuk mall menghamburkan uang. Sungguh apa mereka tak sadar bagaimana Supriyadi memberontak Jepang hingga dinyatakan hilang tak tahu nasibnya hanya demi kita saat ini bisa makan di restoran-restoran mewah.

Bagaimana perasaan mereka jika melihat negeri yang mereka perjuangkan untuk merdeka dari negara lain kini justru dijajah, dikhianati rakyatnya sendiri?

Malu. Harusnya kita malu. Jendral Sudirman, Supriyadi, dan pejuang lain tak perlu repot-repot menukar nyawa demi manusia-manusia seperti kita. Setiap melihat berita keserakahan di media, saya merasa hina. Nyawa orang-orang hebat itu ditukar dengan para pemimpin yang tak tahu malu. Ini nyawa lho. Dana proyek hambalang dikali sejuta juga nggak sebanding dengan ini. Layak kita diperjuangkan?


Cerewet ya saya. Memang. Tapi sungguh saya nggak tahu mau meluapkan kesedihan kemana lagi.

Kadang saya suka membayangkan bisa berdiskusi dengan Gie, menanyakan pendapatnya dan menanyakan apa yang sebaiknya saya lakukan. Negeri ini benar-benar membutuhkan Gie, membutuhkan orang-orang seperti Gie.

Saya selalu berdoa, semoga usaha orang-orang benar di negeri ini selalu diberi kekuatan hingga bisa membuat perubahan. Semoga jiwa-jiwanya selalu diberi kekuatan untuk berjuang meski keserakahan sudah menjadi mayoritas.


Sungguh, tulisan ini saya buat dengan tulus. Saya dengan tulus ingin Tuhan mendengar doa saya untuk Indonesia.
Semoga negeri ini melahirkan Gie-Gie lain di setiap generasinya.



Sunday, June 1, 2014

Sungguh

Sungguh.

Saya tak pernah berhenti berusaha menjalani hidup dengan senyum. Dengan lapang dada. Dengan tawa kusebar dimana-mana.

Tapi sungguh.

Kadang saya juga lelah bersandiwara.

Sungguh.

Saya tak sebahagia itu.

Thursday, May 29, 2014

Menarilah Sendiriku

Di awal masa yang lewati hari-hari
Dan waktu yang terus bergulir lalui
Tak sanggup lagi ku daki bukit ini
Ku berhenti

Mata hitammu selalu
Menyulut senyum tersipu
Hasrat terpaku tuk selalu bertemu

Ku genggam semua kata
Terselimuti dengan asa
Hanya ada sebuah rasa kini

Dan menarilah hariku
Di atas jalan berbatu
Lewati semua sepiku dan sendiriku



Menarilah, menarilah sendiriku..



Sepotong kata dari Angsa & Serigala - Menarilah Sendiriku

Menatap Biru Pekat

Ketika cahaya berpindah tempat, biru pekat hampir gelap ku tatap
Sejak nafas pertama ku hirup, hingga kini ku masih hidup
Masih saja

Memang tak ada yang lebih bermakna dari menatapmu. Aku seperti bisa melakukan seribu hal bersamaan ditemanimu.
Sambil lelah merekah
Sambil pikir mengalir
Sambil jenuh ku taruh

Entah. Aku menyukai kesendirian bersamamu. Menatapmu seperti membawaku ke dunia lain. Dunia dimana tak ada orang lain. Dunia dimana aku sangat kecil. Sangat kecil sekali. Hingga aku bisa memikirkan segala yang ku mau tanpa peduli apa pun. Hingga aku bisa menyusun dan menyelesaikan masalah di kepalaku perlahan-lahan, tak ada tekanan.

Meski jutaan pasang mata lain melakukannya, tanpa alasan khusus, aku selalu percaya menatapmu hanya milikku seorang.



Mencari Tawa Yang Dulu



Dalam perjalananku mencari tawa yang dulu, malam ini aku menemukannya.
Terima kasih!

Monday, May 26, 2014

Sebuah Pertemuan yang Dipaksakan

Di sebuah pertemuan yang dipaksakan itu, saya disadarkan ternyata pola pikir saya egois.

"Li, kata Ibu, ketika kita menyayangi seseorang, itu berarti kita siap untuk kehilangan."

