Saturday, December 17, 2016

Aku dan Bima

[Bima Cemburu]

"Sa pulang sudah. Besok sa tara datang-datang lagi."
"Baru kaka main dengan siapa nanti?"
"Kaka pu adik banyak to. Anak-anak lain itu?"
"He Bima, kaka pu ade ini cuma ko saja."
*diam*


[Bima Protektif]

*main potong pakai parang*
"Siapa yang suruh kaka main begini???" *merebut parang*
*ambil parang yang lain*
"Kaka. Kalo sampe kenapa-kenapa.. Sebentar kaka mama tanya siapa yang kasih pegang parang, baru kaka bilang 'sa pu ade di kampung ini yang kasih' sa dapat mara..." *merebut parang*


[Bima Ngomong Agama]

*menunggu aku keluar rumah*
"Sudah. Ayo jalan."
"Bah, kaka sembahyang cepat betul."
"Io, cepat tapi sering to."
"Kaka sembahyang berapa kali?"
"Satu hari lima kali."
"Kalau sa sembahyang itu dua kali."
"Ko sembahyang sebelum tidur juga?" (dia hidup sendiri di rumah selama 2 bulan)
"Kalau su sembahyang itu hati rasa tenang. Tiap hari sa sembahyang sebelum tidur, hati rasa tenang sekali, su tida takut lagi suara orang ka binatang ka sa langsung tidur."


[Bima Marah]

*diam*
*tidak menatapku*
*tidak merespon keberadaanku*


[Bima The Wish Granter]

"Kaka pengen tau makan pinang."
"Kaka beli to."
"Ah, tida mau."
-dua hari kemudian-
"Kaka lia bilang mau coba pinang to." *bawa pinang, sirih, dan kapur*


[Bima Tukang Bolos]

"Kalo bolos sekolah sa tida main ke sini. Nanti kaka tanya-tanya saya."
"Bah, kaka su tida mau lagi kasi-kasi nasehat buat ko. Kemarin-kemarin su banyak. Ko ni su SMP, su besar, ko su tau mana yang baik to."
-beberapa hari kemudian-
"Kaka, besok kaka pergi sudah (pergi dalam rangka program). Sa mau sekolah."


[Bima Serius]

"Kaka, ini untuk kaka. Kaka simpan baik-baik. Kalau orang Papua kasih taring untuk kaka, kaka simpan baik-baik." *kasih kalung buatannya sendiri*


[Bima Heboh]

*baru pulang malam hari dari penjelajahan ke pulau rani*
Horee!! Kaka lia pulang!! Kaka lia pulang!!! *lari ke arahku dan berjoget-joget memegang tanganku*



[Bima Cuek]

"Kaka pulang sudah, sa tara menangis. Kaka pulang, sebentar sa pergi sekolah baru sa pergi main bola." *menggendong carrierku dari rumah sampai ke pondok*
Sejurus kemudian, bocah ini ga bisa berhenti menangis di pelukanku, bahkan sampai kami pergi.

Perempuan dan Kalung Bodohnya

Sore itu kalungnya putus.
Kalung yang ia dapat dari tempat yang amat jauh.
Bukan. Kalung itu bukan berasal dari tanah di timur Indonesia.
Kalung itu berasal dari hati baik seorang bocah kecil.
Tempat yang begitu jauh dan dalam.

Ia bergegas membeli satu gulung benang nilon,
berniat memperbaiki kalung tersebut dengan merangkainya kembali.

Kalung itu tersusun dari puluhan cangkang siput laut berukuran seujung jari kelingkingmu.
Dan baginya, setiap butir cangkang adalah perwakilan dari setiap kehidupan di pantai Warbor.
Aku pun heran.
Bisa-bisanya memaknai suatu barang hingga begitu dalam.
Baginya, setiap butir cangkang adalah perasan-perasan ketulusan langkah kaki seorang anak di bibir pantai, yang sibuk mencari puluhan butir dengan ukuran dan warna yang sama,
demi keindahan sebuah kalung,
atau senyuman di bibir seseorang,
atau bentuk legalisasi pernyataan rasa sayang dan takut kehilangan.

Ia mulai merangkai cangkang-cangkang itu ke benang baru,
sambil berharap hatinya tak terlampau sentimentil karena mengubah sesuatu dari karya bocah kecil itu.
Rupanya butuh waktu lama merangkainya, karena cangkang ini tak dilubangi oleh mesin bor atau tangan lihai pengrajin hiasan cangkang di Ubud.
Dari cerita bocah itu, ia tau persis cangkang kecil ini dilubangi dengan paku, satu per satu, sangat tidak rapi dan sama sekali tak membuat proses perangkaiannya mudah.

Baru setengah jalan ia sudah mengeluh.
Padahal ia hanya merangkai sesuatu yang sudah jadi.
Ia tidak membeli benang nilon dengan berjalan jauh di tempat panas.
Ia tidak memelototi setiap jengkal pasir pantai untuk menemukan puluhan cangkang dengan ukuran dan warna yang sama.
Ia tidak memaku satu per satu puluhan pantat cangkang yang ukurannya sebiji jeruk.
Ia hanya merangkai.
Tapi air mata meleleh di pipinya.
Rupanya ia terlalu lemah, mudah lelah dan menyerah.

Oh,
Ternyata bukan lelah yang memanggil.
Air mata datang memenuhi undangan kerinduan dari setiap helai nafas yang ia hembuskan di kampung.
Air mata datang memenuhi undangan kerinduan akan bocah kecil yang tak lagi ia dengar kabarnya.
Bocah kecil yang selalu ia pamerkan sebagai adiknya.
Karena pamer, bercerita ke orang-orang, adalah satu-satunya cara menjaga ikatan kakak adik mereka.
Aku pun heran, kakak adik macam apa yang tak saling bicara apalagi bertatap muka?

Di ujung kalung, sebuah taring binatang tersemat.
Taring mungkin menggambarkan kegaharan.
Atau beberapa orang bilang tak pantas dikenakan sehari-hari.
Tapi kalung itu tak pernah lepas dari dadanya, meski tak pernah ia perlihatkan.

Karena baginya, ini soal dia dan adiknya.
Dan kalung ini adalah simbol kasih sayang.
Kasih sayang yang menembus batas.
Kasih sayang yang masih terus ia percaya kekuatannya.


Kasih sayang yang masih membuatnya terus mengucap doa,
meski tak lagi saling bicara.

Malam Percakapan

Malam ini, di tengah waktu senggang selepas minggu-minggu ujian, aku secara spontan membuka grup line SMA, scroll nama-nama yang ada di situ, dan chat satu-satu beberapa teman lamaku yang sudah lama tak ku jumpai.

Tidak ada motivasi khusus sih. Hanya saja aku merasa selain menciptakan teman baru, menciptakan percakapan dengan teman-teman lama ternyata cukup hangat dan menyenangkan.

Kemarin aku baru saja bertemu dengan seorang teman lama di SMA. Selama ini kami memang sesekali bertemu, tapi bukan sebuah pertemuan berkualitas yang direncanakan. Chat pun hampir tak pernah. Dan akhirnya, setelah entah berapa lama tidak pergi sama-sama, tanpa terasa aku menghabiskan 4 jam bercakap-cakap dengannya. Dari hal remeh sampai hal krusial. Perasaan ketika kamu tau kamu berteman dengannya sejak bertahun yang lalu, jarang bertemu, tapi sampai hari ini masih bisa menciptakan percakapan yang mengalir, adalah salah satu perasaan paling menyenangkan. It means that he was, and still is your best friend.

Kemudian aku berpikir, ada berapa banyak teman baikku di SMA yang sudah jarang aku temui simply because we have our own world since college strikes. Oh, I won't lose them. Lalu, tercetuslah ide kenapa tidak kujadikan saja malam ini sebagai malam penciptaan percakapan. Untuk sekedar mencairkan suasana, bertegur sapa, dan bertukar kabar. Aku chat beberapa teman baikku di SMA, teman yang dulunya begitu akrab, namun sekarang jarang bertemu.

Dua belas orang aku chat dengan awalan yang sederhana: "Piye kabarmu?" "Kowe wes skripsi durung?" "Lagi sibuk nggak?" "Piye uripmu?" dan kalimat-kalimat lebih bodoh lainnya. Dari kalimat-kalimat bodoh tersebut, berubah menjadi cerita unik masing-masing. Meski tak semuanya berakhir menjadi percakapan panjang, paling tidak aku tau si A ternyata kru sebuah band, si B sekarang lebih suka menyibukkan diri di gereja, si C mau menjajal tanah sumatera akhir tahun ini, si D skripsi tentang kopi, si E meninggalkan chatku demi dota, dan lain sebagainya hahahaha.

Meski sebagian besar masih tetap pada sifat aslinya, pada beberapa orang, aku merasakan keanehan juga sih. Kamu pernah mengenal mereka dengan sangat baik, tapi waktu, bisa begitu saja menciptakan kecanggungan. Harapannya sih, percakapan yang kuusahakan ini bisa menghapus kecanggungan-kecanggungan itu, dan merebut teman-teman baikku kembali hehehe.

Social experiment ini hasilnya memuaskan batin dan menyenangkan hati! I should do this more often.
Karena sahabat itu tak mudah dicari, apalagi di dunia kerja nanti.
Dan semakin dewasa, kita akan semakin bisa memahami bahwa sahabat, sepertinya halnya keluarga, adalah harta tak ternilai.

Sunday, December 4, 2016

Aku dan Project Child

Beberapa waktu yang lalu aku mencoba mendaftar sebagai volunteer di sebuah NGO. Alasannya simpel. Sebagai mahasiswa tahun keempat, aku sudah tak dibutuhkan lagi di organisasi kampus. And I can't just spent my whole day gegoleran di kasur aja. I need to get involved in something.

Singkat cerita, setelah beberapa minggu bergabung, aku sangat menikmati misi dan kegiatan yang diusung di sini. I would love to do this stuff for a longer period of time.
Tapi aku masih merasa asing karena hampir tak ada satu pun orang yang ku kenal. So when they offered a chance to join in a trip to visit their office in Pacitan, I simply said yes. Yah bodo amat nggak ada yang kenal pokoknya hajar aja, pikirku waktu itu. Let say I'm just trying to make myself comfortable with this new environment. I need to get to know them, and a trip would be very helpful.

Dan akhirnya, dari perjalanan singkat bersama 6 orang kemarin, aku mendapatkan banyak hal. Bukan hanya kesempatan mengenal NGO lebih dalam dan mendapatkan teman baru yang super seru, lebih dari itu, aku mendapatkan pelajaran yang tidak terduga.


Aku jadi benar-benar bisa memahami bahwa berbuat baik aja nggak cukup. Berbuat baik harus cerdas.
Sejak di bangku sekolah aku mencintai kegiatan sosial. Tiga tahun di bangku kuliah pun aku habiskan untuk mengembangkan sektor pengabdian masyarakat. Bahkan aku sempat bergabung dalam sebuah komunitas di luar kampus yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak kecil, meski tak bertahan lama karena alasan kesehatan waktu itu. Intinya, aku sudah mencicipi, mengonsep, melaksanakan berbagai project sosial.
Tapi ketika aku bertemu mereka, aku sadar, selama ini aku melupakan fundamentalnya. Aku mencintai kegiatan sosial, aku menikmati dan merasa bahagia melakukannya, tapi nggak pernah memikirkan optimalisasi project. Aku nggak pernah benar-benar concern ke sustainability dan kuantitas/kualitas impact-nya. Oke, mungkin aku memikirkan hal-hal itu, tapi tidak matang. Seolah-olah prioritasku adalah kebahagiaanku sebagai volunteer, bukan dampaknya untuk anak-anak/masyarakat.
Dari teman-teman baruku, aku belajar memahami bagaimana seharusnya menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama.

Kemudian, ada hal lain yang cukup membuatku kaget namun bahagia tak terkira.
Atmosfer bergaul dengan mereka ternyata sangat berbeda dari duniaku di kampus atau di tempat lain. Orang-orang di sini sangat open minded. Aku bisa merasa sangat nyaman bersama mereka hanya dalam beberapa jam saja. And by open minded, I mean no one's gonna judge you for who you are. Seunik apa pun kamu, seekstrim apa pun kamu, mau sholat lima waktu atau nyembah batu, mereka tidak akan melemparkan raut wajah heran, apalagi menghindar. Mereka hanya punya satu kesamaan yang menyatukan, which is doing good things for the children, dan itu cukup. Di luar itu, everyone respect each other. Semua menjadi diri sendiri. Nggak ada yang malu mengutarakan jati dirinya. Nggak ada yang berusaha menutup-nutupi sesuatu. Like, I was spontaneously telling someone about my very personal stuff after known her for like 10 hours?? And everyone does the same. Because no one's gonna judge you. Kami saling menanyakan hal yang kami ingin tau kepada satu sama lain, dan tidak ada jawaban yang difilter atau disesuaikan dengan kondisi. Semua jawaban apa adanya (or is it just me who innocently believe they did it that way? They must be good actors then!). And once again, no one's gonna judge you, not even a judging stare.
Aku bisa membayangkan kalau aku melemparkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu ke lingkunganku, jawaban-jawaban yang keluar pasti adalah jawaban-jawaban aman.
Dari teman-teman baruku, aku belajar bahwa orang yang berprinsip tidak berarti berhenti menoleransi, dan menghargai kebebasan akan membuat hidupmu lebih bahagia.

Hal lain yang lumayan membantuku adalah mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai second language. Di kampus, kemampuan berbicara dengan bahasa inggris adalah sesuatu yang amat sangat tidak diperhatikan. Aku bahkan nggak akan ngomong in english lagi kalau nggak menyempatkan les conversation di semester 4 (dan saat itu aku dianggap aneh karena di saat yang lain sibuk organisasi dan tugas, aku malah mengambil les inggris. But I couldn't hold it!). Motivasiku ikut les conversation saat itu murni karena aku ingin punya tempat untuk bisa ngomong inggris without being called as belagu sok nginggris.
Tapi di sini, everyone's trying to speak English even for our daily conversation. Meski tampaknya status si-belagu-sok-nginggris milikku berubah menjadi si-goblok-belajar-nginggris, it motivates me and simply makes me happy!



Ah, selalu menyenangkan mendapat teman-teman baru.
Dan lebih menyenangkan lagi belajar sesuatu dari mereka.




Terima kasih Project Child Indonesia.
Saya selaku volunteer yang baru berumur 40 hari, telah mendapat banyak sekali pelajaran dari kalian.
Expecting more days to come!

Wednesday, November 2, 2016

Self Reminder

Kamu menginginkan sesuatu?


Pertama,
Pastikan kamu menginginkan hal itu.
Apa latar belakangmu? (untuk tau layak tidaknya perjuanganmu)
Apa tujuan akhirmu? (untuk tau mau kemana arahmu)
Apa motivasimu? (untuk menemanimu berproses)
Pegang teguh jawaban dari tiga pertanyaan itu.

Kedua,
Kejar.
Jangan manjakan diri sendiri.
Jangan biarkan kenikmatan sesaat menguasai.
Jangan malas.
Jangan.
Malas.
Malas cuma buat orang-orang goblok,
Orang goblok yang mengatasnamakan kemalasannya sebagai sial.
Mana ada orang besar yang berangkat dari malas?
Hok Gie, Pak Habibie, Pak Bambang Susantono, Pak Dahlan, Andrea Hirata, mereka semua ga cukup goblok untuk membiarkan malas megambil celah.
Mereka menguras tenaga.
Tuhan ga kasih toga di kepalamu ketika kamu berdoa.
Tuhan kasih otak, tangan, kaki, dan hati buat kerja keras!