Sepersekian detik kemudian wajah-wajah orang yang saya sayangi melintas.
Wah memang, konsekuensi dari menyayangi itu berat. Kehilangan ada karena menyayangi.
Tapi resiko memang harus diambil. Kalau mau memilih hal yang tanpa resiko, sampai laut kering pun tak akan muncul pilihan macam itu.


Terima kasih Dhevi dan Tante Ida

Tentang 24 Mei 2014

Dua puluh empat mei sudah terlewati.
Luar biasa memang.

Di hari itu, saya punya dua tanggungan paling besar selama berorganisasi di kampus. Sayangnya saya jadi harus memilih untuk fokus di salah satu, karena acaranya di hari yang sama. Saya jadi harus meninggalkan kewajiban di Malam Temu Kangen dan lebih fokus di Seminar Nasional.

Ini pengalaman yang harus saya luapkan dalam sebuah tulisan. Perasaan yang timbul tanggal 23 Mei malam adalah salah satu yang terhebat selama saya kuliah. Mulai dari persiapan yang lumayan padat, hingga semakin malam semakin banyak permasalahan muncul. Sampai larut malam, hanya tinggal segelintir laki-laki dan saya. Puncaknya di sebuah ruangan di Grha Sabha Pramana dini hari saya menangis sendirian hahaha sekarang saya bisa tertawa mengingatnya, padahal waktu itu sungguh tidak tau lagi harus apa.

Sebenarnya bukan masalahnya yang tidak bisa saya hadapi. Tapi orang-orang yang memberi saya kepercayaan yang tidak bisa saya hadapi. Waktu itu ketika mendengar berita ini dan itu yang tak beres di kedua acara, saya hanya bisa membayangkan wajah orang-orang itu kecewa. Wah ampun deh, itu perasaan paling nggak enak, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sampe nggak berani mau ngomong sama orangnya.

Pukul 01.30 saya sampai rumah dengan perasaan nggak karuan, dan pukul 04.30 sudah berangkat lagi. Badan lelah, pikiran apa lagi.

Ngurus konsumsi nggak makan, ngurus video nggak nonton. Tapi toh akhirnya semua berhasil saya lewati meski dengan kekurangan disana sini. Saya tersenyum kok hehe.

Dengan berakhirnya 24 Mei, saya banyak belajar. Banyak sekali belajar dari kebaikan orang. Ternyata lebih nggak enak mengecewakan orang-orang baik seperti mereka yang sebenarnya hanya tersenyum ketika kita membuat kesalahan. Bahkan malah melindungi. Kebaikan memang sederhana, tapi sesungguhnya sederhana itu nggak sederhana.

Oiya, saat baca buku Nostalgia dari Malam Temu Kangen, saya pengen nangis. Sentimentil sekali, tapi memang begitu adanya. Rasanya kok mengharukan buku ini akhirnya sudah nyata ada di tangan saya hahaha.

Akhir kata, terima kasih atas semua pelajaran di hari-hari kemarin. Terima kasih Mas Odhi dan Mas Ian. Terima kasih juga Ghaniy, Mas Masruh, Mbak Vivi, Mas Iwang, Damar, dan semuanya yang sadar atau pun enggak telah membantu saya melewati salah satu hari paling hectic yang pernah saya alami.

Mari melanjutkan hidup!

Tuesday, May 20, 2014

Ditengah Keramaian dan Kesunyian Malam Kantor Pusat Fakultas Teknik

Jika saat ini anda mencari sebuah raga, temui saja seorang di sudut tiang nomor dua, bekas acara berskala nasional yang baru saja berakhir tadi.
Namun jika mencari jiwanya, jangan. Tidak ada disini.

Wah wah, baru saja. Benar-benar baru saja, belum ada 3 menit yang lalu, saya menyadari sesuatu yang membuat perasaan saya campur aduk. Dalam konteks yang menyedihkan.

Tidak tahu harus berbuat apa.

Sunday, May 11, 2014

Peluk Cium Satu-satu!

Duh ampun mereka ini.