Ketiga,
Jangan takut gagal.
Gagal bukan sebuah frase berkonotasi negatif.
Gagal cuma salah satu tahapan dari proses.
Sesuatu yang indah ga didapat dari hal mudah.
Kalo ngerasa gampang, mimpimu kurang besar!
Kalo ngerasa susah, jangan takut salah!
Hajar!
Pak Habibie nggak tiba-tiba bisa nyiptain 46 hak paten di bidang aeronautika.
Pak Habibie pake dikhianati.
Andrea Hirata nggak tiba-tiba jadi awards-winning book and author dimana-mana.
Andrea Hirata pake hidup susah.
Jadi orang besar itu ga instan.
Salah nggak dosa,
Yang dosa adalah ga overcome dari salahmu.

Keempat,
Berdoa, dan,
Berbuat baik pada sesama.
Tuhan tidak tidur,
Gusti mboten sare,
God doesn't sleep.
Dia melihatmu.
Sungguh, Dia yang paling bijaksana dan maha adil.
Dan kamu, kamu butuh sesuatu untuk berpegang ketika "gagal" mampir.



Terakhir,
Jangan percaya batas.
Batas hanya akal-akalan manusia.
Batas hanya konsep dari kesalahpahaman.
Batas tidak pernah ada.
Yang ada hanya kesalahan kerja otakmu yang berusaha menghambat dirimu dengan kata "batas" itu sendiri.



Berdiri.
Melangkah.
Dan kalau kamu merasa hilang,
Silahkan baca ini lagi.

Kamu bisa!

Thursday, October 6, 2016

Paguyuban Tani

Ini ceritanya mau nulis caption di instagram tapi kayaknya bakal panjang jadi dipindah di sini gitu.

Nggak terasa, sudah di tahun keempat kuliah sekarang. Bukan lagi saatnya bermain-bermain dan berekspresi dalam organisasi. Akhirnya, kehidupan itu harus aku tinggalkan.
Dan berpisah dengan mereka, mungkin akan menjadi yang paling disesalkan.


Anda perlu tahu.
Keluarga Mahasiswa Teknik Sipil UGM sangat beruntung.
Bukan karena nama besarnya, bukan karena acara besarnya,
Tapi karena KMTS memiliki kami,
Lima belas orang anggota yang kerap menjadi korban underestimate karena mengemban sektor pengabdian masyarakat yang sepi program kerja.

Tenang teman-teman,
Kualitas di atas kuantitas.
Proker paling sedikit, tapi insya Allah paling mulia.
Hehehe.

Beberapa hari yang lalu, adik-adikku yang lucu ini mengadakan acara perpisahan kecil-kecilan untuk kakak-kakak 2013. Makan-makan di garasi rumah dan karaoke yang tak terencana.

Yang membuat sedikit terharu, sedikit ya, ternyata mereka menyiapkan kenang-kenangan untuk kami yang tua-tua ini. Momen itu adalah momen dimana aku menyadari, buset ternyata udah tua yak hahahaha tapi juga bikin aku sadar, kalau kita berlima belas berhasil mencapai prestasi yang nggak dimiliki orang lain: kita bukan hanya partner berorganisasi, tapi kita benar-benar menjadi teman, dan keluarga.

Buat teman-teman 2013,
Kita sudah tua! Terima kasih atas kerjasama selama ini. Makasih Kem udah jadi partner di bidang sendiri dan bidang sebelah (PAS emang kudu impor orang-orang berkualitas kayak kita). Terima kasih Nes, Mig, kebodohan dan keoonan kalian akan selalu ku kenang. Makasih Yudi selalu mengingatkan untuk sholat di setiap rapat.
Terima kasih sudah mempertahankanku saat isu-isu terlempar ke bidang sangar sebelah santer terdengar wkwkwk. Terima kasih atas kepercayaannya, kekecuan kalian di masa-masa lalu sudah kumaafkan.
Urutan wisuda kira-kira bakalan Yudi -- Nesya -- Kemal & Lia (bareng ya, Mal) -- Migo (ini anaknya sendiri yang ngaku). Tolong siapin bunga yang buanyaaaak ya adik-adik.

Buat adek-adek 2014,
Kalian juga udah tua! Tahun ketiga oi, pegang kendali penuh. Yang rukun, yang kompak. Adi jangan pacaran mulu, udah jadi kabid kudu gas pol! Fadhil jangan jahat-jahat lagi ya sama wanita, wanita tu ingin dimengerti. Pepep, the only thing u can do is rajin mandi plis! Wangimu pasti mengalihkan duniaku. Inggrit, oonnya dikurang-kurangin, punyamu udah keterlaluan. Tasha, tolong bangeeeeet jangan diet, nanti ga enak dipeluk dan diremet-remet.
Kalian luar biasa, ide-ide kalian hebat, jauh lebih hebat dari apa yang bisa kupikirkan. Sekarang, pilihannya tinggal kalian masih mau kompak dan bergerak, atau mager-mageran. Make some new things, ku menanti gebrakan kalian.

Buat adek-adek 2015,
Kayaknya baru kemaren kita nanyain kalian bisa nanak nasi apa enggak. Sekarang udah mau pegang acara aja. Sembarangan!! Emang udah bisa nanak nasi???
Yoga jangan polos-polos ya, you're the cutest 19 years old guy I've ever known. Dhabith, kelakukannya tolong dikontrol ya, orang-orang desa ga suka orang freak. Wada, setelah pernah menjadi pertaruhan karirku di awal jabatan dulu, kelakuanmu cukup membanggakan nak. Han, kurang-kurangin main sama Tasha, bikin IQ jongkok dan penuh gosip. Wita, aku tau kamu suka menyembunyikan ke-oon-anmu dengan ketawa ga jelas, keep it up ya.
Kalian yang nurut dan kompak ya sama 2014 dan adek-adek baru paguyuban nanti. Ya ampun udah punya adek woi.

Aduh ini tulisan ditutup pake apa ya biar klimaks

Dulu aku pernah minta kalian satu per satu menceritakan kisah hidup kalian. Supaya kita saling mengenal, memahami, dan menoleransi perbedaan satu sama lain.

Dengan begitu, semoga hubungan kita terpelihara meski tanpa motif-motif pekerjaan.
Terima kasih.
Selamat melanjutkan perjuangan.

Kalian membuatku bahagia dalam keberagaman kebodohan!

Thursday, September 22, 2016

Secuil Cerita dari Foto

Bapaku seorang ketua jemaat gereja. Juga seorang tokoh masyarakat yang paling dihormati. Mamaku seorang perempuan yang terkenal akan kepandaiannya memasak. Setiap hari selalu ada kue di meja kami. Kaka Sola, Intan, Novi, dan Ayu adalah teman menonton film-film dari kaset bajakan yang mereka beli di kota. Maikel, ia temanku bercerita di rumah, juga teman bermain di pantai belakang rumah.



Albert, si anak SD yang jago main bola. Ia gemar menggandeng tanganku. Nahum, bocah kecil tak banyak bicara yang sering minta diajarkan pelajaran sekolah. Fiktor, si tukang bolos dan pemalas ini berubah menjadi rajin membantuku perihal memasak dan memotong kayu.



Anak-anak adalah kehidupanku. Terlalu banyak anak-anak yang tak bisa kusebutkan satu per satu, yang tak bisa kudapatkan fotonya satu-persatu. Mereka alasanku untuk bangun pagi, untuk turun ke jalan, untuk lari ke pantai, untuk naik ke pohon, untuk tersenyum setiap hari, dan sekarang untuk segera kembali kesana lagi. Aku menyayangi mereka semua seperti seorang kakak yang menyayangi adik-adiknya.



Bima. Sahabatku, musuh kecilku, penjagaku, pelindungku, penghiburku, pengawalku.
Bima dan aku, kami menangis dalam pelukan pertama dan terakhir kami.

Wednesday, September 21, 2016

Premis Kasih Sayang

Sore itu, aku menerima telfon dari seorang perempuan. Ia adalah mama dari Bima.

Sore itu, aku menyadari sebuah keanehan.
Aku bahagia mendengar suara seseorang yang bahkan tak pernah ku tahu wujudnya, tak pernah ku kenal pribadinya.

Ternyata kasih sayang bisa muncul di tempat-tempat dan waktu-waktu yang tak terduga.
Menembus batas-batas yang dibuat-buat oleh manusia: suku, agama, ras, dan banyak lainnya.
Bahkan menembus hal yang dijunjung tinggi oleh manusa: logika.

Aku, adalah satu korban kecarut-marutan kasih sayang.



Tuhan memang suka melucu.


Tapi aku suka lelucon-Mu.

Mendengar Suara Bima

Akhirnya, setelah sekian lama aku membayangkan kehadirannya di sekitarku, mengingat-ingat suaranya, setelah sekian lama aku merindukan Bima, siang itu adik kecilku menelfon lewat telfon genggam bapanya.

"Halo Kaka Lia."

Spontan aku meloncat dari kursi dan lari keluar rumah. Semata-mata karena senang bukan main dan tak mau teriakanku mengganggu orang di rumah.
Sungguh, hati ini rasanya mau meledak-ledak. Senang bukan main.

Namun, lagi-lagi namanya juga Bima. Hubungan "adik-kakak" kami tak pernah sentimentil. Aku dengan lihai menyembunyikan perasaanku yang emosional ini dan tetap berlagak tenang menghadapinya. Hahahaha.
Selama telfon kurang lebih 30 menit, kami menyombongkan diri, mencela, dan tertawa bersama. Sesekali aku menanyakan sekolah dan kelanjutan seleksi sepak bolanya. Hanya itu hal serius yang bisa kami bicarakan.

"Kaka Arma ada tangkap teteruga."
"Ko ada janji bikin gelang teteruga untuk kaka to. Mari sini kasi kaka."
"Kaka datang ke kampung boleh, sebentar sa bikin untuk kaka."
"Iyo sebentar kaka lari ke Warbor."
"Hahaha.."
"Hahaha.."

Ah, betapa aku berharap kalimat itu bukanlah candaan.

Terima kasih, Bima. Bima bikin kaka bahagia sekali.
Nama Bima, akan selalu ada di setiap doa kaka.

Friday, September 16, 2016

Aku Akan Pulang

The fact that I still often cry over Bima and everything...

And all I can do is praying.



Friday, August 26, 2016

Bertemu dalam Doa

"Kok postinganmu sedih-sedih terus?"
"Kok mbak daz keliatan sedih banget?"
Barangkali dari sosial media saat ini aku terlihat menjadi orang paling lemah, paling cengeng, paling melankolis, dan lain sebagainya.
Aku tidak peduli.
Memang akan selalu menjadi sentimentil when it comes to Warbor.
And whenever I cry, I never deny it.
Mungkin tidak semua orang memahami. Tapi aku tau teman-teman satu timku mengerti.
Bahwa berpisah dengan Warbor bukan hal yang mudah.
They, too, cry a lot.

***

Waktu itu, baru satu minggu aku menetap di sana, aku sudah merasa nyaman. Di saat beberapa kalimat keluhan dilontarkan oleh beberapa kawan karena masih beradaptasi, aku sudah tidak mau meninggalkan tempat itu.
Warbor,
Tempat yang saat ini kusebut rumah kedua.

***

Sudah dua pekan aku di Jogja. Tapi hal-hal di sekitarku tak henti-hentinya membuatku sedih, berkaca-kaca, bahkan menangis. Foto-foto, tulisan-tulisan, keluh kesah, dan curahan hati teman-teman yang juga merasakan hal yang sama denganku, it kills me.
Rindu.
Rindu mati.

***

Dua pekan sebelum pulang, berselisih kecil dengan adikku bisa membuatku menangis semalaman sampai tidur. Aku menangis karena sebagian dari diriku memaksa sebagian lainnya untuk menerima kenyataan bahwa adikku dan kehangatan kampung ini sebentar lagi harus kutinggal pergi.

Pagi itu, sepekan sebelum hari kepulangan, selesai mencuci pakaian aku berjalan ke belakang rumah. Aku duduk di bibir pantai sendiri. Aku tau persis, kampung sedang sepi-sepinya karena semua orang melaksanakan sembahyang di gereja.
Aku menangis. Menangis karena tak ingin pulang.
Ah, bukan. Aku bukan menangis karena tak ingin pulang.
Aku menangis karena perpisahan dengan kampung ini dan seisinya, benar-benar akan terjadi.

Satu hari sebelum pulang, aku berada di tengah-tengah keramaian di ruang pameran foto ketika lagu itu berputar. Lagu yang mengalun dengan manis.
Aku tak tau lagi harus bagaimana. Jika aku adalah bocah kecil, mungkin saat itu aku menangis meronta-ronta meminta untuk tinggal, untuk tidak pulang, untuk tetap bermain di sana. Kusesalkan orang dewasa tak melakukan hal itu. Aku hanya bisa menahan air mata dan pergi ke belakang sampai lagu itu selesai.

Lagu indah milik Pacenogei


Ado mama lihat
Sa pu hati su tatinggal
Di gunung-gunung, di lembah-lembah
Di Papua

Ado mama lihat
Sa pu hati su tenggelam
Di dasar pasir, di laut biru
Di Papua

Cerita dia pu sungai yang deras
Cerita dia pu hutan yang luas
Tempat matahari selalu menyanyi
Tempat Cenderawasih selalu menari

Ado mama lihat
Sa su rindu, rindu mati
Ke pasir pantai, ke laut biru
Ke Papua

***

Malam pertama tidur di Jogja, aku masih menangis.
Baru pertama kali aku merasakan pedihnya kenyataan bahwa jarak dan waktu, dan ketidakpastian, bisa begitu membunuh.

***

Malam ini aku kembali menangis.
Aku rindu kampung. Aku rindu semua yang ada di dalamnya. Semua hal sampai ke detail kecilnya.

Dan lagi. Aku rindu Bima.
Aku sering sekali membayangkan kehadirannya di dekatku.
Aku sering membayangkan Bima tiba-tiba muncul di jendela kelas waktu kuliah, di teras rumah waktu aku sedang makan, dan di tempat-tempat lain, sambil bilang "Kaka Lia..", suaranya masih teringat jelas di kepalaku.
Aku ingin sekali memeluknya erat. Aku tak pernah memeluknya karena ia selalu menjadi sosok yang cuek, yang kuat, yang melindungi, sosok yang tak pernah terlihat lemah sama sekali.
Kecuali saat dia menangis hancur di hari kepulanganku. Aku memeluknya erat hari itu.

Begitu sulit hanya untuk mendengar suaranya lewat telfon.
Lagi-lagi jarak, waktu, dan ketidakpastian membunuhku.
Aku ingin memeluk adik kecilku sekarang.
Memeluknya seperti memeluk seluruh Warbor dalam dekapanku.

***

Malam terakhir sebelum kami meninggalkan Warbor, Bapa membacakan sebuah lirik lagu di depan jemaat. Lagu yang mereka, orang-orang kampung yang aku cintai, nyanyikan sepanjang malam hingga pagi hari kami pergi.

Kini tiba saatnya kita kan berpisah
Berat hati ini melepas dirimu

Gunung dan tanjung terpele
Wajahmu terpele
Terbayang senyum manismu
Hancur hati ini

Sapu tangan biru
Kini basah sudah

Berpisah lewat pandangan,
Bertemu dalam doa

***

Berpisah lewat pandangan, bertemu dalam doa.

Tuesday, August 16, 2016

After Papua

Aku tak pernah menyadari kehidupan disini ternyata begitu penat.
Kenapa dunia ini begitu sibuk?
Ramai, bising, terburu, sesak, tidak ada kah detik untuk menghela nafas?
Duniaku di ujung timur sana tak seperti ini.