Saya selalu bisa ngomong apa aja, melakukan apa aja di depan mereka, with no rules and borders.
Yang bikin mereka itu beda dengan kumpulan sahabat-sahabat hebatku yang lain, tawanya itu lho yang nggak nahan. Tingkah kita kalo dijadiin satu itu kayak orang sinting dan tolol yang menertawakan kesintingan dan ketololannya sendiri. Tujuh karakter kita somehow bisa kayak puzzle, beda-beda tapi kalo disatuin klop, menciptakan suatu dimensi kegilaan yang nggak wajar. Kelakuan mereka itu lho. Belum nemu yang kayak mereka di muka bumi ini.

Dhevi, cantik wangi rapi sayang luarnya doang.
Yayuk, menthel dan preman dalam satu tubuh.
Dea, tukang ketawa terus padahal nggak ada yang lucu.
Ucik, raksasa yang kelakuannya membuat kami ragu kepalanya berisi otak atau beras.
Petra, tiang listrik yang sering terlanjur banyak tingkah padahal nggak lucu.
Satya, manekin, disuruh dan didandanin bego-begoan selalu mau.

Dhevi itu manis lapis luar doang. Cowok kalo ngedeketin dia lewat jalur normal, taunya ya manis-manisnya aja. Padahal kelakuan kayak tukang becak. Dulu kalo saya punya masalah yang serius-serius plus galau-galau, selalu nyari Dhevi. Dia punya banyak nasehat  yang saya akui keren dan bijak yang dia sendiri nggak pernah lakuin. Jadi ya nggak saya lakuin juga. Yaudah didengerin aja, itung-itung dapet pahala.

Kalo Yayuk sih temen gokil-gokilan, soalnya dia anaknya sok artis. Ya maklum sih datang dari desa jauh-jauh sekolah di kota. Mungkin warasnya dia luntur di jalan tiap hari dibawa touring sekolah-rumah kali ya. Tapi sok artisnya serius, nggak main-main. Sampe capek ngadepinnya. Dari raut wajahnya yang tua sebelum usianya, kayaknya dia juga ikut capek ngadepin dirinya sendiri.

Kalo nggosipin orang yang berkelakuan diluar kewajaran ya sama Dhevi Yayuk. Dea ngikut sih, tapi dia cuma ho ah ho oh aja sambil sesekali ketawa padahal kita lagi serius. Memang polos dan ramah sekali bocah satu ini. Sampe-sampe kalo nangis aja sambil ketawa (ini beneran). Tapi akhir-akhir ini dia jadi nyambung dan kadang ikut melakukan kegiatan bodoh dan berdosa juga. Emang bener Dea ini malaikat berhati suci yang tiba-tiba hatinya kejatuhan tinja mammoth berwujud kami berenam.

Serius nih, sampe sekarang saya masih bertanya-tanya apa isi kepalanya Ucik. Kalo pun beras, sebenernya berapa kilo sih? Udah gitu badannya gede, banyak tingkah, jomblo pula. Susah tenan uripmu. Tapi dia salah satu orang paling baik yang pernah saya temui seumur hidup (yang ini beneran). Kita paling susah kalo dia lagi susah. Habis keliatan banget sih, dia paling ga bisa menyembunyikan perasaan.

Satya juga salah satu orang paling baik yang pernah saya temui (ini juga beneran). Terus kita punya selera musik dan film yang jauh diatas selera 4 makhluk yang lain, jadi nyambung deh ngobrolin film dan musik ngalor ngidul. Oiya, Satya ini kalo nggak sama kita anaknya diem. Kalo bareng kita, kayak kesurupan. Padahal dia punya otak lho. Tapi otaknya isinya beras, sama aja.

Ditambah Petra, mereka 3 idiots yang sempurna. Petra kalo sendiri sering nggak lucunya, padahal aku tau usahanya buat ngelucu besar. Untung ada Dea yang lucu nggak lucu tetep ketawa. Oiya, Petra sama Ucik jago basket lho. Petranya sih. Uciknya ya gitu. Nonton DBL, NBL, dan segala macam bentuk pertandingan basket yang lain, Petra dan Ucik orang-orang pertama saya cari.
  
Wah saya jadi rindu. Apa kabar kalian? Jaga kesehatan selalu ya.
Semoga kesempatan segera mempertemukan kita.

Peluk cium satu-satu!

Ucik Dhevi Lia Yayuk Satya Dea Petra