Semua begitu sederhana
Tak ada yang mengejarmu
Tak ada yang mengejar siapa pun
Tak ada yang berlari
Yang ada hanya ingatkan diri sendiri

Alat komunikasi sesederhana berjalan kaki, menatap lawan bicara, dan berkata
Tas jinjing atau pinggang berisikan dompet, ponsel, dan benda-benda orang kota, tak ada harga
Kemana siapa membawa, cukup badan yang dibawa

Hujan bukan fenomena yang diwaspadai, apalagi ditakuti
Air turun, basahlah
Matahari sebentar keringkan lagi
Air laut memanggil, basahlah
Matahari belum bosan keringkan lagi
Lelah bermain, ambil kelapa barang satu dua
Perut kosong, lempar nilon sambil pasang mulut besar
Bilang ikan tangkapanmu pasti yang paling besar

Semua tak berhenti putar otak
Seribu satu benda bisa diciptakan dari alam
Bagi mereka, tak ada kata kurang
Bagi mereka, urusan sebatas perut yang harus diberi kenyang

Sederhana bisa begitu bahagia
Sederhana bisa terasa nyata
Jauh dari kemewahan dan hal yang berlebihan membuatku jatuh cinta

Lima puluh dua hari
Lalu dihempas perkotaan lagi

Aku tertegun
Melihat ruwetnya jalanan
Hebohnya orang berdandan
Panjangnya antrian diskonan
Dan rapatnya tembok-tembok perumahan

Selama ini aku hidup di sini?
Dan sekarang terpaksa tercebur lagi?

Rumah Kedua

Mimpiku telah terwujud.
Berkunjung ke tanah yang kuimpikan sejak SMP.
Tapi nyatanya Tuhan memberi lebih dari yang kuminta.

Papua tak hanya memberiku kesempatan untuk berkunjung,
Papua juga memberiku alasan untuk kembali.

Ada keluarga yang menyayangiku disana.
Ada rumah kedua disana.

Papua Day 41

Day 41
1 Agustus 2016

Adik kecilku telah mengajarkanku banyak hal.
Dalam beberapa waktu saja, tanpa sadar ia telah mengajarkanku bagaimana mengalir bersama naik turunnya kehidupan dari sisi yang berbeda.

Adik kecilku telah mengajarkanku banyak hal.
Tanggung jawab dan menjadi dewasa adalah hal yang sangat bisa kurasa di tengah timbunan candaan dan bicaranya yang layaknya anak-anak.

Adik kecilku telah mengajarkanku banyak hal.
Melindungi orang yang ia sayangi adalah sebuah naluri baginya. Sesuatu yang tidak perlu banyak dipikir, dilakukan memang karena sewajarnya dilakukan. Sesuatu yang tak banyak dimiliki pria-pria dewasa di luar sana.


Adikku memang berbadan kecil.
Tapi adik kecilku berhati besar.
Seorang bocah yang kaya hatinya.

Suatu waktu aku menyakitinya. Aku bahkan tidak tau kenapa.
Setelah berkali-kali berusaha bicara dengannya, aku menyerah. Ia meronta, kubiarkan ia pergi karena tak mau memaksanya lagi. Kemudian ia berjalan pulang.

Aku sempat menangis. Merasa bersalah, terlebih karena sepekan lagi aku meninggalkannya. Aku takut kehilangan adik kecilku di hari-hari terakhir disini.

Aku berjalan pulang, dengan banyak hal berputar dalam kepala.

Tapi lagi-lagi adik kecilku mengajarkanku banyak hal.
Tiba-tiba entah muncul dari mana, ia berlari menyusulku yang berjalan kaki pulang sendiri di tengah kegelapan. Meski tak mau berucap sepatah kata pun karena marah, meski tak mau menatap sedikit pun karena kesal, meski tak mau menyentuhku sama sekali, ia berjalan dalam kesunyian di sisi kananku dan memastikan aku sampai di rumah seperti hari-hari biasanya.


Malam itu di kamar aku menangisi banyak hal.

Entah kenapa kejadian itu membuatku merenungkan semuanya.
Kesalahanku padanya, kesedihanku karena akan pulang, dan utamanya, pelajaran kehidupan yang hebat yang selama ini kudapatkan disini.

Adik kecilku mengajarkanku bahwa anak-anak di pelosok kampung memiliki hati yang besar, bersih, dan mulia. Hati mereka tulus sekali. Hati anak-anak yang hidup jauh dari kemudahan dan hal-hal tidak penting yang berorientasi kepada kepuasan instan. Hati anak-anak yang hidup dengan kebahagiaan dan kesedihan apa adanya yang tak pernah dibuat-buat. Hati anak-anak yang hidup dengan kesederhanaan.

Mereka kaya hati tanpa harus mencari. Mereka kaya potensi tanpa mereka sadari. Sesungguhnya mereka hanya butuh dunia luar meludahkan barang sedikit saja motivasi untuk menjadi hebat sebelum menjadi sia-sia.


Adik kecilku membuatku berjanji,
Untuk terus bekerja dan berusaha demi anak-anak Indonesia di luar sana.


Selamat mengejar cita, Bima.

Papua Day 40

Day 40
31 Juli 2016

Malam ini aku membaca lagi pesan-pesan yang ada di grup keluarga besar. Beberapa waktu lalu memang sudah sempat aku muat, tapi karena banyaknya pesan yang masuk, belum sempat aku baca. Ku baca satu persatu tiap pesan dari sanak saudara, foto-foto keluarga, ditambah beberapa saudara sudah lama tak jumpa yang kemarin pulang ke Jogja, rasa sedih sempat menyelimuti.
Tapi kemudian aku ingat dimana aku berada sekarang.

Kampung ini, segala pengalaman yang ada di dalamnya, alamnya, keramahan warga, kamam, awin, adik dan kakak, anak-anak kecil, sahabat, dan satu adik kecilku di sini, semua membuatku dengan mudah membuang jauh sedih dalam sekejap.


Aku tidak akan pernah menyesali dan menukar kehidupanku disini dengan apa pun.


Tempat yang sudah membuatku berkali-kali menangis karena tidak mau pulang dan kehilangan kehidupanku disini begitu saja.

Papua Day 12

Day 12
4 Juli 2016

Anak-anak.
Mereka yang selalu menemaniku. Yang awal kukenal sangat pemalu, tapi dalam waktu beberapa hari saja aku sudah merasa tidak mau berpisah dan tidak mau menghabiskan waktu tanpa kehadiran mereka. Terutama Bima, bocah berbadan kecil yang sudah seperti adikku sendiri.

Baru dua minggu aku ada di sini, aku sudah ketakutan dibayang-bayangi tanggal kepulangan. Hal yang paling menyakitkan adalah, tidak ada komunikasi. Kehidupan di sini masih sangat sederhana dan tidak ada sinyal.


Aku tidak takut pada jarak.
Aku takut pada waktu yang memisahkan kami.

Mereka anak-anak. Waktu akan segera mengubah kepribadian anak-anak. Aku takut jika tidak menjadi bagian dari waktu tersebut, aku akan kehilangan mereka. Selama-lamanya. Meski suatu saat nanti bertatap muka.

Tuhan,
Tuntun mereka menuju cita-cita dan masa depan yang baik.
Jaga hati mereka,

Dimana pun kami nanti,
Aku akan selalu menyayangi mereka.

Papua Day 1

Day 1
21 Juni 2016

Waktu aku melihat kerlap kerlip lampu kota Biak dari jendela pesawatku, bisa kurasakan dadaku bergetar dan air mata di pelupuk mata. Aku hanya bisa terdiam dan sesekali menarik nafas panjang.

Menjejakkan kaki di tanah Papua. Tak kusangka akan terwujud hari ini.

Biak dan Supiori begitu panas. Namun kami disambut dengan begitu hangat dan antusias yang tinggi. Dan aku belum-belum sudah mendapatkan keluarga baru.

“Kami ini adalah bapa dan ibu angkat kalian, sampaikan pada orang tua di rumah nanti, bahwa saya dan mama adalah orang tua angkat kalian”, kata Bapa Binur disaat kami baru mengenalnya beberapa menit saja. “Kita ini tidak berbeda, warna rambut, kulit, dari Sabang sampai Merauke kita ini satu to, Indonesia”.

Dua bulan ke depan, aku akan hidup bersama bapak yang penuh dengan keramahtamahan ini beserta istri dan 3 anaknya.

Berbuka di bibir pantai indah yang menghadap samudera pasifik, dengan matahari terbenam yang begitu indahnya, hari ini kusadari hal tersebut akan menjadi aktivitas sehari-hari yang akan biasa kami lakukan.

Thursday, June 16, 2016

Aku dan Barasuara

BARASUARA

Sebenernya udah denger dari lama sih, cuma beberapa hari ini baru hobi menyimak 9 lagu album Taifun dengan seksama. I mean, literally seksama: mendengarkan dengan headphone, mengutak-atik equalizer nyari-nyari yang pas, menyimak aransemen, mendengarkan suara per instrumen dan vokal, menghayati lirik, menikmati feel lagu. Sembilan lagu diulang sampe infinity.

Terus, setelah saya pikir-pikir (despite the fact that musikalitas saya cuma sebatas bisa ngebedain lagu 3/4 ama 4/4), album ini matang sekali.

Rapi banget, kaya banget, aransemen cerdas, porsi dan timing tiap instrumen dan vokal pas, lirik dalem, jenius lah pokoknya ini album.
Lalu saya cari tau. Ternyata nyiapin Taifun butuh tiga tahun.
Wadaw.
Pantes lah mereka terkenal dengan albumnya, bukan karena satu dua single aja.

Selain itu, live performance mereka berkualitas, dengan attitude personel yang baik.
Lalu saya cari tau. Ternyata sebelum rilis album, bertahun-tahun mereka latihan untuk memaksimalkan stage act sambil menggodog album.
Pantes lah panggung pertama mereka di Jogja, pertama loh ya, langsung penuh dan setelahnya banyak dibicarakan orang hingga tenar.

Jarang-jarang nih ada band kayak gini.
Band yang bahkan sebelum rilis album, udah heboh dimana-mana. Dan bukan strategi marketing masif yang mengangkat mereka, melainkan dari mulut ke mulut dan sosial media akibat stage act dan sound mereka yang cakep banget (dua jempol juga buat sound engineernya!!)

Ditambah orang-orang yang ada di dalamnya kayaknya memang orang-orang yang udah jenius duluan sebelum bikin project ini.
Paling tidak sebelum mendengar nama Barasuara, saya udah tau Iga, Marco, dan Gerald.
Iga pernah ada di Tika and The Dissidents, Soulvibe, sama di TTATW yang super asoy yang saya ga paham kenapa banyak orang ga ngerti itu. Marco berkiprah di belakang menjadi produser album Raisa, music director, dan udah jadi arranger dari lama (btw snare rendah di album Taifun ini asoy banget, ditambah groove yang enak banget lah pokoknya). Gerald udah lama jadi gitaris bersama project-project instrumentalnya, juga sebagai song writerarranger, dan produser album Dandelion-nya Monita Tahalea yang super duper enak banget keliling alam semesta 7 kali itu.

Dan mungkin, personel lainnya juga sama jeniusnya dengan tiga orang itu.

Nggak hanya jenius, tapi mereka juga cerdas karena pengalaman, mau berkorban mempersiapkan bara (selama 3 tahun ga dapet duit dan masih mau maksimal nyiapin musik yang akhirnya segini mateng), dan kemistri antar personelnya bagus.
Mungkin karena diaransemen bareng-bareng sama orang jenius nan cerdas, ditambah sound engineernya yang kece, makanya ini satu album bisa enak banget kayak sate klathak Pak Pong nambah bawang merah.


Btw,

Ngomong apa sih.

Hahahahahahahahahahahahaha.

Udah ah ntar ada ujian jam 8.

Jangan lupa dengerin Taifun!

Tuesday, May 24, 2016

Aku dan Nosstress

Ini cerita tentang satu lagi hari Sabtu yang penuh kebahagiaan.

Sebelumnya, aku mau cerita dulu tentang satu grup musik yang amat ku kagumi.


Nosstress

Aku baru ingat.
Pertama kali mengenal Nosstress, adalah saat aku mengunjungi tulisan Rara Sekar. Disana Rara Sekar menuliskan bahwa ia mengagumi band asal Bali ini.
Dan ketika mencari tau lagu-lagunya, aku langsung jatuh cinta.

Bagiku, Nosstress tak hanya menawarkan musik yang indah, namun juga membawa misi dari hati melalui lirik yang mereka ciptakan. Misi yang mulia, yang bisa membawa perubahan besar bagi siapa saja.

Ketika album kedua mereka lahir dan lagu Pegang Tanganku mulai beredar di internet, aku langsung menabung dan bertekad membeli original CD-nya. Dan setelah mendengar 10 lagu secara komplit, aku bersyukur menghabiskan 45 ribu rupiah dengan sangat bijak.

Nosstress sudah cukup tenar di Bali sana. Sayangnya belum terlalu dikenal oleh teman-teman dan lingkunganku. Belum cukup kiranya cinta orang Jogja untuk mengundangnya bernyanyi di sini. Harus ku pendam dulu.

Sampai akhirnya, Sabtu, 21 Mei 2016.
Mereka diundang tampil di Solo.
Aku membeli tiketnya jauh-jauh hari. Menandai kalenderku. Menyiapkan CD untuk di bawa.
Intinya aku tidak sabar.

Hari itu, pukul 5 sore aku berangkat sendiri, mengendarai mobil selama tiga jam melalui macetnya jalanan Jogja-Solo di malam Minggu. Aku ingin menikmati momen magis ini sendiri.

Sampai disana, aku tidak menyangka. Aku terkejut sekaligus bahagia.
Turns out there are so many people love them just like the way I do.
Ternyata banyak penonton yang hadir malam itu.
Ratusan penonton menanti mereka, ikut bernyanyi dan berbahagia.
Karya mereka dinikmati banyak orang, dan itu membuatku bahagia!

Bahkan di luar ruangan Nosstress di backstage, aku bertemu beberapa orang yang melakukan hal yang sama denganku: membawa CD milik mereka dan menanti untuk dilegalisir.
Tiga orang mas-mas yang ada di situ sama denganku, datang jauh-jauh dari Jogja untuk Nosstress.
Ah, aku bahagia sekali!

Malam itu sungguh sempurna.
Aku berdiri tepat di depan panggung. Dan hanya mengambil satu foto ini saja, karena tak mau menyianyiakan kehadiran mereka di depanku.


Di depan mereka, di tengah lantunan lagu mereka, I did close my eyes a few times. Because sometimes, you can't enjoy a heart-made work with your eyes only. You need your soul. And your heart.
Karena apa yang dibuat dari hati, pasti akan sampai ke hati.

Kupit, Man, dan Cok hadir di depan mataku dan mengisi hati semua orang yang ada di sana.

Seusai acara, aku berjalan menuju backstage mencari ruangan Nosstress.
Setelah selama ini mengikuti akun sosial media mereka, video-video mereka, aku bisa membayangkan mereka akan sangat ramah dan dengan senang hati melayani penggemarnya untuk sekedar foto dan tanda tangan. Seperti apa yang dilakukan Silampukau, band lain yang malam itu turut meramaikan panggung juga, yang dengan senang hati ke luar ruangan membaur bersama penggemarnya.

Malam itu, Nosstress mengurung diri di ruangannya dan "sedang tidak bisa diganggu karena lelah", kata panitia.
Tentu aku dan mas-mas yang sudah menanti di depan pintu sedikit kecewa. Aku bukan kecewa karena tak mendapat foto dari mereka. Aku terkejut karena sikap mereka tak sesuai ekspektasiku.
Akhirnya, aku dan mas-mas tadi hanya bisa menitipkan CD kami untuk dibawa masuk oleh panitia.

Aku jadi ingat momen dua kali aku menonton Banda Neira, mereka selalu turun ke bawah panggung setelah selesai tampil untuk membaur dengan ratusan penonton, meski dengan muka sangat lelah (bisa terlihat dari mata Nanda di fotoku bersama mereka).

Ah, tapi tidak apa.
I keep telling myself: mungkin mereka punya alasan lain yang tak ku ketahui. Aku hanya terkejut karena tak sesuai ekspektasiku. Itu saja.

Hal itu tidak mengurangi kesempurnaan malam itu.
Malam yang tidak terlupakan.
Malam yang sesungguhnya sudah pagi karena aku baru beranjak pulang pukul 00.30.

Terima kasih Bli Kupit, Bli Man, Bli Cok,
Karena telah ada dan mengisi hati kami dengan musik yang bergizi.

Dan untuk teman-teman yang membaca ini,

Keberuntungan Berbuah Kehormatan

Tanggal 7 Mei yang lalu adalah satu hari tak terlupakan.

Sejak almarhum guru Bahasa Indonesia-ku di SMP, aku belum menemukan seorang pengajar yang begitu mempengaruhi hidupku.


Sampai akhirnya bertemu beliau.
Seorang yang begitu aku kagumi integritas dan pola pikirnya yang terlampau unik.

Sabtu, 7 Mei 2016 satu kejadian berharga terjadi dalam hidupku.
Ini bukan sebuah prestasi, semata-semata sebuah keberuntungan yang berbuah kehormatan.
Kehormatan yang mungkin tidak dirasakan ketika orang tersebut bukan orang yang Anda kagumi sejak lama, sejak pertama berjumpa.
Sampai detik ini aku masih bisa merasakan detak jantung yang tak bisa kukendalikan ketika mengundang beliau naik ke panggung dan duduk 30 cm di sebelah kiriku.

Although I kinda messed that thing up, at least I know that I did my best trying to control myself :))
And I would never call it as a mistake since "Mumpung masih mahasiswa, keluarkan 1001 kesalahan Anda." is one sentence I live by. Yang selalu ia ucapkan saat kuliah.
It was still one of the best experiences I've ever had!


Sunday, April 3, 2016

Apa yang Lebih Romantis?

Apa yang lebih romantis dari duduk diam merenung tentang hidup, kebenaran, dan kemanusiaan di Lembah Mandalawangi?

Entah.
Paru-paruku bahkan belum sekalipun menghirup udaranya.
Hanya sesekali anganku mendarat disana,
Bersama harapan suatu saat menjadi nyata

Ah.
Atau mungkin,
Mungkin aku tau jawabannya.

Duduk diam merenung tentang hidup, kebenaran, dan kemanusiaan di Lembah Mandalawangi,

Bersamamu,
Sosok yang bahkan belum ku kenal.

Kaya Hati

Banyak yang bilang mahasiswa itu mengenaskan. Tuntutan banyak, reward minim, uang masih minta orang tua. Tidak berdaya, tidak punya andil dan peran yang berarti.

Tapi justru masa ini tercipta dengan sempurna.
Mumpung masih di bawah, mari perkaya diri.
Mumpung tak punya motif-motif pribadi, mari mencari arti.
Jangan hanya perkaya ilmu, tapi yang terpenting,

Perkaya hati.

Memperkaya hati bagaikan sebuah investasi, yang hasilnya akan Anda petik jauh hari nanti, ketika tak lagi punya waktu basa-basi.

Biar besok kalo diberi kekuasaan nggak goblok-goblok amat.

Menonton film ini adalah salah satu caranya. Memperkaya hati dan memberi nutrisi pada diri Anda. Anda akan menemukan sudut pandang yang berbeda.
Setelah itu, selamat berpikir.

Semoga kita menjadi profesional yang kaya hatinya.


Tuesday, March 15, 2016

Perbincangan Bergizi

Pertengahan Februari lalu saya berkunjung ke ibu kota bersama beberapa teman baru.
Kami kebetulan baru saling berkomunikasi dan mengenal satu sama lain selama kurang lebih beberapa minggu saja.

Singkat cerita, malam itu saya dan dua orang teman "terjebak" dalam sebuah percakapan setelah makan malam di sebuah mall di Bogor. Dan malam itu, setelah beberapa topik bahasan yang cukup ringan bahkan terkadang tidak relevan, kami mulai beranjak ke sebuah topik yang cukup lucu:

"Menurutmu, apa yang salah dengan Indonesia saat ini?"

Wah, sekelompok mahasiswa ingusan semester 6 berusaha memecahkan permasalahan fundamental bangsa.

Lucu kan?

Dengan background pendidikan kami yang amat sangat berbeda, ditambah pengamatan masing-masing, kami mengutarakan pendapat dan berdiskusi. Like, literally, diskusi untuk berbenah secara realistis dan apa yang akan kita lakukan nanti ketika kerja untuk memulai semua itu.

Hahahahaha

Aku kangen punya temen yang bisa diajak berbicara bahasan-bahasan sampah, namun juga concern di topik-topik masif dan krusial. Yang asik diajak bercanda, tapi juga seru diajak berpikir kritis dan membincangkan sesuatu yang mungkin banyak orang menganggap kaku atau terlampau serius.

Menurutku, that kind of conversation lumayan menyehatkan, bergizi, dan terkadang menjadi pengingat diri sendiri untuk terus bergerak maju.

Dulu di SMA pernah punya teman-teman yang seperti itu.
Semoga lain waktu bisa "terjebak" lagi dengan orang dan topik yang sama serunya.

Wednesday, March 2, 2016

Watching Indonesian League & Febri really help me though.

Aku sedang suntuk dan ingin menulis.

Ini tentang aku dan basket.

Aku memang bukan pemain yang handal, yang menggantungkan hidupku pada olahraga ini. Namun aku tidak pernah bisa lepas darinya.
Aku mengenal bola basket sejak kecil. Bahkan sejak bangku sekolah dasar aku beberapa kali mengikuti pertandingan dan memenangkannya. Di bangku SMP, aku terus bermain. Aku mulai bergabung di klub, beberapa kali bertanding untuk kelompok umur di atasku, dan terlibat seleksi wilayah.

Di bangku SMA, hal itu terjadi.
Aku sudah lupa bagaimana sakitnya. Yang jelas, ketika tubuhku dihantam lawan dan jatuh tersungkur, rasa sakitnya sampai membuatku berteriak hingga supporter sekolahku yang memenuhi tribun seketika terdiam dan memandang ke arahku. Aku ingat betul hari dan tanggal dimana ACL lutut kananku putus.

Sayangnya, saat itu aku tidak menangani cedera itu dengan baik.
Setelah pengobatan sederhana dan merasa bisa beraktivitas, aku kembali bermain basket meski tau ada sesuatu yang salah dengan lutut kananku sejak hari itu. Aku tetap bermain, meski tak lagi bisa seagresif dulu. Saat itu, permainanku yang terbatasi oleh lutut yang rawan kambuh sedikit membuatku terpukul.

Sejak meninggalkan klub saat SMP, aku belum pernah berlatih bersama tim dengan porsi latihan yang cukup berat dan kemampuan rata-rata di atasku. Di bangku kuliah, setelah beberapa kali penjajakan, aku menemukan sebuah lingkungan latihan yang pas. Saat bergabung dengan tim ini, aku merasa sangat bersemangat untuk kembali bermain dengan total, karena lingkungannya sangat menuntutku untuk berkembang. Sayangnya, tim ini hanya aktif satu tahun sekali menjelang sebuat turnamen antar fakultas. Setelah satu kali melakoni turnamen, aku merasa berkembang dan sangat bahagia menjalani prosesnya. Aku sangat menantikan bermain bersama tim ini untuk kedua kalinya. Namun akhirnya aku gagal bergabung karena sebuah musibah.

Hari itu, beberapa bulan yang lalu, ACL lutut kiriku putus.

Aku terpukul luar biasa.

Kali ini aku menyadari cedera ini terjadi karena kesalahanku. Sebelum pertandingan itu aku tak punya cukup persiapan dan latihan padahal beberapa bulan aku tidak olahraga serius. Kondisi tubuhku overweight, dengan lutut kiri yang harus bekerja lebih keras karena lutut kananku sudah tidak bekerja dengan normal. 

Aku baru tau, rasanya divonis dokter putus ligamen itu jauh lebih sakit dibanding putus pacar versi mana pun.

Jika hidup ini mempunyai beberapa turning point, hari dimana aku divonis dokter sebagai manusia tanpa ACL adalah salah satu turning point yang membawa hidupku terjun ke bawah. Sangat dalam.

Kini aku memang bisa beraktivitas layaknya manusia biasa. Namun, dengan dua lutut tanpa ligament, dokter jelas tidak menyarankan aku untuk berolahraga selain bersepeda dan berenang.
Untuk bisa kembali menyentuh bola basket, aku harus melakoni operasi dengan masa penyembuhan 8 bulan dan biaya yang tidak sedikit. Dua kali, kanan dan kiri. Dan aku bukan lah pemain profesional yang bisa dengan mudahnya berkata "minggu depan operasi di Filipina" macam Pringgo atau Wisnu karena itu memang prioritas utama mereka.

Sekali lagi, biayanya tidak sedikit. Aku tak mau buru-buru menuntut orang tuaku untuk hal yang bukan prioritas dalam hidupku, meski aku mencintai basket. God I love basketball so much I literally cry every time I talk about this thing..
Aku sadar aku masih harus menyelesaikan studi. Dan aku punya kegiatan perkuliahan yang harus kuatur jadwalnya sedemikian rupa sehingga kalau pun nanti memutuskan untuk operasi, masa penyembuhannya tak mengganggu studiku. Aku sadar, hal yang aku cintai ini bukan prioritas utama dalam hidupku.

Tapi aku rindu.

Aku rindu tertawa bersama rekan satu tim, terengah-engah lelah memegangi perut, bunyi decitan sepatuku dengan lapangan, tatapan membara pelatih saat time out ketika musuh memimpin, teriakan cacian hinaan pelatih saat turn overku bertambah, usapan tangan pelatih di kepalaku ketika mereka bangga padaku, uluran tangan rekan satu tim saat aku memberinya assist, dan hal-hal lain yang tak bisa kudapatkan lagi sekarang.

Aku rindu.
Basket membesarkanku. Basket memberiku banyak hal. Terlalu banyak. Teman, keluarga, tawa, tangis, sakit, semangat, malu, bangga, dan banyak hal lain.

Mungkin ini saatnya aku berhenti meminta.
Mungkin ini saatnya aku duduk, beristirahat, dan mencari.
Menikmati permainan sebagai seorang penonton, memahami makna dari sudut pandang orang ketiga.


Tapi, ketika tiba-tiba aku sedih dan menangis lagi,
Jangan paksa aku untuk berhenti rindu.

Monday, February 29, 2016

Sembilan Hari Bahagia di Yogyakarta

"Nanti malem yang main bagus nggak? Ibu pengen nonton."
"Ayo, Dek, nonton."
"Nanti malem jadi nonton to?"
Dan akhirnya, meski aku sendiri tak berencana nonton, malam itu kami berangkat ke GOR tanpa peduli tim apa yang berlaga. Aku tau pasti, Ibu tidak tau banyak tentang tim dan pemain. Ibu banyak bertanya kepadaku di perjalanan pulang.

Big match terakhir di Jogja, Ibu datang sendirian ke GOR naik motor dan duduk sendiri di tangga tribun sampai pertandingan selesai, setelah itu pulang tanpa menemuiku. Padahal aku juga ada disana sejak sore bersama teman. Ibu ke GOR benar-benar karena ingin nonton.

Jadwal ibu yang terkadang suka ngaco langsung pengen nonton, pertanyaan-pertanyaan bertubi tentang dunia basket Indonesia, apalagi harus dijelaskan berulang karena terkadang satu kali penjelasan susah dimengerti Ibu, hal-hal ini awalnya sempat membuat aku risih.


----------


Suatu hari setelah pertandingan besar berakhir, aku dan mobilku terjebak di tengah-tengah motor yang terparkir. Hujan. Dan motor-motor itu tak kunjung pergi.
Para pengendaranya sedang berhujan-hujan 15 meter dari mobilku, menunggu pemain-pemain idolanya keluar dari GOR. Bisa ku lihat dan ku dengar dengan jelas dari dalam mobil selama kurang lebih satu jam, satu per satu pemain keluar diiringi jerit kagum terkadang histeris.
Satu jam yang awalnya sempat memancing emosiku.


----------


Harus diakui, komentar-komentar cheesy di GOR kadang annoying juga. Apalagi tipikal wanita-wanita penggemar yang nggak ngerti sama sekali tentang basket dan akhirnya komen-komen berisik annoying tanpa bisa ngerti keseruan game atau bahkan mengganggu kenikmatan game. Harus diakui hahaha.
Hal ini, awalnya juga sempat kerap membuatku risih.


-----
---------------
-----



Saya mulai hobi menonton IBL sejak SMP.
Dan liga basket nasional milik Indonesia, apa pun namanya, siapa pun promotornya, memiliki makna bagi saya.

Melihat perjuangan sebuah liga nasional, jatuh bangun, dan sampai di titik ini, sebagai seorang yang menikmati pertandingan basket, saya mempunyai cita-cita yang sama dengan para pemain dan tim yang bergelut disana.

Saya ingin basket untuk Indonesia.
Saya mendukung IBL.

Motivasi saya sederhana.
Saya mencintai olahraga ini. Sebagai manusia tanpa ACL sejak tahun lalu, yang bisa saya lakukan hanya menikmati pertandingan. Saya punya tim favorit. Saya punya pemain idola.
Saya ingin Indonesia mencintai olahraga ini.
Saya ingin tim favorit saya terus bergerak.
Saya ingin pemain idola saya bermain dengan baik dengan jaminan kehidupan yang layak. Karena sedih membaca cerita tentang mereka di masa sulit IBL dulu.

Sekarang, saya optimis.
Kejadian-kejadian di awal tulisan ini, adalah hal-hal ganjil, yang setelah saya telaah lebih lanjut adalah sebuah tanda.
Tanda bahwa olahraga ini sedang menyusup ke setiap celah. Memikat setiap kalangan. Dan setiap orang, bebas menikmatinya dengan alasan dan motivasinya masing-masing.
Saya bahagia melihat tribun GOR yang penuh.
Saya bahagia melihat seorang ibu dan anak balitanya duduk asik menonton pertandingan.
Saya bahagia melihat IBL punya salary cap!
Saya bahagia melihat cewek-cewek fanatik berteriak dibalik barikade pintu pemain.
Saya bahagia IBL kembali bisa tayang di televisi.
Saya bahagia melihat orang yang nggak ngerti apa-apa tentang basket beli tiket dan nonton pertandingan demi liat ke-cihuy-an Prastawa atau Kelly.

Intinya, saya bahagia!
Mari ramaikan liga, tingkatkan animo, raih prestasi untuk negeri!

Saya optimis basket untuk Indonesia!


P.S.
Saya juga optimis Aspac juara tahun ini, dan Febri tetap idola saya sepanjang masa! :p

Wednesday, January 27, 2016

Aku Rindu

Sudah hampir empat tahun sejak 9 Juli 2011.

Bapak,
Saya rindu..

Bapak,
Apa kabar?
Ingin rasanya berkunjung ke bengkel Panama untuk sekedar menyapa.
Tempat terakhir saya lihat Bapak.

Bapak,
Saya sudah tahun ketiga di bangku kuliah.
Waktu berlalu begitu cepat, ya?
Meski tak terlalu hebat, sudah banyak yang saya capai.
Dan saya percaya, saya disini karena Bapak.

Bapak,
Ingin rasanya memberitahumu.
Bahwa segala toleransi dan pikiran yang terbuka berasal darimu.
Kemana pun nanti masa depan membawa saya,
Bapak akan selalu menjadi bagian dari hidup saya.

Bapak,
Mereka bilang pertemuan menghapus rindu.
Namun doa mengobati dan membuatnya kekal.
Saya ingin sekali berjumpa, ingin sekali..


Selamat ulang tahun, Bapak.
Hormat saya sepenuh jiwa raga.



26 Januari 2016